Sikap pemerintah yang sering menyebut dan menyalahkan pihak asing terhadap konflik di Papua dinilai tidak tepat oleh sebagian pihak. Selain itu, pemerintah juga semakin membatasi masuknya warga negara asing ke Papua. Apa sebenarnya yang menyebabkan pemerintah terkesan “alergi” terhadap kehadiran asing di Papua?
PinterPolitik.com
Dalam menangani konflik Papua, narasi-narasi bertemakan “asing” sering disebut oleh pemerintah. “Keterlibatan asing”, “campur tangan asing”, “kelompok luar”, dan berbagai istilah lainnya diucapkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menko Polhukam Wiranto, hingga Kapolri Tito Karnavian.
Narasi-narasi serba asing ini kemudian menuai kritik dari berbagai pihak.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah berpendapat bahwa narasi-narasi keterlibatan asing adalah upaya pemerintah untuk mencari kambing hitam.
Sementara menurut Nasir Djamil, Anggota Komisi III DPR, pemerintah harus mengungkapkan dan menjelaskan kepada publik siapa atau apa yang mereka maksud dengan kata “asing”.
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, juga berpendapat bahwa pemerintah harus berhati-hati dalam menyatakan keterlibatan pihak asing di Papua.
Menurutnya pemerintah perlu memperlihatkan bukti yang jelas mengenai keterlibatan asing guna mencegah timbulnya spekulsi berlebihan.
Trauma Sejarah Pemerintah?
Jika meminjam kacamata kaum realis dalam ilmu Hubungan Internasional, suatu entitas yang berasal dari luar negara, baik itu negara lain ataupun organisasi internasional, memang sering dilihat sebagai ancaman.
Patut dipertimbangkan juga bahwa penolakan pemerintah Indonesia terhadap segala bentuk keterlibatan asing di Papua berasal dari pengalaman pemerintah di Timor Timur dan Aceh.
Dua konflik tersebut memiliki kemiripan dengan Papua saat ini, di mana ada kelompok yang ingin memerdekakan diri, penolakan pemerintah, dan perhatian dunia internasional.
Baik di Timor Timur maupun Aceh, beberapa pihak menilai Indonesia dirugikan dengan adanya campur tangan asing.
Menurut Dino Patti Djalal, mantan Juru Bicara Pemerintah RI sewaktu jajak pendapat di Timor Timur, kasus Timor Timur menimbulkan perasaan kalah, malu, dan trauma di kalangan pemerintah dan aparat keamanan Indonesia.
Bukan tanpa alasan, dalam kasus tersebut, Indonesia – jika menggunakan sudut pandang pemerintah dan aparat keamanan – kehilangan teritorinya serta mendapatkan stigma buruk di panggung internasional dengan adanya tuduhan penjajahan dan pelanggaran HAM.
Campur tangan asing pun menjadi salah satu pihak yang disalahkan mengingat jejak pendapat alias referendum yang terjadi berasal dari desakan dunia internasional terhadap pemerintahan Presiden B.J. Habibie kala itu.
Selain itu kecurigaan pemerintah terhadap keterlibatan asing di Papua juga dapat disebabkan oleh kepentingan terselubung pihak asing ketika membantu kemerdekaan Timor Timur.
Pihak asing yang dimaksud dalam konteks ini salah satunya adalah Australia.
Sebagai salah satu negara yang paling lantang mendukung kemerdekaan Timor Timur, negeri kanguru tersebut ditengarai tidak murni memperjuangkan kemerdekaan rakyat Timor Timur.
Australia justru dinilai mendorong kemerdekakan Timor Timur agar ia dapat lebih mudah mengambil sumber daya alam yang ada di sana.
Untuk Aceh, meskipun konflik diakhiri dengan wilayah tersebut tetap menjadi bagian dari NKRI, beberapa pihak tetap mengkritik keterlibatan asing.
Dalam penyelesaian konflik di Aceh, ada dua pihak asing yang paling terlibat, yaitu LSM asal Finlandia Crisis Management Initiative (CMI) dan Aceh Monitoring Mission (AMM) bentukan Uni Eropa.
Dalam proses dialog, pemerintah pernah menolak keterlibatan CMI dalam perundingan dengan GAM. Pemerintah menginginkan agar pihak asing hanya terlibat sebagai fasilitator, tidak lebih.
Penolakan ini muncul setelah Menko Polhukam saat itu, Widodo AS, melihat bahwa justru CMI lebih aktif dalam perundingan dibanding GAM.
Selain itu CMI dinilai malah menjadi penasehat GAM dan memberikan beberapa rekomendasi tuntutan untuk dimasukkan oleh GAM dalam perjanjian perdamaian.
Kritik juga datang dari Ikrar Nusa Bhakti, peneliti dan pengamat militer dari LIPI yang saat ini menjadi Duta Besar Indonesia untuk Tunisia.
Menurutnya, perjanjian Helsinki kala itu lebih banyak merugikan Indonesia, salah satunya karena isi perjanjian lebih banyak ditentukan oleh AMM.
Terjadi di Papua?
Mungkin ada pandangan bahwa kasus Timor Timur dan Aceh – meskipun dengan semua kritik negatif yang ada – membuktikan bahwa pada titik tertentu pemerintah Indonesia akan mengizinkan keterlibatan asing untuk membantu penyelesaian masalah domestik.
Lalu, apakah hal serupa dapat terjadi di Papua? Apakah pemerintah pada akhirnya akan mengizinkan keterlibatan asing?
Perlu diketahui bahwa “legowonya” pemerintah terhadap keterlibatan asing di Timor Timur dan Aceh hanya terjadi karena kondisi-kondisi tertentu.
Dalam tulisan International Institute for Strategic Studies, disebutkan bahwa persetujuan pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan referendum dan menerima masuknya delegasi dan pasukan PBB ke Timor Timur hanya terjadi setelah adanya tekanan besar dari negara-negara barat, khususnya Australia dan AS.
Untuk Aceh, negosiasi baru terwujud setelah Aceh dihantam tsunami besar.
Dibutuhkannya stabilitas keamanan dan politik di Aceh guna kelancaran proses penanggulangan dan rekonstruksi bencana adalah faktor utama yang membuat pemerintah maupun GAM menyetujui gencatan senjata dan negosiasi yang difasilitasi oleh pihak asing.
Sedangkan untuk Konflik Papua, hingga saat ini belum ada kondisi-kondisi seperti di Timor Timur ataupun Aceh yang menjadi dasar pihak asing untuk masuk.
Selama ini permintaan keterlibatan pihak asing hanya datang dari kelompok pro-kemerdekaan, sementara pemerintah menolak dan mengklaim bahwa masih bisa menyelesaikan sendiri permasalahan di Papua.
Sejauh ini, hanya negara-negara kecil sepri Vanuatu yang secara resmi mendukung kemerdekaan Papua. Sementara komentar Komisi Tinggi Perserikatan PBB untuk Hak Asasi Manusia juga tidak secara khusus ataupun menunjuk langsung pemerintah Indonesia sebagai pihak yang bersalah atas kerusuhan di Papua.
Jika dibandingkan dengan Timor Timur dan Aceh, sikap penolakan pemerintah terhadap campur tangan asing di Papua nampaknya juga berasal dari perbedaan konteks “asing” dalam konflik-konflik tersebut.
Di Timor Timur dan Aceh, pihak asing yang terlibat adalah entitas besar dan resmi seperti PBB, negara lain, ataupun LSM Internasional.
Sementara di Papua, asing yang selama ini terlibat lebih banyak individu ataupun kelompok aktivis.
Status “Papua for sale”, mungkinkah akan bernasib sama dengan Timor Leste?
Baca selengkapnya https://t.co/5lUbnKqrd6 pic.twitter.com/s1fxzNpFGe
Selain kekuatannya yang tidak sebesar negara ataupun PBB, sebagian besar aktivis-aktivis ini terlihat tidak berupaya mengakomodir keinginan kedua pihak, namun secara jelas hanya mendukung kemerdekaan Papua.
Berbeda dengan di Timor Timur dan Aceh di mana pemerintah lebih terbuka karena pihak asing juga mau mengakomodir kepentingan pemerintah.
Terakhir, hambatan penyelesaian konflik di Papua juga datang dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai faksi militer yang hingga saat ini, menolak melakukan negosiasi dengan pemerintah Indonesia.
Penolakan ini sangat disayangkan karena pemerintah, termasuk Panglima TNI dan Kapolri, sudah mengatakan ingin membuka dialog dengan OPM.
Dengan adanya pengalaman di Timor Timur, Aceh, dan kondisi “asing” serta perilaku OPM yang ada di Papua, mungkin kesan alergi yang saat ini ditunjukkan pemerintah terhadap segala bentuk asing di Papua setidaknya bisa dimengerti, walaupun untuk tepat-tidaknya masih dapat diperdebatkan.
Pemerintah nampaknya melihat keterlibatan-keterlibatan pihak asing dalam penyelesaian konflik sebagai hal yang selalu merugikan Indonesia. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.