Anggota Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan menuai sorotan setelah memberikan pernyataan yang banyak dinilai bernada ancaman kepada Komnas HAM dalam rapat dengar pendapat kemarin lusa. Dengan sederet track record di masa lalu, mengapa Arteria seolah gemar menempatkan dirinya sendiri dalam kontroversi?
Kemarin lusa, atmosfer salah satu ruang rapat di kompleks gedung DPR/MPR RI Senayan, Jakarta berubah mencekam. Sebuah konfrontasi panas yang diciptakan salah satu wakil rakyat menjadi pemicunya.
Dialah Arteria Dahlan, sang wakil rakyat di Komisi III DPR RI yang kembali membuat sensasi dan kontroversi. Pada agenda bertajuk rapat dengar pendapat dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), politisi PDIP itu melontarkan pernyataan yang dinilai cukup keras dan tendensius.
Ihwal berubah menjadi perkara saat topik mulai membahas soal anggaran. Arteria tak sendiri memang dalam friksi ini, karena Wihadi Wiyanto dari Fraksi Gerindra terlebih dahulu menolak mengomentari tambahan anggaran yang disampaikan Komnas HAM dan mengkritisi kritik lembaga tersebut kepada DPR.
Setelahnya, Arteria mulai beraksi. Dimulai dengan permintaan agar Komnas HAM tidak menjadi provokator karena kerap mengkritisi kebijakan DPR selama ini dalam membuat undang-undang.
Tensi argumen kemudian meningkat dan tak sedikit dinilai sejumlah pihak sebagai ancaman dengan menyatakan bahwa jika Komnas HAM kembali “menyentuh” DPR, borok lembaga tersebut akan dibongkarnya.
Diketahui, Komnas HAM sebelumnya memang memberikan pernyataan sikap dengan merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR agar tak melanjutkan pembahasan RUU Cipta kerja atau Omnibus Law dalam rangka penghormatan, perlindungan, pemenuhan HAM bagi seluruh rakyat indonesia.
Komnas HAM mengambil berdiri pada posisi bahwa pembahasan RUU tersebut banyak menimbulkan kekecewaan dari masyarakat lantaran digarap dengan tergesa-gesa dan minim ruang partisipasi. Plus, untuk mencegah terjadinya komplikasi sistem politik, sistem hukum, tata laksana, dan lain sebagainya.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik langsung bereaksi dan mengatakan bahwa lembaganya memiliki kewenangan yang disanksikan Arteria berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
Memang, atmosfer panas dan bernada mencekam di ruang parlemen rapat bukanlah yang pertama kali terjadi. Akan tetapi, menarik ketika lagi-lagi sosok Arteria Dahlan muncul dan melontarkan ihwal kontroversial.
Publik tentu masih mengingat dengan jelas momen friksi serius antara Arteria dan cendekiawan senior Emil Salim, yang membuat dirinya jadi bulan-bulanan kritik karena dianggap tak memiliki budi pekerti. Yang lebih membuat publik mengerenyitkan dahi, Arteria menolak memberikan permohonan maaf atas emosi yang ditunjukkannya.
Atau saat Najwa Shihab mendapat tendensi bernada ancaman serupa dengan yang diterima Komnas HAM, setelah menyebut DPR mencuri kesempatan untuk meloloskan UU kontroversial di tengah pandemi, termasuk Omnibus Law Cipta Kerja.
Lantas pertanyaannya, mengapa Arteria seolah gemar menempatkan dirinya sendiri dalam kontroversi? Adakah keuntungan yang didapatkan oleh DPR maupun PDIP dari tabiat sosok yang telah malang melintang di parlemen sejak tahun 2015 itu?
“Jalan Ninja” Arteria?
Seorang ahli di bidang bahasa dan literatur asal Britania Raya, Adrian Beard menggunakan pendekatan kebahasaan dalam menganalisa fenomena politik.
Dalam publikasinya yang berjudul The Language of Politics, Beard mengedepankan majas metafora dan metonimi yang dapat digunakan dalam menerjemahkan dan memahami interaksi para aktor dalam sebuah proses politik yang sedang berlangsung.
Pada interaksi politik, Beard menyebut bahwa metafora memiliki kekuatan yang tertanam dalam cara manusia mendefinisikan dunia di sekitarnya dan cara dunia itu dibangun untuk manusia oleh manusia lainnya, utamanya pada domain konfrontatif.
Metafora dalam konteks sport atau olah raga dan warfare atau peperangan dikatakan Beard menjadi yang paling sering digunakan. Khusus dalam konteks warfare, sebuah proses politik dapat diamati setelah narasi, diskursus, maupun kritik pertama “ditembakkan”.
Selain metafora berupa frasa bernuansa warfare yang dapat digunakan oleh para aktor dalam mendeskripsikan tajuk interaksi yang terjadi, di tengah proses itulah kerap terdefinisikan pula bagaimana karakter aktor-aktor di dalamnya seperti mereka yang cenderung ofensif, defensif, sosok protagonis dan sebagainya.
Beard mencontohkan tokoh-tokoh seperti mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair dan mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Ronald Reagan kerap menggunakan dan diidentikkan dengan metafora seperti “hit the ground running”, “damage control”, “collateral damage”, “aggressive”, hingga “imperialistic”.
Di era kontemporer, tak ada yang menyangsikan kiranya ketika Presiden AS, Donald Trump bahkan disebut tak hanya ofensif, tetapi juga sangat agresif dalam berbagai pernyataannya di blantika warfare politik AS, terutama dalam merespon dan menyerang lawan politiknya.
Berlandaskan pada penjabaran metafora Beard tersebut, dalam domain warfare politik di tanah air, Arteria Dahlan kiranya tak berlebihan didefinisikan sebagai sosok dengan karakter yang memang ofensif dan juga agresif.
Selain tendensi ofensif maupun agresifnya di parlemen saat rapat dengar pendapat dengan Komnas HAM yang sedang mengemuka, publik pun tampaknya sepakat jika perdebatan dengan Emil Salim, friksi dengan Najwa Shihab, maupun makian kepada Kementerian Agama (Kemenag) pada 2018 silam menasbihkan karakteristik inheren politisi PDIP itu.
Hal ini juga selaras dengan bagaimana PDIP sebagai “rumah” yang paling mengenal Arteria melalui Ketua DPP PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira ketika merespon kontroversi dengan Emil Salim kala itu dengan menyebut jika memang seperti itulah gaya bicara dan debat Arteria Dahlan. Reaktif, frontal tetapi tetap argumentatif.
Arteria memang bukan satu-satunya politisi dengan karakteristik serupa di era kekinian, ketika hampir selalu ada nama-nama seperti Arief Puyuono, Fahri Hamzah, Ruhut Sitompul hingga Ferdinand Hutahaean yang acap kali muncul dengan pernyataan dengan derajat yang dinilai ofensif maupun agresif.
Meski begitu, publik tentu dapat menarik garis perbedaan antara Arteria dengan sampel yang telah disebutkan di atas atau politisi lain dengan karakter serupa yang mungkin luput disebutkan. Ya, karakter agresif Arteria cenderung meledak-ledak dengan serapah dan tak jarang di luar batas kendali sebuah nilai perilaku yang baik bagi sebagian besar orang.
Namun demikian, karakteristiknya itu dinilai menimbulkan benefit tersendiri bagi entitas yang diwakilinya, baik DPR maupun PDIP. Mengapa demikian?
Tumbal Atau Senjata Pamungkas?
Seperti yang menjadi intisari tulisan Beard, Stephen Collinson dalam Trump Defies Democrats with All-Out Political Warfare on Impeachment juga menggunakan metafora bernuansa peperangan, yakni all-out political warfare strategy dalam mendefinisikan pendekatan yang digunakan Trump untuk melawan berbagai narasi dan upaya impeachment atau pemakzulan dirinya pada Oktober 2019 silam.
Selama proses investigasi yang cenderung membuat situasinya tersudut, dengan all-out political warfare strategy, Trump selalu menggunakan karakter agresifnya untuk menangkis berbagai tudingan yang memberatkan, baik dalam rilis pernyataan maupun melalui cuitan di sosial media yang menjadi salah satu senjata andalannya.
Sementara di parlemen sendiri, manuver para senator partai Republik pun tak kalah agresif dengan Trump dalam membentengi sang kepala negara dari agenda yang dinarasikan partai Demokrat sebagai oposisi.
Bahkan secara khusus, agresivitasnya tersebut juga membuat hubungan dengan pimpinan senat AS, Nancy Pelosi berada di titik nadir. Namun melalui serangkaian all-out political warfare strategy-nya itu, Trump pada akhirnya berhasil lolos dari upaya pendongkelan sekaligus membuat Gedung Putih dan partai Republik terhindar dari preseden minor publik AS.
Saat ini, situasi tersudut agaknya sedang dialami partai tempat Ateria bernaung, PDIP. Setidaknya peristiwa protes terhadap sejumlah regulasi kontroversial dan ditambah dengan kegagapan dalam kebijakan penanganan pandemi Covid-19 menjadi titik balik bagi jalan terjal kekuasaan Presiden Jokowi beserta PDIP di kancah politik republik.
Oleh karenanya, PDIP boleh jadi menggunakan all-out political warfare strategy dengan Arteria sebagai salah satu simbol signifikan yang berperan secara agresif untuk menangkis segala hal yang semakin menyudutkan partai banteng dan agenda politiknya, terutama di parlemen.
Friksi dengan Komnas HAM, Emil Salim, maupun Najwa Shihab tampaknya menjadi penegas bahwa Arteria seolah sangat all-out dalam menegasikan berbagai serangan yang ditujukan pada kepentingan, yang pada saat bersamaan dinilai tak hanya menguntungkan secara politis bagi PDIP, tapi juga DPR.
Impresi minor publik memang menjadi konsekuensi dan residu yang cukup sulit dihindari. Akan tetapi, impresi yang tak jarang pada sisi berbeda turut mendistorsi publik atas substansi persoalan akibat manuver agresif Arteria yang “mencolok”, dinilai menjadi keuntungan politik strategis tersendiri.
Tentu motif sesungguhnya dari berbagai gejala dan manuver yang terlihat hanya diketahui sosok Arteria itu sendiri. Yang jelas, alangkah baiknya jika warna-warni karakteristik para politisi Indonesia juga seyogianya berlandaskan pada perilaku dan nilai-nilai yang positif dan elegan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.