Site icon PinterPolitik.com

Asian Games, Soekarno Hingga Korea

Asian Games, Soekarno Hingga Korea

Soekarno saat Asian Games 1962. (Foto: Terakota)

“Bangsa-bangsa Asia akan bersatu untuk menciptakan dunia yang lebih egaliter. Sebuah dunia baru, di mana peradaban Barat tidak lagi dipandang sebagai superioritas”. – Jawaharlal Nehru


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]agelaran olahraga antarnegara kerap kali menggambarkan konteks politik internasional. Hal itu bisa terlihat pada Asian Games di tahun ini, ketika pagelaran olahraga bangsa-bangsa Asia itu mampu menyatukan Korea Selatan dan Korea Utara di bawah bendera unifikasi Korea pada seremoni pembukaan di Stadion Gelora Bung Karno.

Tampak dari tribun, Duta Besar Korea Utara, An Kwang-il dan Duta Besar Korea Selatan, Kim Chang-beom ikut bergandeng tangan sambil melambai kepada para kontingen dan penonton.

Persatuan Korea dalam ajang olahraga itu merupakan yang pertama kali terjadi di  Asian Games, namun bukan yang pertama kalinya dalam sejarah. Sebelumnya, persatuan Korea pernah terjadi pada pagelaran Olimpiade Musim Panas di Australia (2000), Olimpiade Musim Panas di Yunani (2004), Olimpiade Musim Dingin di Turin, Italia (2006), dan belum lama ini terjadi pada Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang, Korea Selatan (2018).

Persatuan ini merupakan cerminan politik luar negeri kedua Korea, di mana ketegangan antara dua negara itu sudah semakin berkurang. Sebelumnya, Kim Jong Un sebagai orang nomor satu di Korea Utara memang sudah lebih dulu secara serius memperbaiki hubungan diplomatik dengan Korea Selatan.

Jauh sebelum itu, hubungan Korea Utara dan Korea Selatan memang memburuk pasca gencatan senjata pada Perang Saudara pada tahun 1950-1953. Maka, persatuan kontingen kedua Korea di Asian Games ini menjadi harapan baru bagi rakyat Korea untuk mengupayakan perdamaian dan persatuan.

Menariknya, kasus serupa pernah terjadi pada Jerman ketika terpecah menjadi dua negara pada masa Perang Dingin. Saat itu kontingen Jerman Barat dan Jerman Timur membangun persatuan pada Olimpiade Munich 1972, hingga pada akhirnya Jerman benar-benar bersatu tahun 1990.

Pada pembukaan Asian Games kali ini, tepuk tangan meriah tak hanya hadir untuk kontingen Korea saja.  Ribuan penonton yang hadir juga memberikan tepuk tangan meriah kepada kontingen dari Palestina. Bagi Palestina yang belum mendapat pengakuan dari negara seperti Amerika Serikat, ajang ini tentu menguntungkan secara politik. Pagelaran olahraga bisa menjadi alat perjuangan Palestina untuk diakui kedaulatannya oleh dunia internasional.

Dalam studi Hubungan Internasional, olahraga dapat digunakan sebagai alat diplomasi publik. Tujuan utamanya adalah memenangkan hati dan pikiran (winning hearts and minds). Berbagai peristiwa di pagelaran olahraga itu juga menegaskan bahwa olahraga tidak pernah lepas dari politik. Tentu pertanyaannya adalah seberapa besar dampak politik Asian Games kali ini terhadap politik internasional, misalnya untuk unifikasi Korea?

Asian Games: Perlawanan Terhadap Imperialisme

Asian Games pertama kali diselenggarakan di India pada tahun 1951. Pada kesempatan itu, Jawaharlal Nehru, tokoh politik India yang sangat dekat dengan Soekarno mengatakan bahwa di ajang tersebut, bangsa-bangsa Asia akan bersatu untuk menciptakan dunia yang lebih egaliter – sebuah dunia baru di mana peradaban Barat tidak lagi dipandang sebagai superioritas.

Kata-kata Jawaharlal Nehru sangat jelas mewakili semangat zamannya. Kita semua tahu, pasca Perang Dunia II banyak negara-negara Asia yang merdeka dan mampu mengusir kaum penjajah dari tanah mereka.

Semangat perlawanan terhadap imperialisme itu juga yang menginspirasi lahirnya Asian Games sebagai pesta olahraga terbesar bangsa-bangsa Asia. Tak lain, tujuan awalnya adalah untuk mengangkat harga diri bangsa-bangsa Asia dan tidak lagi melihat Barat (negara penjajah) sebagai superioritas.

Perlawanan terhadap penjajahan itu juga yang menginspirasi Soekarno ketika Indonesia menjadi tuan rumah pagelaran Asian Games pada tahun 1962. Baginya, pagelaran olahraga bangsa-bangsa Asia itu merupakan cerminan sikap politik suatu negara. Maka, presiden yang terkenal anti-imperialisme dan kolonialisme itu menerjemahkan sikap politik Indonesia dengan melarang Israel ikut Asian Games di Jakarta.

Analis politik menyatakan motif pelarangan Israel dalam Asian Games tetap berkaitan dengan status Israel yang dinilai sebagai penjajah bangsa Palestina. Karena itu, akan sangat memalukan ketika pagelaran olahraga sebesar Asian Games yang pada awalnya dibentuk untuk melawan penjajahan, justru malah mengundang penjajah di dalamnya.

Tujuan Soekarno melarang Israel ikut Asian Games adalah untuk mendukung kemerdekaan Palestina sekaligus membersihkan pagelaran olahraga Asia itu dari negara penjajah. Karena keberaniannya itu, Soekarno mendapatkan sanksi keras dari Komite Olimpiade Internasional (IOC).

IOC tidak mengizinkan Indonesia untuk berpartisipasi dalam ajang Olimpiade. Merespon hal tersebut, Soekarno menyatakan keluar dari keanggotan IOC yang dia sebut sebagai lembaga olahraga yang tidak netral dan lebih memihak Barat pada masa Perang Dingin.

Olahraga, dalam pandangan IOC, mesti lepas dari politik. Padahal pembentukan awal Asian Games tidak terlepas dari dimensi politik. Kita tentu bisa menafsirkan kata-kata Jawaharlal Nehru di awal tulisan, bahwa Asian Games adalah upaya untuk membangkitkan harga diri bangsa-bangsa Asia dari penindasan bangsa penjajah.

Stefan Heubner dalam buku berjudul Pan Asian Sports and the Emergence of Modern Asia: 1913-1974, mengatakan bahwa negara-negara Asia yang menjadi tuan rumah Asian Games sepanjang 1951-1974 ingin menunjukkan kebanggaan mereka terhadap kejayaan bangsa Asia pada masa lampau, dan berusaha mengkomunikasikan itu saat acara pembukaan ajang tersebut.

Cara ini merupakan pesan politik kepada dunia bahwa bangsa-bangsa Asia pernah memiliki kejayaan di masa lalu sebelum bangsa Barat datang menjajah mereka.

Ironisnya, pada saat ini makna penting Asian Games tidak pernah diketahui masyarakat secara luas. Asian Games hanya dilihat sebagai pagelaran olahraga untuk memperoleh medali sebanyak-banyaknya.

Sementara cita-cita luhur bahwa bangsa Asia untuk merdeka dan sejajar dengan bangsa Barat tidak pernah disuarakan kembali, mungkin seiring makin kompleksnya kondisi politik internasional saat ini.

Masa Depan Dua Korea

Realitas politik pada Asian Games di masa lalu masih berlanjut hingga detik ini. Persatuan Korea dan tepuk tangan meriah untuk para kontingen Palestina semakin menekankan bahwa politik masih menjadi “ruh” yang hidup dalam pentas olahraga negara-negara Asia.

Konteks Korea memang berbeda dengan pelarangan kontingan Israel oleh Soekarno. Namun, nyatanya juga punya persinggungan terhadap faktor imperialisme. Pecahnya Korea merupakan akibat perebutan pengaruh dua negara imperialis, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Artinya penampilan bersama dua Korea dalam ajang olahraga tentu saja menegaskan “perlawanan” terhadap entitas imperialisme itu sendiri.

Besty Andreu, dalam tulisannya yang berjudul The Power and Politics of Sports, mengatakan: “When top athletes talk, why does the public listen so closely? Because, in many cases, they have more power than politicians.” Andreu secara jelas menggambarkan kekuatan politik olahraga yang ketika “berbicara”, punya kekuatan yang lebih besar dibanding para politisi.

Benar adanya. Katakanlah seandainya legenda olahraga tinju Muhammad Ali atau legenda basket Kareem Abdul-Jabbar memprotes kebijakan Donald Trump tentang pelarangan imigran Muslim untuk masuk ke Amerika Serikat, itu tentu lebih berdampak dibandingkan protes dari para politisi. Dua legenda olahraga ini telah memberikan sumbangsih yang besar untuk Amerika Serikat, sehingga tentu saja punya kekuatan politik ketika berbicara.

Asian Games di Jakarta tahun ini membuka babak baru bagi persatuan Korea. Karena atlet-atlet olahraga Korea telah memberikan harapan kepada seluruh rakyat Korea bahwa persatuan dua Korea bisa kembali terjadi. Perdamaian kedua negara baru sampai pada tahap pertemuan antara Kim Jong Un dengan Moon Jae-in dalam KTT antar Korea pada 27 April 2018.

Dalam konteks kebijakan, belum lama ini, Kim Jong Un dan Moon Jae-in menggelar program reuni untuk warga di kedua negara Korea yang terpisah akibat Perang Korea. Bahkan, media pemerintah Korea Utara, KCNA, mengatakan bahwa Korea Utara akan menghancurkan seluruh tantangan terhadap reunifikasi Semenanjung Korea.

Akan tetapi, unifikasi Korea justru mulai menemui jalan buntu karena adanya intervensi Amerika Serikat di Semenanjung Korea. Saat ini Amerika Serikat dan Korea Selatan masih menggelar latihan militer bersama. Akibatnya, Korea Utara menganggap dua negara tersebut tidak serius mengupayakan perdamaian.

Dengan demikian, penampilan kedua negara di Asian Games masih punya tantangan besar untuk sampai pada titik akhir reunifikasi.

Dalam konteks yang berbeda, langkah berani Soekarno pada Asian Games 1962 dalam mengusir Israel yang juga merupakan cerminan dari perlawanan terhadap imperialisme. Soekarno sadar betul bahwa Amerika Serikat adalah negara imperialis yang punya motif menguasai kawasan Asia dengan memecah-belah kawasan ini.

Unifikasi Korea akan terwujud jika pemerintah Korea Selatan berani mengambil langkah independen dalam kebijakan politik luar negerinya, termasuk memisahkan kepentingannya dari Amerika Serikat.

Telah lama rakyat Korea di dua negara yang saling berkonflik itu memimpikan perdamaian dan persatuan. Jika persatuan Jerman Barat dan Jerman Timur pada Olimpiade Munich saja bisa berujung pada reunifikasi Jerman – sekalipun olahraga bukan faktor tunggal pemantik reunifikasi – maka bukan tidak mungkin akan ada perubahan besar bagi persatuan kedua Korea setelah Asian Games selesai.

Tentu Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018 patut berbangga jika persatuan Korea benar-benar terjadi karena bagaimanapun juga, ajang olahraga se-Asia itu mewakili cita-cita besar pendiri negara ini: Soekarno. Bukan begitu? (D38)

Exit mobile version