Di media sosial, beredar sebuah tangkapan layar berisi daftar nama-nama artis dan public figure yang dijadwalkan akan mendapatkan suntikan vaksin Covid-19 perdana. Meski dibantah oleh pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes), wacana tersebut kadung menuai sorotan tajam publik. Jika memang benar akan dilakukan, apakah strategi pelibatan artis dalam program vaksinasi ini merupakan langkah yang tepat?
Publik pasti sudah tak asing lagi dengan sosok-sosok beken seperti artis Raffi Ahmad, penyanyi Bunga Citra Lestari, atau bahkan jurnalis kondang sekaliber Najwa Shihab. Maklum, sebagai public figure, wajah-wajah mereka pasti-lah lekat di ingatan masyarakat lantaran memang rutin berseliweran di berbagai platform hiburan dan informasi, seperti televisi dan internet.
Baru-baru ini, sosok-sosok tersebut menjadi buah bibir publik. Bukan karena gebrakan atau kontroversi yang mereka lakukan, namun melainkan karena nama mereka tercantum dalam daftar penerima vaksin Covid-19 pertama yang dijadwalkan akan dilakukan pada 13-15 Januari 2021 mendatang.
Beredarnya nama-nama pesohor negeri dalam daftar penerima vaksin pertama ini pun memantik polemik di masyarakat. Mereka yang memandang sinis wacana tersebut meminta pemerintah sebaiknya fokus memprioritaskan vaksinasi untuk tenaga kesehatan.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri membantah daftar yang beredar di sosial media itu. Juru Bicara (Jubir) vaksinasi Covid-19 Kemenkes, dr. Siti Nadia Tarmizi menegaskan bahwa pihaknya masih menggodok nama-nama penerima vaksin perdana sembari menunggu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan Emergency Use Authorization (EUA) vaksin Covid-19.
Di sisi lain, manajer Raffi Ahmad justru berkata sebaliknya. Meski menyebut tak mengetahui detail kelanjutan rencana tersebut, namun Ia mengakui bahwa artisnya itu dihubungi langsung oleh pihak Istana terkait program vaksinasi.
Terlepas dari siapa yang benar, sebenarnya keterlibatan para artis, public figure, hingga influencer dalam program-program pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) bukan lah barang baru. Presiden diketahui beberapa kali memanggil langsung para artis di tengah momen-momen krusial.
Medio Juli tahun lalu misalnya, Presiden juga diketahui mengumpulkan para artis di Istana. Kala itu, tujuan pemanggilan artis itu adalah untuk meminta mereka turut menyosialisasikan protokol kesehatan menghadapi pandemi Covid-19.
Lantas pertanyaannya, jika memang benar-benar akan dilakukan, akankah strategi tersebut efektif?
Selebriti adalah Kunci?
Presiden Jokowi bukan lah satu-satunya pemimpin yang gemar melibatkan selebriti dalam kegiatan politiknya. Strategi yang sama faktanya juga menjadi andalan dari mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama.
Noah Gittell dalam tulisannya yang berjudul How Obama Blurred the Border Between Hollywood and Washington mengatakan bahwa hubungan erat dengan komunitas selebriti merupakan aset utama Obama. Selama masa kepresidenannya, Noah menilai Obama telah mengaburkan batas-batas antara Washington dan Hollywood dan membawa kedua kekuatan budaya itu menjadi dekat daripada sebelumnya.
Noah misalnya mencontohkan ketika Obama melibatkan penyanyi kenamaan Katy Perry dan aktor pemeran pahlawan super Hulk, Mark Ruffalo dalam meyakinkan generasi muda AS untuk mendukung kebijakan Affordable Care Act atau yang dikenal dengan sebutan Obamacare.
Jessica Grose dalam tulisannya When Did We Start Taking Famous People Seriously? mengatakan bahwa salah satu faktor penting yang menjadikan selebriti sebagai corong informasi yang mumpuni adalah karena wajah mereka berseliweran di pemberitaan selama 24 jam penuh. Hal ini membuat mereka memiliki lebih banyak akses untuk menyuarakan suaranya.
Grose misalnya mencontohkan artis terkenal seperti Angelina Jolie, George Clooney, dan Bono yang justru lebih mendapatkan liputan media, bahkan pada isu serius seperti AIDS dan pendidikan di Afrika, hingga korban perang saudara di Sudan, daripada mereka yang duduk sebagai anggota Kongres.
Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan dugaan pelibatan artis bisa saja dilakukan pemerintah demi mensosialisasikan sekaligus meredam sentimen negatif terhadap program vaksinasi yang tengah dirancang.
Pisau Bermata Dua?
Kendati begitu, tampaknya ada satu hal yang luput dikalkulasikan pemerintah terkait pelibatan publik figur dalam konteks vaksinasi. Sebab dalam beberapa kesempatan, sejumlah selebriti justru menjadi pihak yang berperan menyebarkan disinformasi terkait pandemi Covid-19 termasuk dalam urusan vaksinasi.
Ambil contoh misalnya Deddy Corbuzier lewat saluran YouTube-nya yang memiliki 12,9 juta pengikut. Beberapa kali, Ia mengundang narasumber untuk membahas perihal konspirasi Covid-19 termasuk soal vaksin.
Celakanya, sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju, seperti Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, hingga Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno LP Marsudi juga pernah menjadi narasumber untuk berdiskusi soal pandemi Covid-19 dan vaksinasi di podcast Deddy Corbuzier tersebut.
Kehadiran mereka ini bisa saja diartikan sebagai legitimasi oleh publik. Jika jajaran menteri saja menganggap saluran tersebut layak digunakan untuk menyampaikan klarifikasi, maka setiap informasi yang didiskusikan di podcast Deddy itu bisa saja memang dapat dipercaya, termasuk yang berkaitan dengan konspirasi-konspirasi Covid-19.
Hal tersebut berpotensi menciptakan confirmation bias, di mana publik yang memiliki tendensi meremehkan Covid-19 akan memilih mempercayai diskusi Deddy dengan pengusaha Mardigu Wowiek, sementara yang mendukung pemerintah akan lebih mempercayai episode-episode yang menghadirkan para menteri.
Di titik ini, maka pertanyaan yang perlu dijawab, jika benar pemerintah memang berniat melibatkan artis dalam proses vaksinasi perdana, apakah langkah tersebut merupakan keputusan yang tepat?
Nakes Lebih Penting?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, maka menjadi penting untuk mengetahui lebih dulu apa kira-kira yang menyebabkan publik dilanda keragu-raguan dalam menanggapi rencana vaksinasi oleh pemerintah.
Sarah Watts dalam tulisannya di Forbes mengatakan bahwa karena vaksin merupakan diskursus yang berada dalam ranah ilmu kedokteran dan medis yang kompleks, maka mekanisme cara kerjanya dan apa isinya mungkin saja sulit untuk dipahami oleh orang awam.
Selain itu, vaksin juga merupakan diskursus yang kerap bersentuhan dengan aspek keamanan publik, termasuk bagi anak-anak. Hal tersebut membuat manusia cenderung melibatkan emosinya dalam memahami vaksin.
Dalam konteks masyarakat yang meragukan vaksin, Watts menduga mereka kemungkinan terjebak dalam bias yang disebut cognitive dissonance atau disonansi kognitif. Disonansi kognitif terjadi ketika seseorang memiliki pikiran atau perilaku yang bertentangan. Untuk meredakan ketidaknyamanan itu, individu perlu mengubah perilaku atau keyakinannya.
Bagi orang yang mendengar tentang kemanjuran vaksin tetapi juga khawatir dapat membahayakan anaknya, mereka mungkin akan cenderung mempercayai bahwa vaksin tidak berfungsi demi menghilangkan disonansi tersebut.
Meskipun kesimpulan yang mereka pilih bisa saja tidak benar, namun hal itu setidaknya telah membuat mereka merasa lebih baik karena telah menghindari risiko yang mereka bayangkan jika memilih vaksinasi.
Selain masyarakat awam, faktanya tak sedikit golongan tenaga kesehatan (nakes) yang juga meragukan vaksin. Sebuah laporan yang diterbitkan BBC Indonesia Desember lalu, menyebut bahwa beberapa nakes mengaku khawatir menjadi yang pertama mendapat vaksinasi karena belum ada jaminan keamanan.
Kekhawatiran itu, menurut pengakuan mereka, muncul karena belum mendapatkan informasi menyeluruh terkait vaksin yang akan disuntikkan ke dalam tubuhnya, termasuk ihwal kandungan dan efek sampingnya.
Respons tenaga kesehatan terhadap program vaksinasi merupakan kunci penting terhadap kesuksesan program tersebut. Sebab, tingkat kepercayaan nakes terhadap vaksin ternyata berkorelasi positif terhadap kepercayaan publik.
Heidi J. Larson dan kawan-kawan dalam studi mereka yang berjudul Vaccine Hesitancy among Healthcare Workers and Their Patients in Europe menyimpulkan bahwa sikap dan pengetahuan nakes tentang vaksin akan mempengaruhi keputusan mereka untuk merekomendasikan vaksinasi kepada pasien mereka atau tidak, sehingga secara tidak langsung berpengaruh terhadap keputusan masyarakat terkait vaksin.
Oleh karena itu, maka menjadi penting bagi para pemangku kepentingan terkait untuk menumbuhkan kepercayaan, dan mengambil langkah-langkah yang terukur untuk melawan keraguan terhadap vaksin di kalangan petugas layanan kesehatan.
Berangkat dari sini, maka sebaiknya pemerintah memang harus memprioritaskan tenaga kesehatan dalam program vaksinasi. Karena, selain sebagai garda terdepan dalam penanganan pandemi, faktanya mereka juga merupakan kunci penting untuk menumbuhkan kepercayaan publik terhadap vaksin. Singkatnya, strategi pelibatan artis dan public figure dalam vaksinasi perdana akan percuma jika kepercayaan di kalangan nakes tak diperbaiki terlebih dahulu.
Kendati begitu, apakah pemerintah akan benar-benar melibatkan para artis dalam vaksinasi perdana hanyalah waktu yang sanggup menjawabnya. Namun yang kiranya perlu digarisbawahi adalah meraih kepercayaan nakes untuk mau mengikuti program vaksinasi adalah sesuatu yang tak boleh dilupakan pemerintah. Jangan sampai, segala sumber daya yang dikerahkan untuk menggelar program vaksinasi terbuang begitu saja. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.