HomeNalar PolitikAS dan Strategi Teknologi Jokowi

AS dan Strategi Teknologi Jokowi

Amerika Serikat (AS) kabarnya berencana untuk merelokasi pabrik-pabrik perusahaan AS dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) ke Indonesia, khususnya di Brebes, Jawa Tengah. Mungkinkah relokasi industri yang dilakukan oleh AS ini menjadi kunci agar Indonesia dapat menjadi negara maju di masa mendatang?


PinterPolitik.com

“闹钟把你叫醒 made in China” – MaSiWei, penyanyi rap asal Tiongkok

Beberapa tahun lalu, mungkin sebagian besar kelompok milenial Indonesia sering mendengar frasa “dari Hong Kong”. Frasa ini kerap digunakan untuk menyatakan kekesalan atau penolakan terhadap gagasan yang dilontarkan oleh lawan bicara.

Meski begitu, frasa ini sebenarnya memiliki latar belakang dan asal usul. Konon, katanya, frasa ini berasal dari kekesalan atau kekecewaan yang muncul akibat barang-barang berkualitas rendah yang diimpor dari Hong Kong – atau Tiongkok secara keseluruhan.

Boleh jadi, gagasan di balik frasa ini tidak salah. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sendiri pada dekade 2000-an memang tercatat menjadi salah satu negara dengan manufaktur produk yang dikenal dengan keahliannya dalam mengimitasi produk-produk unggulan asal Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa produk-produk imitasi – seperti merek Adidas yang diplesetkan menjadi Adibos – ini turut diekspor ke berbagai negara. Sampai-sampai, muncul istilah yang disebut “shanzai” untuk melabeli produk-produk ala Tiongkok tersebut.

Dalam periode waktu yang sama, Tiongkok memang menyambut banyak perusahaan asal negara-negara Barat guna mendirikan pabrik-pabrik produksinya di Tiongkok. Apple misalnya memiliki pabrik yang mengerjakan tahap pembuatan akhir dari produk andalannya, iPhone, di negara Tirai Bambu tersebut.

Namun, siapa sangka ternyata kedatangan pabrik asal Eropa dan AS, serta imitasi ala Tiongkok ini berbuah menjadi keuntungan bagi negara itu di masa kini? Buktinya, siapa yang tidak kenal dengan produk-produk teknologi asal Tiongkok seperti Mi (atau Xiaomi), Huawei, ZTE, dan sebagainya?

Ternyata, kemunculan perusahaan-perusahaan tersebut tidak luput dari ambisi Tiongkok untuk menjadi negara maju. Kabarnya, ambisi itu ingin disalurkan melalui berbagai inovasi – khususnya di bidang teknologi.

Peralihan dari Tiongkok yang identik dengan barang imitasi menuju Tiongkok yang dikenal dengan produk-produk teknologinya ini mungkin membuat sebagian masyarakat dunia terkesan dan terheran-heran. Boleh jadi, pertanyaan pun menyusul rasa heran tersebut.

Kira-kira, apa strategi yang diterapkan oleh Tiongkok? Bagaimana caranya negara Tirai Bambu tersebut dapat berambisi menjadi negara maju melalui kecakapan teknologinya? Lantas, mampukah Indonesia mengikuti jejak Tiongkok?

From Imitation to Innovation

Ternyata, Tiongkok disebut-sebut menerapkan strategi yang disebut sebagai from imitation to innovation (dari imitasi ke inovasi). Upaya peralihan ini disebut-sebut sejalan dengan ambisi Tiongkok untuk menjadi negara maju – bahkan sebagai negara digdaya – pada pertengahan abad ke-21.

Gagasan akan strategi Tiongkok ini turut dijelaskan oleh Bruce McKern – profesor di University of Sydney – dalam tulisannya yang berjudul Made in China. Menurut McKern, perusahaan-perusahaan Tiongkok telah berevolusi dari pelaku imitasi (imitators) menjadi inovator yang efektif dan kaya akan imajinasi.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, McKern menyebutkan bahwa Tiongkok memulai langkahnya dengan mengimitasi produk-produk dari Barat. Bahkan, perusahaan-perusahaan kecil negara tersebut dinilai cakap dalam membuat produk lain yang sama persis dengan produk AS dan Eropa.

Aktivitas bisnis seperti ini salah satunya dilakukan oleh sebuah startup yang memproduksi komponen ponsel yang bernama Apple Peel. Melalui komponen tersebut, sebuah ponsel yang tak jauh berbeda dengan iPhone dapat tercipta dengan kombinasi iPod Touch.

Transformasi ini tentu menyisakan pertanyaan. Bagaimana caranya Tiongkok dapat beralih menuju inovasi?

Peralihan dari imitasi ke inovasi dapat berlangsung akibat transferibilitas pengetahuan yang dapat terjadi melalui interaksi bisnis harian dan pengalaman langsung. Share on X

Mungkin, pemerintah Tiongkok mengandalkan gagasan dari sebuah konsep yang disebut sebagai technology transfers (transfer teknologi). Proses transfer ini terjadi ketika terjadi perpindahan pengetahuan (knowledge) dan kapabilitas dari perusahaan atau negara asing ke aktor domestik.

Jianxiang Bi – dari University of the West England – dan rekan-rekan penulisnya mencoba menjelaskan hubungan antara from imitation to innovation ala Tiongkok ini dengan konsep transfer teknologi. Dalam tulisan mereka yang berjudul From Imitation to Innovation, dijelaskan bahwa peralihan ke inovasi dapat berlangsung akibat transferibilitas pengetahuan yang dapat terjadi melalui interaksi bisnis harian dan pengalaman langsung.

Bukan tidak mungkin proses itulah yang menyebabkan Tiongkok kini dapat memperkenalkan inovasi-inovasi teknologinya ke dunia. Setidaknya, proses ini turut dialami secara personal oleh para pelaku bisnis teknologi negara Tirai Bambu tersebut.

Lee – pendiri dan CEO Sinovation Ventures – misalnya kini telah mewadahi berbagai inovasi teknologi seperti Momenta (aplikasi mobil tanpa pengemudi) dan Face++ (aplikasi pengenal wajah). Sebelumnya, Lee berpengalaman dalam bisnis teknologi yang turut melibatkan perusahaan-perusahaan asal AS – seperti Microsoft dan Google.

Boleh jadi, apa yang dialami oleh Lee ini merupakan bagian dari transfer teknologi yang membawa Tiongkok ke arah inovasi baru. Kehadiran perusahaan-perusahaan AS di Tiongkok bukan tidak mungkin membantu Lee memberikan wadah bagi inovasi di masa kini.

Bila Tiongkok mampu mengubah pendekatan imitasi menjadi inovasi dengan transfer teknologi dari perusahaan-perusahaan Eropa dan AS, bagaimana dengan Indonesia? Apakah relokasi pabrik AS dari Tiongkok ke Brebes, Jawa Tengah, juga memberikan kesempatan teknologi yang serupa bagi Indonesia?

Mampukah Indonesia?

Dengan adanya rencana masuknya perusahaan-perusahaan AS ke Brebes yang kini tengah diupayakan oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), bukan tidak mungkin Indonesia memiliki kesempatan emas untuk mulai menerapkan strategi from imitation to innovation. Namun, pertanyaan akan mampu tidaknya Indonesia dalam memanfaatkan kesempatan ini masih kerap melintas.

Tiongkok tentunya bukan satu-satunya negara yang telah berhasil menerapkan strategi from imitation to innovation. Seperti yang pernah disebutkan oleh Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro, Korea Selatan (Korsel) merupakan salah satu negara yang patut dicontoh oleh Indonesia.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Aouatif El Fakir dari Dauphine University, Paris, dalam tulisannya yang berjudul South Korean System of Innovationmenjelaskan bahwa Korsel dapat menerapkan from imitation to innovation dengan adanya ruang yang disebut sebagai interactive learning spaces (ILS).

Dalam ILS, pelaku bisnis domestik Korsel dapat mempelajari metode, teknik, dan cara-cara yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan asing sehingga dapat terjadi transfer teknologi. Dari transfer teknologi yang terjadi dalam ILS, Korsel akhirnya mampu memunculkan inovasi dengan kemunculan perusahaan teknologi seperti Samsung.

Meski terdengar menarik, El Fakir menjelaskan bahwa terdapat beberapa prakondisi agar ILS ini terbentuk. Salah satunya adalah insentif atau tekanan (pressures) dari pemerintah agar perusahaan-perusahaan asing bersedia untuk terlibat dalam ILS.

Insentif dan tekanan seperti ini dapat dilakukan melalui regulasi atau kebijakan dari pemerintah lokal. Regulasi seperti inilah yang mulai diterapkan oleh Vietnam sejak beberapa tahun lalu diiringi dengan kesadaran akan kebutuhan transfer teknologi.

Pertanyaan pun kembali ke pemerintah Indonesia. Apakah transfer teknologi memungkinkan untuk terjadi di Indonesia? Lalu, apakah ada regulasi serupa di Indonesia?

Sayangnya, keberadaan investasi langsung (foreign direct investment) – seperti pendirian pabrik perusahaan asing – di Indonesia dinilai belum dapat memungkinkan agar transfer teknologi dapat terjadi. Setidaknya, penilaian inilah yang diberikan oleh Horas Djulius dalam tulisannya yang berjudul Foreign Direct Investment and Technology Transfer.

Hal ini bisa saja disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah ketiadaan regulasi dari pemerintah. Abdul Thalib dalam tulisannya yang berjudul Technology Transfer in Indonesia and China menjelaskan bahwa Indonesia tidak memiliki peraturan khusus yang memungkinkan transfer teknologi dapat terjadi.

Bukan tidak mungkin minimnya peraturan ini membuat perusahaan asing tak mendapatkan insentif atau tekanan untuk memberikan ILS bagi perusahaan domestik – seperti dengan memperkerjakan pekerja lokal dan memberikan pelatihan.

Belum lagi, persoalan korupsi juga menghantui skema transfer teknologi di Indonesia. Susan Engel dalam bukunya yang berjudul The World Bank and the post-Washington Consensus in Vietnam and Indonesia menjelaskan bahwa skema-skema serupa di Indonesia memiliki banyak kecacatan, seperti perilaku koruptif dalam administrasinya.

Dengan berbagai kekurangan ini, bukan tidak mungkin Indonesia akan melewatkan kesempatan emas yang telah dimanfaatkan oleh negara-negara seperti Tiongkok dan Korsel. Bisa jadi, kesempatan from imitation to innovation bagi Indonesia hanya kembali menjadi pertanyaan yang masih melintas di benak dan pikiran di masa mendatang. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?