Dengarkan Artikel Ini:
Kucuran dana hibah dari United States Trade and Development Agency (USTDA) sebesar US$2 juta atau Rp31 miliar untuk mendukung pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dinilai sebagai bentuk “rayuan” kepada pemerintahan baru untuk mendekat ke Amerika Serikat (AS) dan menjauhi Tiongkok. Mengapa demikian?
Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang sedang dibangun kiranya merupakan proyek infrastruktur yang ambisius dan strategis bagi negara kepulauan terbesar di dunia ini.
Proyek ini tampaknya telah menarik perhatian negara-negara besar, terutama Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang seolah sedang memperebutkan pengaruh di kawasan tersebut.
Sebelumnya, Tiongkok juga dikabarkan akan melakukan investasi di IKN. Hal itu langsung disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Tiongkok Li Qiang di Beijing Oktober 2023 lalu.
Kini, giliran AS yang memberikan bentuk nyata dukungan terhadap pembangunan IKN dengan memberikan dana hibah sebesar US$2 juta atau sekitar Rp31 miliar melaluiUnited States Trade and Development Agency (USTDA).
Dana itu akan digunakan untuk mengembangkan desain, teknis, dokumentasi, dan strategi secara rinci untuk infrastruktur kota pintar atau smart city Nusantara.
AS juga akan memberikan analisis komperhensif, termasuk membangun kemitraan dengan pelaku industri Negeri Paman Sam.
Tak hanya itu, USTDA juga akan memboyong sejumlah delegasi dari Indonesia ke kota-kota di AS untuk bertemu dengan para ahli infrastruktur dan ahli kebijakan untuk memperkuat dan mengatasi tantangan infrastruktur yang dihadapi negara berkembang.
Mulai terlibatnya AS dalam pembangunan IKN ini tampaknya juga sebagai bentuk tantangan kepada Tiongkok untuk memperebutkan pengaruh di Indonesia, sekaligus bisa saja bentuk “rayuan” kepada Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih 2024-2029.
Padahal, selama masa pemerintahan Jokowi, AS tampak tidak menunjukan bentuk konkret dalam ikut sertanya dalam proyek pembangunan IKN.
Lalu, mengapa AS baru mulai ikut serta pembangunan IKN setelah ada indikasi Prabowo terpilih menjadi presiden?
Prabowo Lebih Dekat ke AS?
Saat era pemerintahan Jokowi, Indonesia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Tiongkok. Berbagai proyek strategis pemerintah kiranya sebagian besar dikerjakan oleh kontraktor dan investasi dari Tiongkok.
Berdasarkan data Kementerian Investasi pada periode kuartal III tahun 2023, Tiongkok berada di posisi kedua negara dengan nilai investasi terbanyak di Indonesia dengan US$5,6 miliar.
Sementara, AS berada di peringkat kelima negara dengan nilai investasi terbanyak di Indonesia dengan US$2,4 miliar.
Kini, dengan terpilihnya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, Negeri Paman Sam tampaknya memiliki harapan baru untuk kembali membangun hubungan strategis dengan Indonesia.
Secara geografis, Indonesia adalah “sekutu” penting AS di Asia Tenggara. Mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono bahkan menyebut, Indonesia sebagai tumpuan atau jangkar bagi kepentingan AS di kawasan Asia Tenggara.
Dan, terpilihnya Prabowo membuat AS mempunyai harapan untuk kembali menancapkan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara.
Ini tak lepas dari kedekatan Prabowo dengan intelijen maupun korporasi besar di AS. Kedekatan ini terjalin mulai dari sang ayah Soemitro Djojohadikusumo yang memiliki kepentingan bisnis dan hubungan dengan pemerintah AS sejak tahun 1960-an.
Selain itu, Prabowo yang merupakan lulusan terbaik Fort Bragg atau yang sekarang bernama Fort Liberty, Carolina Utara, AS yang disebut-sebut merupakan sekolah pasukan khusus tersulit di dunia.
Kedekatan Prabowo dengan AS juga kiranya diamini oleh sang adik, Hashim Djojohadikusumo yang menyatakan jika Prabowo adalah sahabat dari AS.
Meskipun begitu, hubungan Prabowo dan AS tidak selalu mulus. Prabowo pernah ditolak masuk AS ketika ingin menghadiri wisuda kelulusan putranya di salah satu universitas di Boston, AS tahun 2000 lalu.
Dengan berbagai indikasi kedekatan Prabowo dan Negeri Paman Sam tampaknya akan membuat AS akan lebih aktif lagi untuk ikut serta berinvestasi dalam pembangunan IKN.
Bukan tidak mungkin jika AS juga sedang menjalankan multi-track diplomacy untuk kembali mendekati Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo lewat berbagai investasi dan keikutsertaannya dalam pembangunan IKN.
John W. McDonald dan Betty B. Sadler dalam publikasinya yang berjudul Multi-Track Diplomacy: A New Model for Global Engagement menjelaskan multi-track diplomacy dapat digunakan sebagai pendekatan yang melibatkan berbagai aktor non-pemerintah.
Aktor non-pemerintah yang dimaksud, diantaranya perusahaan, organisasi bisnis, dan kelompok masyarakat sipil, untuk memfasilitasi kerjasama dan membangun hubungan yang saling menguntungkan antara negara-negara.
Dengan kucuran dana hibah dan bantuan analisis secara komperhensif dari USTDA seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kiranya menjadi indikasi AS sedang menjalankan multi-track diplomacy untuk menarik hati Prabowo.
Negeri Paman Sam kiranya sedang memperlihatkan kepada Prabowo bentuk komitmennya untuk mendukung pembangunan IKN setelah mantan Danjen Kopassus itu hampir pasti terpilih menjadi Presiden RI ke-8.
Namun, Prabowo dalam acara Trimegah Political and Economic Outlook 2024 pada 31 Januari lalu menegaskan jika dirinya memiliki kedekatan dengan AS serta bersahabat dan menghormati Tiongkok.
Dengan demikian, Prabowo tampaknya juga sedang mempersilakan Tiongkok dan AS untuk bersaing di Indonesia.
IKN Jadi Arena Tarung AS-Tiongkok?
Berbeda dengan Tiongkok yang masuk lewat lobi antar pemerintah, AS tampaknya mencoba masuk berpartisipasi lewat jalur bisnis.
Mulai masuknya AS dalam pembangunan IKN itu tampaknya menjadi indikasi untuk kembali menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Fenomena ini bisa dijelaskan dengan konsep struggle for power.
Hans Morgenthau dalam bukunya yang berjudul Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace menjelaskan tentang konsep struggle for power.
Konsep struggle for power sendiri berangkat dari pemikiran realisme yang menekankan sisi kompetitif dan konfliktual hubungan internasional.
Struggle for power adalah konsep dalam studi hubungan internasional yang menyatakan bahwa persaingan dan konflik antara negara-negara didorong oleh keinginan mereka untuk memperoleh, mempertahankan, atau meningkatkan kekuasaan relatif mereka di dunia.
Konsep ini menekankan bahwa negara-negara bertindak berdasarkan kepentingan nasional mereka untuk mencapai tujuan-tujuan politik, ekonomi, dan keamanan.
Dalam konteks konsep ini, kekuasaan bisa didefinisikan sebagai kemampuan suatu negara untuk memengaruhi perilaku negara lain, baik melalui kekuatan militer, ekonomi, diplomatik, maupun faktor-faktor lainnya.
Persaingan untuk kekuasaan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari rivalitas ekonomi dan perdagangan, persaingan geopolitik untuk kendali wilayah atau sumber daya, hingga persaingan ideologi dan pengaruh budaya.
Struggle for power telah menjadi dasar untuk memahami dinamika hubungan internasional, terutama dalam menjelaskan konflik antara kekuatan besar dan dinamika persaingan di tingkat global.
Dalam konteks persaingan AS dan Tiongkok, kedua negara berlomba untuk memperoleh keunggulan dan membangun kehadiran mereka di IKN.
Sebagai kekuatan dominan saat ini, AS memiliki kepentingan strategis dalam mempertahankan pengaruhnya di Asia Pasifik.
AS menggunakan berbagai strategi, termasuk investasi ekonomi dan diplomasi, untuk mempertahankan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara dan memperkuat hubungan bilateral dengan Indonesia.
Terlebih, kini Indonesia dipimpin oleh Prabowo yang tampaknya akan lebih pro ke AS berdasarkan faktor yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Dari segi Indonesia, hubungan yang erat dengan AS juga memberikan peluang bagi investasi dan kerja sama ekonomi yang dapat mendukung pertumbuhan dan pembangunan di Indonesia.
Selain itu, menjaga hubungan yang baik dengan Tiongkok tetap penting, namun juga penting untuk mencari alternatif dalam hubungan internasional guna memperkuat posisi negara dalam mencapai kepentingan nasionalnya.
Meskipun, seperti yang dijelaskan sebelumnya jika Prabowo telah menegaskan dirinya dekat ke AS dan Tiongkok. Perlu ditekankan kembali, bahwa menjaga keseimbangan politik antara Amerika Serikat dan Tiongkok merupakan tugas yang kompleks.
Prabowo tampaknya perlu membawa Indonesia mengelola hubungannya dengan hati-hati untuk menghindari konflik kepentingan dan mempertahankan kedaulatan serta kepentingan nasionalnya di tengah persaingan dua kekuatan besar tersebut.
Menarik untuk ditunggu apakah benar terpilihnya Prabowo menjadi presiden membuat AS kembali menjadikan Indonesia sebagai mitra yang lebih strategis. (S83)