Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan kekesalannya akibat tidak diliriknya Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok yang menghindari Perang Dagang Amerika Serikat (AS)-Tiongkok. Apa sebenarnya kepentingan kedua negara itu dalam Perang Dagang?
PinterPolitik.com
“I’m dead in the middle of two generations” – J. Cole, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Beberapa hari lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengadakan rapat terbatas (ratas) bersama menteri-menterinya guna membicarakan Antisipasi Perkembangan Perekonomian Dunia. Dalam ratas tersebut, sang presiden mengungkapkan bocoran yang didapatkannya terkait perang dagang yang dihadapi oleh negara kepulauan ini.
Mantan Wali Kota Surakarta tersebut bercerita mengenai pertemuan yang dilakukannya dengan perwakilan Bank Dunia. Mengacu pada momen yang terjadi pada beberapa bulan lalu, Jokowi menelan sebuah fakta yang membuatnya prihatin, yakni tidak diliriknya Indonesia sebagai negara destinasi oleh pihak-pihak yang melarikan diri dari situasi “perang” di negara lain.
Perang Dagang yang kini antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok ini dinilai telah membuat beberapa pihak melarikan diri dari negeri Tirai Bambu. Berbeda dengan para pencari suaka Timur Tengah dan Myanmar yang melarikan diri dari kekerasan dan persekusi, perusahaan-perusahaan pencari “suaka ekonomi” kini, dikabarkan oleh Bank Dunia, lebih memilih negara-negara Asia Tenggara lain dibandingkan Indonesia, yakni Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Thailand.
Mungkin, menjadi sebuah pukulan bagi presiden yang dalam berbagai kesempatan secara terbuka mengundang investasi asing ke negara kepulauan ini. Ekspektasi presiden mungkin juga jatuh dari yang sebelumnya menganggap Indonesia memiliki potensi untuk mendapat keuntungan dari perang dagang yang terjadi antara AS dan Tiongkok.
9. Dalam rapat terbatas ini, Presiden @jokowi memaparkan bahwa sekira kurang lebih dua bulan lalu, terdapat 33 perusahaan mancanegara yang keluar dari Tiongkok #JokowiBangunOptimisme pic.twitter.com/RZVyDS5Ku5
— Kantor Staf Presiden (@KSPgoid) September 4, 2019
Selain itu, perang dagang ini kabarnya membuat kondisi ekonomi global melambat. Bahkan, perseteruan dua negara besar ini dinilai turut melukai kondisi perekonomian AS sendiri – negara yang memulai perang dagang.
Jika perseteruan perdagangan ini melukai ekonomi global dan AS sendiri, mengapa negara Paman Sam tersebut tetap mendorong perang ini? Lalu, bagaimana posisi Indonesia di tengah-tengah konstelasi ekonomi ini?
Pre-emptive Strike Tiongkok
Perang dagang yang terjadi di antara dua kekuatan global ini dimulai dari ketidakpuasan pemerintah AS atas tidak seimbangnya neraca perdagangannya dengan Tiongkok. Meski begitu, perseteruan ini dinilai merupakan bagian dari strategi AS untuk menghalau pengaruh geopolitik Tiongkok.
Perseteruan perdagangan ini diprakarsai oleh Presiden AS Donald Trump yang menuding Tiongkok sebagai negara yang menjalankan praktik-praktik perdagangan yang tidak adil. Defisit perdagangan yang membengkak antara AS dan Tiongkok juga menjadi alasan Trump untuk menerapkan berbagai hambatan tarif terhadap negara Tirai Bambu tersebut.
Namun, Kishore Mahbubani – mantan diplomat Singapura yang kini aktif di Asia Research Institute, National University Singapore – melihat penyebab Perang Dagang dari sisi yang berbeda. Dalam wawancaranya dengan South China Morning Post, Mahbubani menilai bahwa Perang Dagang justru lebih dimotivasi oleh kepentingan geopolitik.
AS dinilai telah menggunakan hambatan-hambatan tarif tersebut guna menghentikan berkembangnya pengaruh Tiongkok. Pasalnya, negara yang kini dipimpin oleh Presiden Xi Jinping itu – menurut Mahbubani – tengah berusaha mengembangkan taktik lain.
Taktik Tiongkok yang dimaksud ini adalah prakarsa Belt and Road Initiative (BRI) – atau dikenal juga dengan One Belt, One Road (OBOR). Bagaimana tidak? Prakarsa ini benar-benar bersifat masif dengan tujuan untuk meningkatkan interkoneksi perdagangan di antara berbagai negara.
Jalur Sutera yang menghubungkan peradaban Barat dan Timur di masa lampau disebut-sebut menjadi inspirasi Tiongkok untuk menjalankan prakarsa ini. Dengan posisinya sebagai raksasa ekonomi baru, Tiongkok menggunakan prakarsa tersebut guna membagikan kemampuannya dalam pembangunan infrastruktur, termasuk Indonesia.
Meski OBOR dan pengembangan infrastruktur di Indonesia menimbulkan manfaat tertentu bagi Indonesia, Mahbubani menilai bahwa Tiongkok justru menggunakan prakarsa tersebut sebagai instrumen geopolitik. OBOR ini dinilainya sebagai serangan yang ditujukan untuk mendahului AS (pre-emptive strike).
Boleh jadi, Tiongkok telah menyadari bahwa AS tidak mungkin mau berbagi kekuasaan dengannya dalam tatanan dunia yang dibangun oleh Paman Sam. Negara Tirai Bambu tersebut – entah secara diam-diam atau tidak – juga dinilai telah melakukan upaya tertentu untuk membangun tatanan dunia versinya sendiri melalui OBOR dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).
Mahbubani menyebutkan bahwa, melalui instrumen-instrumen ekonomi itu, Tiongkok tengah berusaha mengantongi dukungan negara-negara lain bila di kemudian hari AS melakukan kebijakan pembendungan (containment policy) – seperti yang pernah dilakukan mereka dalam Perang Dingin guna membendung tersebarnya pengaruh komunisme Uni Soviet.
Tiongkok menggunakan prakarsa Belt and Road (OBOR) sebagai instrumen geopolitik. Share on XTaktik mendahului milik Tiongkok ini sepertinya juga menunjukkan beberapa hasil. Setidaknya, dengan prakarsa-prakarsa ekonominya, Tiongkok membuat negara-negara lain menjadi lebih terikat secara politik, katakanlah taktik diplomasi perangkap utang (debt-trap diplomacy) yang disebut-sebut menghantui negara-negara penerima OBOR.
Selain itu, Madhu Sudan Ravindran dalam tulisannya yang berjudul China’s Potential for Economic Coercion in the South China Sea Disputes menjelaskan bahwa kemampuan ekonomi Tiongkok membuat beberapa negara Asia Tenggara rapuh terhadap kepentingan politik negara Asia Timur tersebut.
Salah satu kasus yang menunjukkan besarnya pengaruh instrumen ekonomi Tiongkok adalah pembatasan impor terhadap industri pisang Filipina pada tahun 2012 akibat adanya Insiden Karang Scarborough yang terjadi antara kapal Filipina dan Tiongkok. Ravindran menjelaskan bahwa sekitar 16 persen ekspor pisang Filipina pada tahun 2011 menjadikan Tiongkok sebagai destinasi – menyebabkan kerugian hingga Rp 271,49 miliar.
Jika memang Tiongkok menjadi semakin kuat dengan instrumen ekonominya, bagaimana respon AS terhadap taktik mendahului tersebut? Lalu, bagaimana posisi Indonesia di tengah-tengah dua pertarungan strategi ini?
Kebijakan Pembendungan Baru
Adanya taktik mendahului Tiongkok ini mungkin kini telah disadari oleh pemerintahan Trump di AS. Pasalnya, negara Paman Sam kini dikabarkan telah menyiapkan beberapa strategi guna menghalau pengaruh Tiongkok.
Pada era Perang Dingin, AS pernah melancarkan strategi dan kebijakan pembendungan (containment policy) guna menghalau pengaruh ideologi komunis Uni Soviet. Dalam penerapan strateginya, terdapat dua cara yang dilakukan AS – bergantung pada presiden yang berkuasa, yakni détente dan rollback.
Détente merupakan taktik pembendungan yang dilakukan dengan membangun atau relaksasi hubungan dengan negara lain. Sementara, rollback merupakan taktik yang dilakukan dengan cara-cara koersif, seperti dengan invasi militer atau penggantian rezim.
Dalam kasus Tiongkok, selain menggunakan perang dagang, AS mungkin tengah mengkombinasikan kedua taktik tersebut. Taktik rollback kini mungkin tengah dilakukan oleh AS dengan menjalankan kerja sama militer dengan beberapa negara di kawasan Asia-Pasifik, seperti Jepang, Filipina, Australia, dan India.
AS juga mengandalkan diplomasi kapal perang (gunboat diplomacy) dengan mengirimkan kapal-kapal perangnya untuk berlayar di Laut China Selatan yang diklaim oleh Tiongkok sebagai wilayah kedaulatannya. Berbeda dengan kebanyakan negara, AS memiliki prinsip bahwa laut bukanlah milik per negara, melainkan sebagai ruang yang digunakan dalam hal navigasi secara bebas.
Di sisi lain, taktik détente juga pernah dilakukan oleh pemerintahan Barack Obama terhadap Kuba pada tahun 2016. Di tengah-tengah meningkatnya pengaruh ekonomi Tiongkok terhadap Kuba, Obama memutuskan untuk melakukan normalisasi hubungan dengan negara Karibia yang kerap menjadi ganjalan diplomasi bagi AS.
Jika memang AS tengah melakukan kebijakan pembendungan dengan taktik-taktik itu, pertanyaannya, bagaimana posisi Indonesia di bawah strategi Paman Sam ini?
Indonesia bisa saja menjadi bagian penting dalam strategi pembendungan AS. Pasalnya, bila diperhatikan kembali, negara Paman Sam tersebut tampaknya menggunakan taktik détente guna menghalau pengaruh Tiongkok di Indonesia.
Hal ini terlihat dari bagaimana ganjalan-ganjalan yang selama ini menghantui hubungan diplomatik AS dan Indonesia mulai dikurangi. Pertemuan Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Pertahanan (Menhan) AS, Patrick Shanahan, dengan Menhan Ryamizard Ryacudu beberapa bulan lalu misalnya, berujung pada pembicaraan mengenai kemungkinan latihan bersama Kopassus-AS – setelah satu dekade lalu dikenai sanksi oleh AS atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Timor Leste.
Pemerintahan Jokowi juga sempat dikabarkan melakukan negosiasi dengan AS terkait rencana pembelian pesawat-pesawat militer dari negeri Paman Sam itu. John McBeth dalam tulisannya di Asia Times menjelaskan bahwa pembelian pesawat tersebut ditujukan untuk menghindari kemungkinan sanksi ekonomi dari AS.
Baru-baru ini, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga melakukan pertemuan dengan Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik, David Stilwell. Dalam pertemuan tersebut, Moeldoko mendiskusikan beberapa isu, dari perkembangan sengketa Laut China Selatan hingga kerusuhan yang terjadi di Papua dan Papua Barat.
Selain bidang pertahanan, Bank Dunia – bagian dari sistem tatanan ekonomi Bretton Woods milik AS – juga melakukan pertemuan dengan Jokowi beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan tersebut, Bank Dunia dikabarkan memberikan beberapa rekomendasi kebijakan terkait Perang Dagang, berupa penyederhanaan regulasi investasi dan tenaga kerja asing di Indonesia.
Dengan upaya-upaya détente tersebut, bisa jadi AS ingin Indonesia dapat terlepas dari kerangka pre-emptive strike Tiongkok. Pada akhirnya, dengan semakin panasnya persaingan kedua negara tersebut, bukan tidak mungkin Indonesia juga menjadi medan bagi perebutan pengaruh keduanya.
Mungkin, apa yang dihadapi Indonesia kini mirip dengan situasi yang dihadapi J. Cole yang harus berada di tengah-tengah dua kekuatan yang tumbuh dalam periode waktu yang berbeda, yakni di antara kekuatan lama AS dan kekuatan baru Tiongkok. Menarik untuk diamati lebih lanjut ke depannya. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.