HomeNalar PolitikAS Tak Mau Bantu Indonesia?

AS Tak Mau Bantu Indonesia?

Sebagai pemain utama dalam kancah global, idealnya AS memberi bantuan besar bagi bencana gempa dan tsunami di Sulteng. Akan tetapi, sejauh ini hal tersebut belum juga terlihat.


PinterPolitik.com

[dropcap]B[/dropcap]encana gempa di Sulawesi Tengah memang sangat memilukan. Tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi dunia. Berbagai negara di penjuru dunia menunjukkan simpati mereka kepada penderitaan yang dialami masyarakat di Palu dan Donggala. Tak hanya simpati, mereka juga memberi mau memberi bantuan untuk pemulihan pasca gempa.

Umumnya, negara yang tergolong royal untuk membantu kejadian bencana semacam ini adalah negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS). Akan tetapi, tampaknya AS tidak memberikan banyak bantuan dalam kejadian di Sulteng ini.

Hal itu disoroti oleh jurnalis Jill Filipovic dalam artikelnya di CNN. Dalam artikel tersebut digambarkan bahwa AS yang biasanya bersikap sebagai pemain utama di kancah global, kini justru memberikan bantuan yang sedikit untuk Indonesia. Tulisan tersebut menyebut bahwa AS telah melakukan kesalahan besar dengan tidak memberi perhatian besar ke gempa Sulteng.

Jika benar AS sedang melakukan kesalahan besar dengan sikap seperti itu, mengapa mereka terus melakukannya? Adakah alasan khusus dari Washington untuk sedikit memalingkan wajah dari gempa di Sulteng?

Rajin Membantu

Sebagai negara yang memiliki perang penting dalam kancah global, AS tergolong rajin memberikan bantuan ke negara-negara yang ada di dunia. Berbagai jenis bencana dan krisis kerap kali menjadi sasaran kemurahan hati Paman Sam.

Secara khusus, melalui Office of Foreign Disaster Assistance (OFDA) USAID, AS disebutkan selalu merespons kepada rata-rata 65 bencana di seluruh dunia setiap tahunnya. Setiap tahunnya, ada lebih dari 50 negara yang mendapat uluran tangan Paman Sam agar dapat pulih dari bencana.

Dalam beberapa waktu terakhir, AS telah memberikan bantuan khusus kepada bencana-bencana di seluruh dunia. Mereka misalnya memberikan perhatian khusus kepada gempa di Meksiko, Badai Irma di kawasan Karibia, dan juga berbagai konflik di Suriah, Irak, dan Nigeria.

Meski kerap berperan aktif, nyatanya AS bukanlah pemain internasional utama dalam proses penanganan bencana di Sulteng. Memang, negara ini bukannya sama sekali tidak memberi bantuan. Tetapi jika dikaitkan dengan peran global, upaya mereka boleh jadi bisa lebih ditingkatkan lagi.

AS melalui USAID misalnya baru memberikan bantuan dana sebesar 100 ribu dolar AS untuk proses pemulihan bencana di Sulteng. Disebutkan bahwa di internal AS, sejauh ini tidak ada permintaan untuk menambah jumlah dana yang akan dialokasikan untuk membantu Indonesia.

Hal ini tergolong kontras jika dibandingkan dengan aliran dana yang diberikan AS pada bencana tsunami di Aceh dan sekitarnya di tahun 2004. Kala itu, sebagai dana awal, AS memberikan bantuan sebesar 15 juta dolar AS. Angka tersebut terus meningkat seiring dengan waktu dan kritik yang dialamatkannya sebagai negara kaya.

Beberapa waktu setelahnya, Presiden George W. Bush dan juga Menteri Luar Negeri menambahkan dana 20 juta dolar AS, sehingga totalnya mencapai 35 juta dolar AS. Di akhir tahun 2004, diberitakan bahwa total dana yang akan dialirkan naik menjadi 10 kali lipatnya, yaitu 350 juta dolar AS. Sementara di tahun 2005, Bush mengumumkan bahwa akan ada dana tambahan sebesar 600 juta dolar AS.

Angka tersebut tentu sangat kontras jika dibandingkan dengan dana yang dialirkan Trump untuk penangangan gempa dan tsunami di Sulteng. Memang, dana yang dikucurkan saat ini disebut sebagai dana awal. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan dana awal yang diberikan Bush untuk tsunami Aceh, jumlah dananya terpaut terlalu jauh.

Tak hanya kontras jika dibandingkan dengan Bush, angka 100 ribu dolar AS juga tidak sebanding jika dibandingkan negara-negara lain. Korea Selatan misalnya memberikan bantuan sebesar 1 juta dolar AS. Jerman dan Uni Eropa sama-sama mengalirkan dana sebesar 1,5 juta dolar AS. Yang cukup mengherankan adalah Venezuela, negara yang tengah dilanda krisis, melalui Presiden Nicolas Maduro mengumumkan akan menyumbangkan dana sebesar 10 juta dolar AS.

Filipovic dalam artikelnya menyebut bahwa minimnya kontribusi AS untuk membantu penanganan bencana di Sulteng ini terkait dengan kebijakan Trump. Ia mengkritik lebih lanjut bahwa kebijakan tersebut lebih dari sekadar America First, bahkan cenderung mefirst. Presiden AS ke-45 ini memang terkenal dengan kebijakannya yang mengutamakan AS atau America First, sehingga tidak banyak memberi perhatian pada persoalan di luar negeri.

Dalam artikel tersebut, digambarkan bahwa alih-alih membantu dunia – dan menegakkan kepentingan AS – Washington memilih untuk menutup diri dari seluruh dunia dan menolak untuk membantu Indonesia.

Kepentingan Strategis Terganggu?

Anggapan bahwa saat ini AS di bawah Trump memang mengutamakan kebijakan yang bersifat America First boleh jadi ada benarnya. Akan tetapi, bisa saja ada alasan lain mengapa AS yang biasanya terlibat sangat aktif dalam bantuan bencana kini mengambil langkah minimalis di Indonesia.

Salah satu spekulasi dari sikap AS tersebut bisa saja adalah bahwa muncul indikasi hubungan antara AS dan Indonesia yang sedang sedikit renggang. Ada beberapa hal yang dapat menjadi penyebab terganggunya hubungan antara kedua negara.

Tom Pepinsky dari Cornell University merupakan salah satu orang yang melihat adanya perubahan dalam hubungan antara Indonesia dan AS. Menurutnya, mungkin saja hubungan keduanya tidak berkurang, akan tetapi dapat berubah sesuai dengan kepentingan strategis dan politik transaksional Trump di Indonesia.

Mengapa AS tak banyak membantu untuk gempa Palu? Share on X

Hal serupa juga ditangkap oleh Joshua Kurlantzick, Senior Fellow pada Council on Foreign Relations (CFR). Kurlantzick menyebut bahwa pemerintahan AS di bawah Trump tidak banyak memberi perhatian kepada Indonesia. Padahal, mereka tengah memberi penekanan pada negara-negara lain seperti Vietnam, Singapura, Filipina, dan Malaysia.

Boleh jadi Trump punya alasan mengapa Indonesia tidak banyak dilirik. Indonesia saat ini misalnya tengah menjalin kemesraan yang cukup erat dengan negeri tirai bambu Tiongkok. Tidak dapat dipungkiri bahwa investasi Tiongkok di Indonesia tergolong jor-joran. Pada tahun 2016 misalnya Penanaman Modal Asing (PMA) Tiongkok mencapai 2,6 miliar dolar AS.

Hal ini bisa saja membuat AS cemas karena pengaruhnya di Asia Tenggara dan secara spesifik di Indonesia tengah dalam ancaman. Tiongkok bisa saja mengambil alih peran AS di Indonesia sebagai negara yang paling memberi pengaruh di negeri ini. Padahal, hubungan AS dan Indonesia sudah sangat mesra sejak 1960-an terutama di era Soeharto.

Jika Indonesia secara penuh jatuh ke pelukan Tiongkok, maka secara regional pengaruh AS semakin melemah di kawasan Asia Tenggara. Sebelumnya negara-negara seperti Laos, Kamboja, dan Vietnam terindikasi lebih dekat dengan Tiongkok ketimbang AS. Kondisi ini tentu akan bertambah gawat bagi Washington jika Indonesia yang dekat sejak lama ternyata memilih lebih dekat dengan Tiongkok.

Selain itu, AS juga dikabarkan tidak terlalu nyaman dengan kebijakan ekonomi Indonesia yang terlampau proteksionis. Duta Besar AS untuk Indonesia, Joseph R. Donovan pernah mengeluhkan hal ini. Ia menyebut bahwa pembatasan impor yang dilakukan oleh Indonesia untuk beberapa produk pertanian tidak sehat.

Secara strategis, kondisi-kondisi tersebut boleh jadi tidak terlalu sejalan dengan kepentingan AS. Washington terlihat semakin melemah pengaruhnya seiring dengan kebijakan pemerintahan Jokowi yang mendekat ke Tiongkok dan kebijakan nasionalisme ekonomi.

Boleh jadi, enggannya AS memberi bantuan lebih kepada bencana di Sulteng menjadi tanda terganggunya kepentingan strategis mereka. Jika itu benar, maka bisa saja ada langkah yang lebih besar dari sekadar tidak memberi banyak bantuan ke Sulteng.

Secara khusus, dalam konteks politik Indonesia paling dekat, Washington bisa saja mengirim pesan terkait dengan Pilpres 2019. AS bisa saja mulai memikirkan ulang untuk memberikan restu kepada pemerintahan di bawah Jokowi untuk berlanjut ke periode kedua.

Tentu, hal ini sebatas spekulasi. Idealnya, AS tetap diharapkan mau meningkatkan bantuannya ke Sulteng agar proses pemulihan berjalan maksimal. Jika tidak, bisa saja negara tersebut memang memiliki niatan untuk meninggalkan Indonesia di bawah kendali pemerintah saat ini. (H33)

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...