Di era yang awalnya disebut sebagai era perdamaian, kita kini sekarang berhadapan dengan tensi-tensi geopolitik yang semakin berbahaya. Apakah ini merupakan pertanda buruk akan datangnya sebuah mala-bahaya geopolitik global?
Tiga tahun lalu mungkin akan banyak yang mengatakan bahwa era modern, khususnya setelah Perang Dunia II, adalah era yang penuh dengan perdamaian.
Kalau boleh mengutip istilah dari mantan diplomat Amerika Serikat (AS), Michael McFaul, meskipun dunia masih dipenuhi dengan perbedaan pandangan politik, “hot peace” atau perdamaian panas yang kita rasakan di zaman sekarang adalal hal yang sangat baik bila dibandingkan dengan situasi geopolitik pada abad ke-20, dan sebelumnya.
Namun, dalam dua tahun terakhir, anggapan tersebut tampaknya telah dibuktikan tidak lagi berlaku. Pada Februari 2024, dunia dikejutkan oleh keberanian Rusia untuk memulai aksi militer ke Ukraina. Serangan tersebut memulai pertarungan panjang yang tidak hanya membuat kedua kubu “berdarah”, tetapi juga aktivitas ekonomi dunia.
Belum selesai dengan Perang Rusia-Ukraina, kini seluruh negara di dunia juga harus berhadapan dengan potensi “kebakaran” geopolitik yang bisa muncul dalam perang antara Israel dan Palestina. Layaknya perang di Ukraina, pertumpahan darah yang terjadi di Gaza juga semakin membuat dunia sadar bahwa tensi geopolitik yang “konvensional” adalah sebuah konsep yang belum kita tinggalkan sepenuhnya.
Kalau boleh kita simpulkan, sejujurnya di akhir tahun 2023 ini kita mungkin sedang hidup di salah satu momen paling panas dalam sejarah abad ke-21.
Atas dasar itu, tidak sedikit yang kemudian bertanya-tanya, adakah potensi tensi-tensi geopolitik ini membuka jalan bagi bencana geopolitik yang lebih besar di masa depan?
Nostalgia Perang Dunia II?
Terkait ketidakpastian geopolitik yang saat ini melanda dunia, ada satu pandangan menarik dari seorang ilmuwan ekonomi-politik bernama Nouriel Roubini, yang sepertinya layak kita jadikan renungan.
Dalam sebuah wawancara dengan McKinsey Global Institute, berdasarkan penilaiannya atas tensi geopolitik yang saat ini terjadi, Roubini memprediksi bahwa kita akan memasuki era yang penuh dengan sesuatu yang disebut sebagai Megathreats, atau bahaya besar.
Mengambil inspirasi dari buku yang ia tulis dengan judul serupa, Megathreats yang dibayangkan Roubini diprediksi disebabkan kondisi geopolitik global yang tidak jauh berbeda dengan yang dulu pernah terjadi sebelum Perang Dunia II. Secara khusus, Roubini menyoroti dampak dari menurunnya pengaruh politik hegemon dunia pada saat itu, yaitu Inggris.
Karena Inggris pada awal abad ke-20 tidak sedominan pada tahun-tahun sebelumnya, muncul masalah-masalah krusial yang sebelumnya sebetulnya bisa diselesaikan oleh mereka, tapi pada saat itu sudah tidak bisa. Contoh besarnya adalah Depresi Besar ekonomi pada 1929, Perang Dunia I, dan juga Perang Dunia II. Terkhusus perang-perang besar yang terjadi, Megathreats semacam itu bisa muncul karena para kekuatan Axis saat itu, yakni Jerman, Italia, dan Inggris, merasa Inggris tidak lagi bisa menghalangi mereka.
Atas dasar ini, Roubini melempar asumsi bahwa situasi yang terjadi pada masa perang dulu, ada potensi untuk terjadi di zaman sekarang. Ini karena saat ini, Amerika Serikat (AS), mulai mengalami gejala penurunan pengaruh politik.
Perlu diingat bahwa AS memang masih menjadi kekuatan yang dominan di dunia, akan tetapi, meletusnya Perang Rusia-Ukraina bisa sedikit memberi kita bukti bahwa sekarang sudah banyak negara yang berani menantang AS. Selain Rusia, bukti-bukti menarik yang bisa kita sorot adalah perilaku negara-negara Arab.
Pada akhir 2022 lalu negara-negara Arab seperti Arab Saudi diketahui tidak menghiraukan permintaan AS untuk memproduksi lebih banyak minyak bumi karena itu akan menyakiti ekonomi mereka. Walaupun Saudi tidak dipungkiri masih ingin memiliki hubungan kuat dengan AS, sifat yang demikian tentu pantas membuat kita bertanya-tanya tentang legitimasi kekuatan politik AS, bukan?
Sekarang, situasi yang serupa semakin diuji dengan meletusnya pertempuran antara Israel dan Palestina. Perpecahan pendapat antara negara-negara Eropa terkait kegoyahan dukungannya pada Israel, seperti yang dialami Spanyol, pun jadi kisi-kisi bahwa soliditas tatanan dunia berdasarkan fondasi peradaban negara Barat kini mulai tergoyah.
Ketidakpastian politik internasional ini-lah yang kemudian disebut Roubini juga sebagai situasi “depresi geopolitik”.
Lantas, bila memang keadaan geopolitik dunia sekarang demikian, tentu pertanyaannya adalah, akan seperti bagaimana keadaan politik internasional di masa yang akan datang? Adakah kemungkinan Megathreats seperti yang diramalkan Roubini menjadi kenyataan?
Dari Netanyahu Sampai Putin: Bencana Geopolitik?
Setiap kali pembahasan mengenai kemungkinan terjadinya perang besar muncul, mungkin pendapat pertama yang umumnya timbul dalam pikiran banyak orang adalah bahwa perang tidak akan terjadi karena dampaknya akan merugikan semua pihak.
Dari segi logika, pandangan yang dapat diambil dari tulisan James Joll berjudul The Origins of the First World War mungkin terlihat benar. Kelihatannya tidak mungkin para pemegang kekuasaan dunia akan secara nekat merusak perekonomian mereka sendiri, bukan?
Namun, orang-orang yang memandang hal tersebut tampaknya terlalu optimis terhadap faktor politik. Masalahnya, masalah-masalah yang terjadi di dunia politik seringkali tidak selaras dengan logika manusia.
Yuval Noah Harari dalam karyanya 21 Lessons for the 21st Century menyentuh aspek ini dengan menyatakan bahwa alasan sebenarnya di balik tindakan perang manusia adalah kecenderungan mereka untuk berpikir singkat atau “bodoh”.
Harari menulis, “Sayangnya, meskipun perang mungkin menjadi bisnis yang tidak menguntungkan di abad ke-21, itu tidak menjamin perdamaian mutlak. Kita tidak boleh meremehkan kebodohan manusia.”
Pernyataan Harari diperkuat oleh kejadian Perang Dunia II, di mana Adolf Hitler tiba-tiba menantang Eropa Timur dan Barat untuk berperang. Padahal, jika Hitler berpikir dengan bijak, Jerman, meskipun maju pada saat itu, tetap tidak akan mampu melawan kekuatan militer luar biasa yang dimiliki oleh Soviet dan AS, walaupun Inggris sudah mulai tidak jadi hegemon dunia.
Kalau kita membawa pandangan ini ke zaman sekarang, well, sebetulnya tidak ada yang bisa memastikan bahwa sosok seperti Vladimir Putin atau Benjamin Netanyahu akan menahan ambisi perang besar mereka bila keadaan dunia justru semakin memojokkan mereka. Beberapa tahun lalu mungkin mereka tidak berani membuat tensi geopolitik. Akan tetapi, bila dunia internasional semakin tidak stabil dan terlihat tidak “terjaga”, ada kemungkinan sosok-sosok seperti ini akan lebih berani bertindak semaunya.
Bisa jadi, di era depresi geopolitik ini, bila dunia semakin memojokkan sosok seperti Putin atau Netanyahu, kemungkinan meletusnya perang yang lebih besar justru akan lebih nyata. (D74)