Seri pemikiran Fareed Zakaria #35
Kudeta Myanmar menyingkap interpretasi atas kemungkinan arah kebijakan luar negeri Presiden AS Joe Biden, terutama terhadap variabel pengaruh Tiongkok yang kian meningkat seiring hari. Lalu, seperti apa sebenarnya kemungkinan arah kebijakan tersebut? Bagaimana pula dampaknya bagi Indonesia?
Sorotan agaknya masih terus tertuju pada Myanmar. Setelah kudeta militer pada 1 Februari lalu, rakyat Myanmar seolah menunjukkan sikap ketidaksepahaman dengan menggelar serangkaian unjuk rasa dalam beberapa hari terakhir.
Demonstrasi yang terjadi di seantero Myanmar pada hari Minggu kemarin disebut merupakan yang terbesar sejak Revolusi Saffron tahun 2007, yang mana peristiwa tiga belas tahun lalu itu berujung pada terjadinya reformasi demokrasi di negeri Seribu Pagoda.
Dibukanya kembali akses internet memantik puluhan ribu warga untuk turun ke jalan-jalan untuk mengecam kudeta, serta menuntut pembebasan seluruh orang yang ditahan militer, termasuk Presiden Win Myint dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi.
Aksi yang juga didominasi Generasi Z itu seolah menghadirkan semangat untuk kembali merengkuh kebebasan dan demokrasi, sekaligus keengganan untuk kembali ke atmosfer masa lalu yang kelam atas eksistensi kediktatoran militer di negara itu yang pernah terjadi selama lima dekade.
Perlawanan masyarakat Myanmar itu juga agaknya mengartikulasikan energi dukungan yang diberikan sejumlah negara dan komunitas internasional, yang sebelumnya kurang sepakat dengan terjadinya aksi yang dianggap bertentangan secara konstitusional tersebut, termasuk Indonesia.
Bahkan dalam pertemuan dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia Muhyiddin Yassin pekan lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan juga mengangkat isu kudeta Myanmar, dan mengingatkan bahwa seluruh negara Asia Tenggara harus menghormati prinsip-prinsip dalam Piagam ASEAN. Utamanya prinsip hukum, demokrasi, hak asasi manusia (HAM), dan pemerintahan yang konstitusional.
Tak hanya itu, reaksi juga sebelumnya telah datang dari negara adidaya, Amerika Serikat (AS). Ya, Presiden Joe Biden bahkan telah menyiratkan ancaman berupa sanksi baru terhadap Myanmar akibat kudeta yang disebut menggambarkan degradasi kebebasan dan demokrasi itu.
Baca juga: Jokowi dan Risalah Kungkungan Militer
Akan tetapi, secara substansial reaksi berupa sanksi itu dinilai tidak akan efektif untuk mengurai simpul persoalan dan menyelesaikan sengketa politik di Myanmar saat ini.
Ihwal tersebut diutarakan Fareed Zakaria dalam sebuah kesempatan wawancara dengan Mary Louise Kelly dari media asal Washington D.C., NPR. Dan lagi-lagi, Tiongkok menjadi penyebab utamanya.
Negeri Tirai Bambu dianggap telah jauh melampaui AS dalam pengaruhnya di berbagai aspek negeri Burma. Dan secara garis besar, hal itu disebut Zakaria juga cukup mendeskripsikan gambaran yang jelas tentang batasan pengaruh AS bagi dunia, yang saat ini sebagian besar justru telah didominasi oleh Tiongkok.
Dengan kondisi itu, Zakaria mengatakan bahwa tidak ada manuver atau kebijakan lain yang akan banyak berarti, kecuali AS dapat membuka ruang dan melakukan engagement atau kerja sama dengan Tiongkok.
Menurutnya, karakteristik itu dinilai cukup logis bagi tema kebijakan luar negeri AS – yang mau tidak mau dilakukan – paling tidak dalam 20 hingga 30 tahun mendatang, jika berkaca pada bagaimana determinasi dan pengaruh Tiongkok bagi dunia saat ini.
Namun pertanyaannya, jika berangkat dari kasus kudeta Myanmar, mungkinkah AS dapat membangun kontak dengan karakteristik demikian terhadap Tiongkok demi ihwal yang lebih efektif dan konstruktif?
Cengkraman Tiongkok Terlalu Dalam?
Relevansi Tiongkok dalam kudeta Myanmar seperti yang dikemukakan Zakaria kiranya dapat menggambarkan secara umum bagaimana keadaan AS saat ini dalam percaturan geopolitik dan pengaruh global.
Signifikansi negeri Paman Sam terkesan semakin terkikis pasca kebangkitan Tiongkok dengan pengaruhnya memasuki milenium baru, terutama pada aspek ekonomi ke negara-negara berkembang.
Pada konteks kudeta Myanmar, Zakaria menyinggung dan memberikan contoh bahwa Tiongkok melalui Huawei, adalah perusahaan teknologi yang membangun infrastruktur digital Myanmar. Tiongkok juga merupakan mitra transaksi terbesar Myanmar dalam produk kehutanan, termasuk kayu.
Selain itu, dalam sebuah disertasi berjudul Importance of Myanmar in China’s Strategic Interest, Tenzig Chopel Sherpa menjabarkan bagaimana Tiongkok menanamkan kepentingan strategisnya di Myanmar.
Kebutuhan akan sumber daya alam dan minyak yang menjadi komoditas esensial, menjadikan Tiongkok kemudian berperan sebagai investor terbesar di Myanmar hingga saat ini.
Baca juga: Bisakah Biden “Bujuk” Jokowi?
Kesepakatan yang terjalin pada tahun 2005, diartikulasikan pada eksistensi jalur pipa minyak sepanjang 771 kilometer dari Kyaukphyu, negara bagian Rakhine, Myanmar, ke ibu kota Kunming di provinsi Yunnan, Tiongkok. Sementara pipa gas alam membentang lebih jauh dari Kunming ke Guizhou dan Guangxi dengan total 2.806 kilometer.
Dan terlepas dari apapun kemungkinan di baliknya, Tiongkok tampak tidak begitu terpengaruh atas kudeta yang terjadi di Myanmar. Ihwal yang mengindikasikan bahwa Tiongkok mungkin menyadari bahwa kepentingan strategisnya masih terjaga.
Bahkan saat merespons kudeta, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Wang Bin, mengisyaratkan bahwa kedua negara masih tetap positif meski Presiden Win Myint dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dilengserkan.
Hal tersebut juga agaknya sekaligus menunjukkan bahwa cengkraman Tiongkok telah cukup dalam secara ekonomi dan politik terhadap Myanmar. Dan tidak menutup kemungkinan pula potret itu menggambarkan cengkraman serupa, implikasi dari kebangkitan dan pengaruh Tiongkok dalam ranah global saat ini.
Rangkaian korelasi itu tampaknya memang membuat wacana sanksi ataupun narasi konfliktual lainnya dari administrasi AS di bawah Biden saat ini, dianggap tidak akan efektif sebagai solusi dinamika global kekinian, khususnya pada konteks Myanmar.
Campur tangan negeri Paman Sam sebagai pemimpin global atau pun “pahlawan” demokrasi juga kiranya masih harus disesuaikan dengan eksistensi dan tantangan yang datang dari Tiongkok.
Serupa dengan Zakaria, pendekatan yang lebih mengedepankan engagement dinilai menjadi cukup masuk akal bagi Biden ketika berhadapan dengan Tiongkok. Sebuah kecenderungan yang di satu sisi akan bermuara pada sikap kompromis AS terhadap Tiongkok dengan segala karakteristik politik beserta konsekuensinya.
Lalu, jika memang Biden kemudian benar-benar akan membawa AS bersikap lebih kompromis terhadap Tiongkok, bagaimana dampaknya bagi Indonesia?
Jokowi Diuntungkan?
Jika memang ke depannya kebijakan luar negeri AS akan cenderung lebih kompromis dan mengedepankan kerja sama dengan Tiongkok, yang notabene adalah penantang hegemoninya, hal itu tampaknya akan menjadi anomali tersendiri sekaligus mematahkan hipotesa Thucydides dari Graham T. Allison.
Allison menyebut hipotesa itu sebagai kecenderungan hubungan konfliktual atau bahkan perang yang akan selalu ada, ketika kekuatan baru muncul dan berpotensi mengancam atau menggantikan kekuatan besar yang ada sebelumnya sebagai hegemon internasional.
Hal tersebut berangkat dari studi yang dilakukannya dan menemukan bahwa 12 dari 16 contoh sejarah dari kekuatan yang muncul menyaingi kekuatan yang berkuasa, berakhir dengan peperangan.
Baca juga: Doktrin Biden Resahkan Jokowi?
Di samping konteks tersebut, dalam The Post American World, Fareed Zakaria sebelumnya juga telah memberikan sebuah postulat bahwa memberikan panggung bersama bagi kekuatan baru yang muncul, seperti Tiongkok, adalah jalan terbaik bagi AS.
Karena diharapkan, kekuatan tersebut kemudian akan memiliki inisiatif untuk menjaga stabilitas sistem politik global yang ada, dibandingkan merespons dengan tendensi konfliktual yang justru berpotensi “menghancurkan” segalanya.
Hal itu menjadi relevan ketika realitanya saat ini, Biden dan AS masih dihadapkan pada setumpuk persoalan domestik akibat pandemi Covid-19 beserta dampak turunannya.
Jika itu terjadi, Tiongkok dinilai akan memiliki ruang yang lebih leluasa untuk semakin menanamkan pengaruhnya di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Pada konteks Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, mungkin saja kecenderungan itu bersifat menguntungkan dan mendukung visi personalnya. Seperti yang jamak diketahui, demi memenuhi ambisi pembangunan infrastruktur dan percepatan perekonomian, Presiden Jokowi begitu mengandalkan sokongan investasi dan pinjaman Tiongkok.
Karakteristik yang jika Tiongkok benar-benar lebih leluasa nantinya dalam bermanuver, mungkin saja akan berkonsekuensi kontraproduktif jika tidak diantisipasi dengan cermat oleh Indonesia.
Risiko atas kemudaratan utang, hingga posisi tawar secara politik dan pertahanan yang kerap jadi problematika alot perlu dipahami dan diantisipasi dengan serius oleh Presiden Jokowi.
Sekali lagi, di era dinamika global yang saling terhubung saat ini, satu peristiwa politik seperti kudeta yang terjadi di Myanmar dapat merepresentasikan kecenderungan tersendiri, ketika kekuatan-kekuatan dunia dengan pengaruh yang dimilikinya menunjukkan reaksi tertentu.
Oleh karena itu, kecermatan Presiden Jokowi dan Indonesia dalam menyikapi setiap variabel peristiwa dan dinamika global yang terjadi tampaknya menjadi semakin penting untuk dilakukan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Baca juga: Prabowo, Strategi AS Lawan Tiongkok?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut