Baru-baru ini publik dihebohkan dengan berita Myanmar yang mengumumkan akan menggunakan mata uang Tiongkok, renminbi sebagai mata uang resmi perdagangannya pada 2022. Tidak hanya Myanmar, ternyata Perhimpunan Negara-Negara di Kawasan Asia Tenggara (ASEAN) sudah mulai gunakan renminbi, termasuk Indonesia. Mengapa ini bisa terjadi? Dan apa alasan politik di baliknya?
Baru-baru ini, gerayang Tiongkok ke kawasan Asia Tenggara kembali mendapat sorotan. Pihak junta militer Myanmar mengumumkan bahwa mereka akan menggunakan renminbi sebagai mata uang resmi Myanmar mulai tahun 2022. Ini sebagai langkah awal dalam upaya memulai kembali beberapa proyek bilateral besar dengan Tiongkok, dan untuk menjalin hubungan ekonomi yang lebih erat dengan negara pimpinan Presiden Xi Jinping tersebut.
Mata uang renminbi sendiri disebutkan akan digunakan hanya untuk perdagangan internasional dengan Tiongkok, bukan untuk aktivitas ekonomi sehari-hari warga Myanmar.
Lebih lanjut, Kementerian Informasi dan Investasi Myanmar mengelaborasikan bahwa proyek-proyek yang dimaksud meliputi rencana seperti pembangunan jalur kereta api dan pelabuhan. Mereka juga mengatakan, ini adalah langkah yang perlu diambil dan telah menjadi “prioritas utama” dalam membangun kembali perekonomian Myanmar.
Memang, Myanmar pernah menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Asia. Sayangnya, nilai mata uang mereka, yaitu Kyat Myanmar pada penghujung September lalu jatuh sebesar 60%.
Namun, penggunaan mata uang Tiongkok ini tidak hanya terjadi pada Myanmar. Nyatanya, dalam sejumlah skema local currency settlement (LCS) atau mata uang lokal dengan beberapa negara Perhimpunan Negara-Negara di Kawasan Asia Tenggara (ASEAN), Tiongkok selalu mempromosikan mata uang renminbi. Pada pertengahan 2021 ini misalnya, Indonesia sepakat akan gunakan Renminbi, bersamaan dengan rupiah, untuk sejumlah aktivitas ekonomi dengan Tiongkok.
Bank Indonesia mengatakan, LCS adalah upaya untuk mendukung stabilitas rupiah, serta mengurangi ketergantungan pada mata uang tertentu (dolar AS khususnya). Sementara, The People’s Bank of China menyebut ini dianggap sebagai “penanda lanjutan internasionalisasi yuan.”
Sebenarnya, apa itu renminbi dan mengapa Tiongkok sangat bersikeras menerapkannya di negara lain?
Baca juga: Ada Tiongkok di Drama Myanmar?
Solusi Alternatif Devaluasi?
Ketika kita membicarakan mata uang Tiongkok, mungkin yang pertama terlintas dalam pikiran kita adalah yuan. Lantas, apa itu renminbi? Benarkah anggapan bahwa ada dua mata uang yang digunakan Tiongkok?
Well, dua hal tersebut sebenarnya adalah hal-hal yang saling berhubungan. Karen Yeung dalam artikelnya China’s Yuan vs Renminbi: What’s the Difference? menjelaskan bahwa “renminbi” adalah nama mata uang Tiongkok, sementara “yuan” adalah satuan hitung dari renminbi.
Analogi sederhananya bisa kita lihat dari penggunaan kata “pounds” dan “pound sterling”, yaitu mata uang Inggris. Jika ada sebuah televisi tua yang dijual di salah satu pasar di Inggris, mungkin harganya akan ditetapkan sekitar 50 pounds, dan jika ada orang yang ingin membelinya, maka ia harus menggunakan pound sterling sebagai mata uang yang sah di negara tersebut.
Lalu, mengapa internasionalisasi renminbi sangat penting bagi Tiongkok?
Eswar Prasad, profesor perdagangan internasional dari Universitas Cornell dalam tulisannya Gaining Currency: The Rise of the Renminbi,mengatakan bahwa asal mula internasionalisasi mata uang renminbi adalah dari aksi alamiah Tiongkok sebagai negara yang semakin kuat pengaruhnya dalam perdagangan dan investasi internasional.
Meskipun ekonomi Tiongkok kuat, uniknya, mata uang mereka masih kalah jauh dari mata uang internasional yang lebih populer seperti euro, pound sterling, dan tentunya dolar AS. Hal itu menurut Prasad, adalah karena Tiongkok berkali-kali melakukan yang namanya devaluasi mata uang, atau penurunan nilai mata uang terhadap dolar. Dengan nilai mata uang yang terus rendah, Tiongkok dapat mendorong ekspor, menciutkan defisit perdagangan, dan mengurangi beban utang negara.
Namun, ini menimbulkan permasalahan bagi negara-negara lain karena devaluasi dari negara ekonomi sebesar Tiongkok, dapat mencederai fundamental aktivitas ekonomi global. Pada prinsipnya, negara ekonomi besar harus memiliki mata uang yang kuat, demi persaingan pasar yang adil.
Jika terus lakukan devaluasi, barang-barang Tiongkok yang menjadi lebih murah dapat menyakiti banyak negara ekonomi kecil hingga menengah, yang sangat mengandalkan ekspor dalam aktivitas ekonomi internasional. Terlebih lagi jika negara-negara ini dililit utang dan sangat bergantung pada ekspor. Karena devaluasi ini, skeptisisme terhadap mata uang Tiongkok meningkat.
Maka dari itu, Prasad mengatakan, Tiongkok sepertinya sadar bahwa untuk mewujudkan tujuannya sebagai negara ekonomi besar, mereka juga harus membangun rasa kepercayaan dari negara dan investor asing terhadap renminbi.
Langkah pertama adalah dengan upaya memasukkan renminbi ke dalam Special Drawing Right (SDR) pada 2015. Dilansir dari situs resmi International Monetary Fund (IMF), SDR atau Hak Penarikan Khusus adalah aset cadangan mata uang asing pelengkap yang ditetapkan oleh IMF pada 1969. Fungsi dari SDR adalah sebagai pelengkap untuk cadangan mata uang para negara anggota IMF. Nilai dari SDR didasarkan pada 5 (lima) mata uang, yaitu dolar AS, euro, renminbi, pound sterling, dan yen.
Momentum ini merupakan titik penting dalam integrasi ekonomi Tiongkok ke arsitektur keuangan global. Pencapaian ini juga dipandang sebagai penghargaan bagi otoritas Tiongkok yang relatif berhasil mereformasi sistem keuangan dan moneternya
Kemudian upaya alternatif internasionalisasi renminbi kedua adalah gerakan pendekatan dengan skema LCS ke negara-negara yang memang dinilai strategis bagi Tiongkok, sekaligus membutuhkan pendanaan besar, seperti ke negara-negara yang dilalui proyek Belt and Road Initiative (BRI) seperti benua Afrika, dan juga negara kawasan ASEAN.
Dari sini, muncul sebuah pertanyaan menarik, sebenarnya bagaimana implikasi politiknya dari persebaran renminbi, khususnya di kawasan ASEAN?
Baca juga: Myanmar, Bukti Retno Tidak Bebas?
Menuju Hegemoni Melalui Renminbi?
Aktivitas ekonomi Tiongkok di ASEAN bisa dikatakan sudah cukup mendalam. Peneliti ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Telisa Falianty dalam tulisannya Renminbi in ASEAN Economy: How ASEAN responds to Renminbi Internationalization, mengatakan titik awal masuknya pengaruh renminbi ke ASEAN bisa kita lihat dari Chiang Mai Initiative (CMI), sebuah perjanjian multilateral antara sepuluh negara ASEAN dengan Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan yang diluncurkan pada tahun 2010.
Berdasarkan temuannya, Telisa menyimpulkan bahwa renminbi telah menjadi kekuatan penting dalam mempengaruhi nilai tukar mata uang ASEAN. Lebih lanjut, ia mengatakan efek internasionalisasi renminbi secara signifikan mempengaruhi dinamika mata uang negara-negara ASEAN, terutama setelah didirikannya ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA).
Memang, untuk Indonesia sendiri, pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal mengungkapkan bahwa saat ini 10 persen perdagangan Indonesia telah menggunakan mata uang renminbi dari Tiongkok. Bahkan, perkiraan ini akan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya. Terlebih lagi saat ini Tiongkok telah menjadi mitra impor Indonesia terbesar.
Baca juga: Waspada Kuda Troya Tiongkok?
Fenomena internasionalisasi renminbi ini menurut Hasegawa Masanori dalam tulisannya The geography and geopolitics of the renminbi: A regional key currency in Asia, kemungkinan besar adalah bagian dari serangkaian langkah awal Tiongkok dalam memperkuat daya tawarnya di bidang ekonomi, melalui pendekatan geopolitik. Jika renminbi bisa mempengaruhi mayoritas lalu lintas mata uang di Asia Tenggara, itu akan memiliki implikasi geopolitik yang signifikan ke arah global.
Masanori mengatakan, internasionalisasi renminbi akan membatasi penggunaan dolar sebagai “senjata” ekonomi AS dan obligasi AS untuk mempertahankan kemampuan penyebaran militernya di Asia Tenggara. Lebih lanjut, Masanori juga menilai, dengan persebaran renminbi, negara yang mengandalkan aktivitas ekonomi dengan Tiongkok semakin tidak membutuhkan dolar, dan ini juga berpotensi melemahkan kemampuan AS untuk menerapkan sanksi keuangan ke negara yang kawasannya memang sudah “terjangkit” internasionalisasi renminbi.
Namun, hal menarik yang sesungguhnya perlu disorot adalah, apa yang dilakukan Tiongkok ke kawasan ASEAN sesungguhnya merupakan bagian kecil dari agenda besar. Karena seperti kita tahu, proyek BRI tidak hanya mencakup Asia Tenggara, tetapi juga negara-negara Afrika dan Amerika Latin. Oleh karena itu, pantas jika kita curigai bahwa Tiongkok berusaha melakukan internasionalisasi renminbi secara bertahap, per wilayah di dunia.
Secara garis besarnya, ini bertepatan dengan konsep hegemoni dari ilmuwan politik John Mearsheimer. Dalam bukunya The Tragedy of Great Power Politics, Mearsheimer mengatakan bahwa jika suatu negara berkeinginan untuk menjadi negara yang memiliki pengaruh besar di dunia, atau hegemon, maka mereka terlebih dahulu harus menjadi hegemon di kawasan mereka sendiri dan sekitarnya.
Mearsheimer mengatakan, negara yang berambisi jadi hegemon ini harus mencoba untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan di level kawasan, dan memastikan keberadaan beberapa kekuatan yang ada di kawasan itu tidak berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi penantang bagi negara hegemon tadi.
Sederhananya, dalam konteks renminbi dan Tiongkok, kita bisa lihat bahwa Xi Jinping berusaha menjadikan ASEAN sebagai benteng awal dari pergerakannya mengalahkan dominasi ekonomi global yang saat ini masih dipegang AS. Sederhananya, strategi seperti ini juga bisa kita selaraskan dengan strategi “benteng stelsel” yang dilakukan Belanda pada masa penjajahan dahulu.
Tiongkok mungkin tidak berniat menyerang AS secara langsung dalam peperangan mata uang. Akan tetapi, kita perlu sadari bahwa ada upaya secara bertahap yang sepertinya sedang dilakukan oleh Negeri Panda ini.
Well, ke depannya, isu internasionalisasi renminbi tetap menjadi bahan perbincangan yang sangat menarik. Setidaknya untuk sekarang, kita bisa meraba sedikit demi sedikit apa agenda besarnya. (D74)
Baca juga: Xi Jinping, Serigala Politik Internasional?