Pada periode pertama kepemimpinannya, banyak pihak yang menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerapkan state capitalism seperti di Tiongkok karena adanya pelibatan besar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam aktivitas ekonomi. Dengan adanya wacana relokasi pabrik Amerika Serikat (AS) dari Tiongkok ke Indonesia, mungkinkah itu akan berdampak pada intervensi model ekonomi tersebut?
PinterPolitik.com
“In general, American are not very good at nation-building and not very good colonialist.” – Francis Fukuyama, penulis buku The End of History
Dalam berbagai serial film ataupun anime, untuk menciptakan alur cerita yang menarik, adanya persaingan antar tokoh utama kerap kali dihadirkan. Dalam serial anime Naruto misalnya, Naruto selaku tokoh utama diceritakan bersaing keras dengan sahabatnya Sasuke sejak awal cerita.
Tidak hanya sekedar membuat alur cerita menjadi lebih menarik, kehadiran tokoh pesaing seperti Sasuke ini, nyatanya kerap kali menyaingi bahkan melampaui kharisma dari tokoh utama yang diceritakan. Konteks persaingan Naruto dengan Sasuke tersebut, tampaknya dapat kita lihat dari seteru dua negara besar, yakni Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Jika mengacu pada Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History, kita mungkin dapat menganalogikan bahwa AS sebagai Naruto atau tokoh utama. Sementara, Tiongkok merupakan Sasuke atau tokoh yang kharismanya menyaingi negeri Paman Sam.
Telah menjadi rahasia umum, AS yang disebut-sebut sebagai tokoh utama dunia dengan label negara digdaya, nyatanya tengah dirongrong oleh Tiongkok dalam beberapa tahun terkahir. Bahkan jauh sebelum itu, berbagai pihak telah memberikan prediksi bahwa perkembangan pesat ekonomi negeri Tirai Bambu merupakan ancaman bagi dominasi politik dan ekonomi AS.
Namun, tidak seperti dalam serial anime Naturo, di mana sang tokoh utama tetap menjadi pusat perhatian, posisi AS sebagai pemeran utama tampaknya benar-benar tengah terancam oleh Tiongkok.
Konteks tersebut misalnya turut disinggung oleh Fukuyama dalam suatu wawancara pada 2018 lalu yang menyebutkan demokrasi liberal AS tidak hanya menemui tantangan dari sosialisme, melainkan juga dari fakta keberhasilan model kapitalisme negara Tiongkok.
Lantas, apa yang dimaksud Fukuyama perihal kapitalisme Tiongkok adalah ancaman dari demokrasi liberal AS? Bukankah yang pertama adalah konteks ekonomi, dan yang satunya adalah konteks politik?
Liberalisme dan Ketidakpastian Pasar
Membaca sekilas, kita tentu merasa ganjil, mengapa kedua konteks yang berbeda tersebut disandingkan oleh Fukuyama? Memang benar, secara pemetaan teoretis keduanya berbeda. Akan tetapi, konteks politik yang disebutkan penulis buku The End of History ini berimplikasi pada persoalan ekonomi.
Fukuyama menegaskan bahwa demokrasi liberal, kendatipun ia mampu mengakomodir kebebasan berpendapat, sistem ini nyatanya tidak mampu mengakomodir dalam hal stabilitas ekonomi. Pasalnya, seperti halnya yang disorot oleh Erhard Eppler dalam bukunya The Return of the State, demokrasi liberal yang menciptakan liberalisme pasar berkonsekuensi pada ketidakpastian pasar itu sendiri.
Tidak hanya menciptakan ketidakstabilan pertumbuhan ekonomi, liberalisme pasar, nyatanya berimplikasi pada berbagai krisis moneter hebat yang mengguncang perekonomian AS dan dunia. Hal ini kemudian yang dilihat Fukuyama sebagai celah untuk memunculkan kembali narasi sosialisme yang memang menawarkan stabilitas ekonomi dan kesetaraan.
Namun, beda halnya dengan sosialisme yang masih menawarkan konsep, tantangan hebat atas demokrasi liberal AS datang dari kapitalisme negara Tiongkok yang memang telah terbukti secara empiris memberikan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan stabil.
Ian Bremmer dalam tulisannya The Secret to China’s Boom: State Capitalism turut menerangkan bahwa kapitalisme negara atau state capitalism merupakan faktor yang mendorong perkembangan pesat ekonomi Tiongkok.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Joshua Kurlantzick dalam tulisannya State Capitalism and the Return of Economic Interventionism, kapitalisme negara yang sukses akan memberikan surplus perdagangan, menghasilkan pertumbuhan yang cukup untuk menyerap tenaga kerja, memperkuat industri terkemuka, dan mendorong berbagai inovasi ekonomi.
Menurut Geng, Yang, dan Janus dalam tulisannya State-Owned Enterprises in China Reform Dynamics and Impacts, penerapan kapitalisme negara Tiongkok setidaknya telah mulai dibangun sejak tahun 1978. Itu misalnya terlihat dari pemerintah negeri Tirai Bambu yang memulai reformasi intensif, dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) – state-owned enterprise.
Dana sampai Rp 677 triliun buat krisis kesehatan #COVID19 kalau sampai ada yang korupsi, hukumannya diasingkan aja ke Planet Pluto. 🙃 #infografis #politik #pinterpolitikhttps://t.co/7Wtvlk9ECg pic.twitter.com/nHUrecnYlh
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 17, 2020
Hasrat akan Ekonomi
Tentu pertanyaannya, apakah keberhasilan ekonomi Tiongkok akan berimplikasi atas mulai dipertanyakannya demokrasi liberal AS?
Di titik ini, dalam berbagai pemaparannya, Fukuyama kerap mengutip pemikiran Plato terkait thumos, yang menerangkan perihal adanya rasa marah yang benar, kebutuhan, dan keinginan untuk melawan ketidakadilan yang dirasakan jiwa manusia.
Thumos yang berisi hasrat (desire) dan rasionalitas (rationality) ini, menurut Fukuyama adalah hal yang begitu melekat pada persoalan ekonomi. Secara sederhana, kita tentu memahami bahwa hasrat adalah hal yang membuat manusia menginginkan sesuatu. Sedangkan rasionalitas, adalah hal yang membuat manusia dapat menciptakan kalkulasi atau perencanaan untuk mendapatkan sesuatu.
Seperti yang diungkit Fukuyama sebelumnya, dengan adanya ketidaksetaraan dan ketidakstabilan ekonomi, itu tentu dapat memantik thumos dalam jiwa manusia. Alhasil, kapitalisme negara Tiongkok yang terbukti sukses menciptakan kestabilan ekonomi, boleh jadi kemudian dilirik sebagai suatu solusi.
Senada dengan konsep thumos, Taylor AJW dalam tulisannya Affirming The Importance of Justice as a Basic Human Need juga menegaskan bahwa rasa keadilan memang menjadi kebutuhan dasar dari psikologis manusia.
Sebagaimana diketahui, narasi liberalisme pasar, atau narasi neoliberal memang kerap menjadi kambing hitam atas terjadinya ketimpangan ekonomi global. Narasi-narasi itu, tentunya dapat menciptakan asumsi ketidakadilan tengah terjadi, atau setidaknya asumsi tengah terjadi sesuatu yang salah.
Efeknya bagi BUMN Indonesia?
Sekarang, kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa pertengkaran AS dengan Tiongkok, tampaknya tidak hanya pada level ekonomi seperti Perang Dagang, melainkan juga turut menyasar level ideologis karena terancamnya demokrasi liberal AS.
Menariknya, boleh jadi hal tersebut akan memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap perekonomian Indonesia ke depannya. Pasalnya, tidak sedikit pihak yang menyebutkan bahwa di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kapitalisme negara ala Tiongkok tampaknya tengah ditiru. Itu misalnya terlihat jelas dari besarnya porsi pelibatan BUMN dalam aktivitas ekonomi.
Hmm, ini yang namanya singgung menyinggung menjadi satu, itulah Indonesia. #politik #infografis #pinterpolitikhttps://t.co/HDyS7I8kEw pic.twitter.com/e5YobLWGBK
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 16, 2020
Konteks tersebut misalnya dikeluhkan beberapa kali oleh Mardigu Wowiek atau Bossman Sontoloyo yang menyebutkan BUMN layaknya kartel karena menjadi prioritas dalam tender proyek yang dilakukan oleh pemerintah. Masalah tersebut kemudian didengungkan banyak pihak dengan menyebutkan BUMN telah mematikan peran swasta karena persaingan pasar tidak lagi terjadi.
Jika benar Indonesia telah menerapkan kapitalisme negara seperti di Tiongkok. Lantas, jika nantinya AS benar-benar merelokasi pabrik-pabriknya dari Tiongkok ke Indonesia, mungkinkah perjanjian untuk meninggalkan model ekonomi tersebut menjadi persyaratan dari negeri Paman Sam?
Praktik semacam itu misalnya dapat kita lihat pada kasus pinjaman dana dari International Monetary Fund (IMF) ataupun Bank Dunia yang disebut selalu memberikan persyaratan tertentu kepada negara terkait agar pinjaman dapat diberikan.
Erhard Eppler dalam bukunya The Return of the State turut menegaskan bahwa AS memang memiliki visi untuk menyebarkan liberalisme ke seluruh dunia. Itu misalnya terlihat dari usaha AS dalam mengintervensi penerapan demokrasi di berbagai negara di Afrika.
Tidak hanya itu, Eppler juga menegaskan bahwa AS memang memiliki tujuan untuk menciptakan liberalisme pasar dari visi tersebut. Mengacu pada tulisan mantan Menteri Kerja Sama Pembangunan dan Internasional Jerman ini, boleh jadi AS nantinya akan membuat syarat bahwa Indonesia harus melepaskan diri dari kapitalisme negara agar BUMN tidak lagi memonopoli pasar. Singkatnya, perjanjian itu akan membuat terjadinya liberalisme pasar.
Pada titik yang lebih ekstrem, mungkin dapat pula dibayangkan bahwa bisa jadi BUMN akan diminta diberlakukan layaknya perusahaan swasta untuk menjaga keberlangsungan persaingan pasar. Pasalnya, dengan status sebagai perusahaan negara, mudah saja dibuat regulasi agar BUMN mendapatkan prioritas dalam pemenangan tender.
Namun, tentunya persoalan ini hanyalah prediksi semata. Benar tidaknya akan ada perjanjian tertentu dari AS agar mau merelokasi pabriknya ke Indonesia tentu hanya diketahui oleh pihak-pihak terkait. Kita tunggu saja kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.