Site icon PinterPolitik.com

AS “Prediksi” Corona di Indonesia?

AS Prediksi Corona di Indonesia

Presiden Jokowi (kanan) dan Presiden AS Donald Trump (kiri) dalam sebuah pertemuan KTT. (Foto: Istimewa)

Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta merilis sebuah travel advisory terkait perkembangan pandemi Corona (Covid-19) di Indonesia. Dalam advisory tersebut, pemerintah AS meminta warganya yang ada di Indonesia untuk pulang ke negaranya. Ada apa di balik travel advisory tersebut?


PinterPolitik.com

“And I’m not to be played with because it can get dangerous” – Wiz Khalifa, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Dunia kini sepertinya tengah mengalami salah satu cobaan terberatnya. Bagaimana tidak? Hampir seluruh negara di berbagai benua kini terjangkit oleh pandemi global yang disebabkan oleh virus Corona (Covid-19).

Setidaknya 199 negara dan wilayah telah terdampak oleh virus satu ini, termasuk Indonesia. Jumlah kasus dari ke hari juga terus bertambah di negara kepulauan satu ini.

Selain itu, jumlah pasien yang meninggal semakin hari juga bertambah – hingga melebihi jumlah orang yang sembuh. Hingga artikel ini ditulis, jumlah kasus positif di Indonesia yang tersebar di 28 provinsi telah mencapai 1.046 kasus, 46 pasien sembuh, dan 87 orang meninggal berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Bukan tidak mungkin situasi yang memburuk ini membuat pemerintah Amerika Serikat (AS) semakin khawatir dengan keadaan warga negaranya di Indonesia. Maka dari itu, beberapa waktu lalu, Kedutaan Besar (Kedubes) AS merilis sebuah travel advisory (peringatan perjalanan).

Travel advisory itu mengimbau agar warga negara AS tidak melakukan perjalanan ke Indonesia. Selain itu, pemerintah negara Paman Sam tersebut juga meminta agar warga-warganya di Indonesia untuk segera pulang.

Secara khusus, travel advisory itu juga mendesak anggota-anggota keluarga Kedubes untuk segera kembali ke AS – khususnya bagi mereka yang berusia di bawah 21 tahun.

Dalam advisory itu, disebutkan pula beberapa alasan mengapa pemerintah AS merilis imbauan tersebut. Beberapa di antaranya adalah fakta akan adanya penyebaran Covid-19 di Indonesia, kapasitas medis Indonesia, dan jumlah penerbangan yang semakin berkurang.

Desakan agar warga AS untuk pulang ini tentunya menimbulkan beberapa pertanyaan. Pasalnya, kondisi penyebaran Covid-19 di AS juga cukup parah. Jumlah kasus positif di negara tersebut bahkan menjadi yang terbanyak di dunia – sekitar 82.400 kasus lebih dan melebihi Tiongkok.

Lantas, mengapa AS merilis travel advisory yang meminta warganya untuk meninggalkan Indonesia? Apa ada alasan politis di baliknya?

Alasan Politis?

Pada umumnya, travel advisory bertujuan untuk memberikan informasi keamanan terkait negara tujuan (destination). Beberapa ancaman yang biasa dianggap berbahaya adalah terorisme, ancaman kesehatan, kriminalitas, dan sebagainya.

Aman Deep dan Charles Samuel Johnston dalam tulisan mereka yang berjudul Travel Advisories menjelaskan bahwa travel advisory umumnya dilihat sebagai hal yang sah-sah saja oleh masyarakat di negara-negara maju. Namun, Deep dan Johnston yakin bahwa travel advisory terkadang juga digunakan untuk melakukan destabilisasi politik dan ekonomi bagi negara yang menjadi sasaran.

Dalam beberapa kasus, Deep dan Johnston menjelaskan bahwa travel advisory juga digunakan sebagai alat guna melakukan tekanan politik (political coercion). Setidaknya, entah sengaja atau tidak sengaja, terdapat empat kategori travel advisory, yakni melebih-lebihkan ancaman (overstatement), bias dan prasangka (bias), permusuhan ideologis (hostility), dan sebagai taktik menakuti sekaligus alat politik (tool).

Penggunaan travel advisory sebagai alat politik seperti ini sebelumnya dinilai pernah dilakukan oleh pemerintah AS. Salah satu negara yang menjadi korban kala itu adalah Filipina.

Di tengah kondisi yang relatif damai dan aman, Filipina dianggap memiliki ancaman tersendiri bagi warga AS. Namun, mengacu pada penjelasan Raoul Bianchi dalam tulisannya yang berjudul Tourism and the Globalisation of Fear, penerbitan travel advisory tersebut dinilai bertujuan untuk menekan pemerintah Filipina agar mau menandatangani pembaruan perjanjian kerja sama pangkalan militer.

Selain Filipina, terdapat juga sebuah negara di Afrika – Gambia – yang juga menjadi korban travel advisory. Kala itu, Inggris merilis peringatan perjalanan tersebut guna menekan pemerintah junta Gambia meskipun situasi politik di negara tersebut terhitung stabil.

Padahal, ekonomi Gambia dianggap sangat bergantung pada paket-paket pariwisata Inggris. Akibatnya, sektor pariwisata negara tersebut mengalami banyak kerugian.

Lantas, bagaimana dengan travel advisory AS untuk Indonesia? Apakah peringatan perjalanan tersebut juga beralasan politis?

Entah sengaja atau tidak sengaja, terdapat empat kategori dimensi travel advisory, yakni melebih-lebihkan ancaman (overstatement), prasangka (bias), permusuhan ideologis (hostility), dan sebagai taktik menakuti sekaligus alat politik (tool). Share on X

Berkaca pada kasus Filipina dan Gambia, bukan tidak mungkin dimensi politik antara AS dan Indonesia turut memengaruhi penerbitan travel advisory tersebut. Pasalnya, AS disebut-sebut memiliki persoalan dagang dengan Indonesia.

Jika ditilik kembali, AS mengalami defisit neraca perdagangan dengan Indonesia. Negara Paman Sam itu sempat menekan Indonesia dengan menaikkan statusnya menjadi negara maju melalui lembaga US Trade Representative.

Mungkin persoalan dagang inilah yang turut membuat AS ingin menekan Indonesia kembali. Selain itu, negara Paman Sam tersebut juga sempat tidak puas dengan rencana Indonesia untuk membeli persenjataan – jet tempur dan misil – dari Rusia.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa AS kerap menekan Indonesia untuk mengurungkan niatnya tersebut. Bahkan, sanksi ekonomi disebut-sebut menanti bagi Indonesia.

Meski begitu, prediksi atas alasan politis di balik travel advisory AS ini belum dapat dipastikan kebenarannya. Justru, beberapa pertanyaan lain tetap menghantui.

Apakah benar travel advisory tersebut sepenuhnya didasarkan pada perkembangan pandemi Covid-19 di Indonesia? Mengapa AS akhirnya merilis travel advisory tersebut?

Prediksi AS?

Sebagai negara digdaya di dunia, apa yang dilakukan AS tentunya memiliki dasar dan implikasi yang cukup mendalam. Bukan tidak mungkin negara tersebut tengah bersiap-siap akan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi seputar perkembangan pandemi Covid-19 di Indonesia.

Dalam hubungan internasional, negara akan bertindak layaknya manusia yang saling berinteraksi dalam sebuah wadah masyarakat. Setidaknya, asumsi seperti inilah yang diyakini oleh pemikir konstruktivis – seperti Alexander Wendt.

Masyarakat internasional bisa dibilang terdiri dari berbagai negara yang saling berperilaku. Gagasan, identitas, dan nilai yang melekat pada masing-masing negara inilah yang menjadi dasar bagi sebuah negara dalam menentukan tindakan – dalam hal ini kebijakan luar negeri.

Asumsi seperti ini juga dijelaskan oleh Robert Jervis – profesor politik internasional dari Columbia University – dalam tulisannya yang berjudul Intelligence and International Politics.

Jervis menyebutkan bahwa kebijakan luar negeri sebuah negara kerap didasarkan pada asumsi bagaimana negara lain bertindak di masa kini dan masa mendatang. Asumsi-asumsi seperti itu biasanya terlihat dari dokumen-dokumen resmi negara.

Lantas, apa hubungannya dengan travel advisory yang dikeluarkan oleh AS terkait Indonesia?

Inilah yang menjadi pertanyaan menarik. Pasalnya, AS sendiri kini menjadi negara dengan jumlah kasus positif Covid-19 yang terbanyak di dunia. Bukan tidak mungkin situasi ini turut menjadi ancaman bagi warga negaranya.

Namun, sebenarnya, Indonesia sendiri bisa jadi  memiliki potensi ancaman yang besar pula. Mungkin, dari sinilah, AS merasa perlu bagi warganya untuk kembali.

Pasalnya, pemerintah Indonesia sendiri diketahui memiliki perilaku yang cenderung menutup-nutupi informasi soal perkembangan Covid-19 di wilayahnya. Selain itu, kebijakan pemerintah yang cenderung berfokus pada ekonomi dibandingkan dengan kesehatan masyarakat dianggap menimbulkan risiko penularan lebih lanjut.

Bukan tidak mungkin AS merasa perlu menjaga warganya akibat sikap pemerintah Indonesia tersebut. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, negara akan bertindak berdasarkan perilaku dan gagasan yang melekat di negara lain.

Namun, apakah benar hanya sikap pemerintah Indonesia yang ditakutkan oleh AS? Mungkinkah travel advisory AS pertanda bagi prediksi kemungkinan terburuk di Indonesia?

Kemungkinan Terburuk?

Di sisi lain, meski jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia memang tidak sebesar negara-negara lain, data yang dimiliki pemerintah kini diduga-duga tidak sepenuhnya menggambarkan situasi yang ada. Hal ini disebabkan oleh minimnya tingkat uji kesehatan (test rate) di masyarakat yang disertai dengan tingginya tingkat kematian akibat Covid-19.

Bagaimana tidak? Minimnya uji kesehatan tersebut membuat banyak ahli menduga-duga. Bahkan, separuh penduduk Indonesia disebut-sebut dapat saja terpapar Covid-19.

Situasinya juga dapat memburuk apabila sistem kesehatan masyarakat Indonesia semakin tak dapat menahan lonjakan pasien. Dokter dan perawat dikabarkan mulai gugur dalam menangani Covid-19.

Tak hanya itu, ketahanan sistem kesehatan Indonesia juga diragukan. Pasalnya, sistem kesehatan Indonesia hanya memiliki kapasitas sebesar 12 tempat tidur rumah sakit (hospital beds) per 10.000 orang. Jumlah dokter yang ada juga hanya sekitar 4 dokter setiap 10.000 orang.

Padahal, bila dibandingkan dengan beberapa negara yang dianggap menjadi pusat penularan baru – seperti Italia dan Korea Selatan, Indonesia bisa dibilang terpaut jauh. Korea Selatan misalnya, memiliki sekitar 155 beds dan 24 dokter per 10.000 orang. Sementara, Italia disebut memiliki sekitar 40 dokter dengan basis jumlah yang sama.

Hal ini kemudian memunculkan beberapa keprihatinan di negara-negara lain akan kemampuan Indonesia dalam menangani Covid-19. Bahkan, Indonesia dianggap tidak akan mampu bila wabah setingkat Italia terjadi di wilayahnya.

Bukan tidak mungkin keadaan Indonesia semakin memburuk ke depannya. Fakta bahwa masih ada ketidakpatuhan terhadap imbauan bagi masyarakat agar tetap tinggal di rumah dapat memperparah penularan. Pemerintah sendiri tampak enggan menerapkan kebijakan lockdown (karantina wilayah).

Mungkin, kemungkinan-kemungkinan inilah yang membuat pemerintah AS merasa cemas dengan situasi di Indonesia. Boleh jadi, kecemasan ini perlu menjadi pengingat bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia akan bahaya Covid-19.

Pada intinya, kita semua kini perlu berhati-hati dan bersiaga akan adanya kemungkinan ini. Semoga saja pemerintah segera memberikan kebijakan yang tepat guna mencegah kemungkinan terburuk ini. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version