Site icon PinterPolitik.com

Nebeng Asian Games Ala Politisi

Nebeng Asian Games Ala Politisi

(Foto: Setkab)

Asian Games yang diharapkan menjadi pesta olahraga, ternyata sejauh ini malah menjadi pesta para politisi.


PinterPolitik.com

[dropcap]A[/dropcap]pi obor Asian Games 2018 Jakarta-Palembang tidak lama lagi akan menyala. Atlet-atlet terbaik se-Asia akan segera menjejakkan kaki di tanah air dalam gelaran tersebut. Negeri ini pun terus bersolek untuk menyambut pesta olahraga terbesar di Asia tersebut.

Di tengah kesibukan negeri ini merias diri untuk Asian Games, ternyata ada kosmetika yang dianggap kurang pas. Sebagai sebuah perhelatan olahraga besar, ajang ini justru dihiasi oleh wajah-wajah politisi dan pemberitaan berbau politik. Atlet-atlet terbaik tanah air yang haus dukungan bangsa justru harus tergeser oleh hal-hal yang berbau politik.

Warganet tampak begitu menyoroti fenomena tersebut. Bagaimana mungkin sebuah ajang olahraga akbar lebih banyak diisi wajah-wajah politisi ketimbang wajah-wajah atlet? Terlihat bahwa tahun politik berhasil meredam gempita tahun olahraga dalam gelaran Asian Games. Padahal, Indonesia baru kembali menjadi tuan rumah di tahun ini setelah terakhir di tahun 1962.

Dalam kadar tertentu, tahun olahraga masih ingin dimanfaatkan oleh para politisi untuk menjadi tahun mereka. Pemilu di depan mata jelas jadi tujuan mereka dalam menumpang gemerlap penyelenggaraan Asian Games.

Tahun Olahraga vs Tahun Politik

Geliat penyelenggaraan Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang seperti kurang membahana. Sebagai ajang multi-nasional yang cukup besar, promosi gelaran tampak sangat minimalis. Tidak hanya minimal, konten dari promosi ini tampak tidak sarat akan kehebatan atlet yang akan berlaga. Padahal, Indonesia sebagai tuan rumah menargetkan masuk 10 besar perolehan medali.

Alih-alih banyak memajang wajah atlet, wajah-wajah politisi terlihat lebih ramai dalam publikasi luar ruang pesta olahraga tersebut. Wajah-wajah atlet seperti Sri Wahyuni, Lindswell Kwok, Kevin Sanjaya Sukamuljo, atau Marcus Fernaldi Gideon tidak banyak menghiasi publikasi luar ruang ajang ini. Sebaliknya, wajah-wajah yang terbiasa berpeci dan berdasi lebih banyak menyertai publikasi ajang ini.

Selain itu, berita-berita persiapan ajang tersebut juga lebih banyak diarahkan pada bagaimana usaha pemerintah mewujudkan berbagai infrastruktur megah jelang Asian Games. Di pemberitaan itu, hadir politisi-politisi yang memberikan pujian setinggi langit kepada infratruktur-infrastruktur tersebut.

Di lain pihak, berita tentang persiapan atlet jelang ajang empat tahunan tersebut tergolong minim ketimbang berita seremonial para politisi. Padahal, atlet-atlet tanah air diberikan beban cukup berat, yaitu menembus 10 besar perolehan medali, sesuatu yang tidak pernah bisa dilakukan negeri ini dalam beberapa tahun terakhir.

Salah satu yang paling dikeluhkan masyarakat juga adalah bagaimana ajang ini dijadikan kesempatan kampanye oleh salah satu peserta Pilgub Sumsel 2018, Dodi Reza Alex Noerdin. Hal ini terkait dengan peran Alex Noerdin sebagai Gubernur Sumsel dan kegiatan sosialisasi Asian Games yang dilakukannya.

Di ibukota, unsur politik juga terlihat dari sisi pertarungan pengaruh antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Terlihat bahwa keduanya seperti saling berebut untuk mendapat sorotan dari berbagai pembangunan yang terjadi di masa Asian Games.

Di mata Ketua Dewan Pengarah Asian Games 2018, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), gelaran ini memang memiliki dampak politik tersendiri. Menurutnya, kesuksesan ajang tersebut dapat berbuah positif bagi elektabilitas kandidat petahana.

Meski demikian, JK juga menyoroti bahwa sebaliknya kegagalan ajang tersebut bisa berdampak buruk bagi politisi petahana. Jika gelaran tersebut gagal, maka bisa saja berdampak negatif pada keterpilihan kandidat petahana tersebut.

Cari Untung dari Olahraga

Di atas kertas, pantas saja politisi-politisi tanah air berlomba menumpang popularitas ajang olahraga seperti Asian Games. Mau tidak mau, gelaran tersebut adalah sebuah hajatan besar yang menarik perhatian baik di tingkat nasional dan bahkan internasional.

Pernyataan Jusuf Kalla tentang bagaimana seorang petahana dapat memperoleh untung dari gelaran olahraga ini telah dibuktikan secara saintifik. Hal ini terungkap dalam paper yang dibuat oleh peneliti Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), Andrew J. Healy, Neil Malhotra dan Cecilia Hyunjung Mo.

Paper tersebut membuktikan bahwa ada pengaruh antara laga olahraga dengan kesuksesan dan kegagalan politisi. Secara spesifik, tulisan tersebut menyebutkan bahwa sukses atau tidaknya tim lokal berpengaruh bagi pemenangan kandidat petahana dalam pemilu.

Healy, Malhotra, dan Mo menyebut bahwa jika ajang atau pertandingan digelar 10 hari jelang hari pemilihan, maka pemerintahan berkuasa dapat mendapat keuntungan tambahan suara 1-2 persen. Meski begitu, paper tersebut juga mengungkap bahwa jika ajang olahraga dilakukan di atas 14 hari sebelum pemilihan, maka pengaruhnya tidak terlalu signifikan.

Oleh karena itu, sangat wajar jika para politisi ingin nebeng dan nampang pada gelaran Asian Games kali ini. Akan tetapi, apakah langkah nebeng seperti ini selalu berdampak positif?

Mengembalikan Asian Games ke Atlet

Jika belajar pada penyelenggaraan pesta olahraga besar lainnya, terlihat bahwa tidak semua agenda berbau politik mencapai kesuksesan. Ada banyak kandidat di dunia yang tidak banyak mendapat keuntungan dari penyelenggaraan sebuah ajang olahraga besar.

Gelaran kejuaraan sepakbola bertajuk Piala Eropa 2016 di Prancis dapat menggambarkan kondisi ini. Selama kontes tersebut digelar, tingkat penerimaan publik terhadap Presiden Francois Hollande justru mengalami penurunan. Terlihat bahwa Piala Eropa tidak memiliki dampak positif bagi Hollande sebagai petahana.

Selain itu, Afrika Selatan juga dapat menjadi contoh lainnya. Negara tersebut menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010. Meski FIFA menilai ajang tersebut sukses, nyatanya secara politik tidak berdampak signifikan. African National Congress (ANC) sebagai partai berkuasa tidak mendapatkan tambahan suara besar dari pelaksanaan pesta sepakbola tersebut.

Hal serupa juga terjadi pada gelaran Piala Eropa 2008 di Austria dan Swiss. Austria sebagai salah satu negara penyelenggara melaksanakan Pemilu sela beberapa saat setelah perhelatan tersebut. Hasilnya, dua partai penguasa justru mengalami salah satu perolehan suara terburuk sepanjang sejarah mereka.

Yang paling tragis dari kisah kegagalan ajang olahraga terjadi pada Dilma Rousseff di Brazil. Masa kepemimpinan Dilma diwarnai oleh dua pesta olahraga akbar yaitu Piala Dunia 2014 dan juga Olimpiade Rio 2016. Meski memiliki dua helatan akbar tersebut, Dilma nyatanya justru harus terusir dari kursi presiden.

Tidak hanya gagal memanfaatkan ajang olahraga, Piala Dunia 2014 dan juga Olimpiade Rio 2016 justru menjadi dua dari banyak penyebab menurunnya popularitas presiden perempuan pertama Brazil itu. Masyarakat Brazil banyak yang geram pada Dilma karena menghabiskan uang untuk dua helatan tersebut meski masyarakatnya tengah dilanda kesusahan ekonomi.

Mellihat kondisi tersebut, akan sangat ideal jika para politisi tanah air tidak terlalu banyak mencampuri Asian Games 2018 dengan syahwat politik mereka. Akan jauh lebih bermanfaat jika kejayaan ajang tersebut dikembalikan ke para atlet, bukan politisi.

Fokus pada atlet dengan target meraih sebanyak mungkin medali memiliki dampak politik yang lebih baik secara luas. Masyarakat umumnya lebih mudah bersatu jika ada kebanggaan nasional di bidang nasional. Selain itu, kesuksesan di bidang olahraga juga bisa meningkatkan prestise negeri ini di mata dunia. Pendapat seperti ini diungkapkan misalnya dalam tulisan Branden A. Green dari Georgia Southern University.

Secara spesifik, kesuksesan para atlet Merah Putih di Asian Games sebenarnya juga bisa berdampak pada elektabilitas politisi. Hal ini merujuk pada penelitan Healy, Malhotra, dan Mo yang menyebut kemenangan tim bisa berdampak pada kemenangan politisi.

Oleh karena itu, para politisi sebaiknya bersabar dan biarkan para atlet berlaga. Jika beruntung, mereka bisa saja tertimpa elektabilitas dari kesuksesan tim Indonesia menembus 10 besar perolehan medali. Hal itu bisa terjadi dengan catatan, para politisi tetap harus memanusiakan para atlet dan menjauhkan diri dari politisasi berlebihan. (H33)

Exit mobile version