Laporan New York Times mengenai orang Indonesia yang malas berjalan kaki gegerkan dunia maya. Tulisan tersebut dianggap tidak menangkap kondisi riil di lapangan. Sang jurnalis membela diri dari anggapan tersebut. Sayang, bantahannya tersebut terkesan bernada arogan. Mengapa jurnalis asing dapat demikian arogan?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]emberitaan The New York Times 20 Agustus 2017 menimbulkan polemik di dunia maya. Surat kabar terbitan Amerika Serikat tersebut memuat tulisan mengenai keengganan orang Indonesia untuk berjalan kaki dalam versi daringnya. Warganet Indonesia kemudian melancarkan kritik kepada koresponden yang menuturkan cerita tersebut.
In Indonesia’s capital, where only 7% of roads have sidewalks, it’s no surprise that few choose to travel on foot https://t.co/Pk5pC9zsoP
— New York Times World (@nytimesworld) August 21, 2017
Kecaman warganet Indonesia sebenarnya cukup beralasan. Tulisan tersebut seolah hanya menunjukkan stereotip dunia Barat terhadap bangsa Indonesia. Hal ini kemudian membuat tulisan tersebut abai terhadap masalah sebenarnya dari kondisi yang muncul di permukaan.
Alih-alih melakukan koreksi, sang jurnalis justru seolah bersikap arogan. Si empunya tulisan, Joe Cochrane justru sibuk melakukan pembelaan diri dan meladeni cuitan warganet dengan beragam alasan. Beberapa cuitan penulis berita tersebut bahkan terkesan merendahkan lawan bicaranya. Mengapa jurnalis asing dapat begitu arogan di Indonesia?
Bias Media Barat?
Laporan mengenai kebiasaan orang Indonesia yang malas jalan kaki tersebut seolah mempertegas adanya bias dalam pemberitaan media Barat. Media dan jurnalis asing seringkali memiliki persepsi terhadap negara dunia ketiga. Negara-negara yang ditangkap oleh lensa dan pena jurnalis asing tersebut kerap digambarkan memiliki kebiasaan buruk. Pemberitaan tentang Indonesia dan negara-negara dunia ketiga lain acap ditunjukkan dalam bentuk penderitaan, korupsi, manajemen yang kacau, dan korupsi. Indonesia juga kerap digambarkan negara dengan tradisi buruk dibandingkan negara Barat dengan budaya yang modern.
Dalam konteks pemberitaan New York Times teranyar, persepsi yang dimaksud adalah bangsa Indonesia adalah bangsa yang pemalas. Pemberitaan tersebut mencoba membingkai bagaimana keengganan orang Indonesia untuk berjalan kaki. Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa Jakarta menjadi gambaran bagaimana Indonesia merupakan negara yang menjadi neraka bagi pejalan kaki.
Selain memotret kemalasan bangsa Indonesia menggerakkan kaki, berita tersebut juga memotret pandangan ekspatriat terhadap kebiasaan buruk orang Indonesia. Orang Indonesia dinarasikan memiliki kebiasaan buruk untuk berlama-lama menunggu elevator ketimbang berjalan menggunakan tangga. Selain itu, laporan tersebut juga menggambarkan orang Indonesia adalah mereka yang berdiri mematung di bandara sehingga menghalangi jalan orang asing. Laporan tersebut juga membandingkan kebiasaan orang Barat yang membagi jalur di eskalator bagi orang yang berdiri dan berjalan dengan orang Indonesia yang tidak mengenal konsep tersebut.
Laporan tersebut juga menggambarkan bagaimana kondisi jalan di Indonesia. Di sana ditulis bahwa infrastruktur di Indonesia tidak cukup baik untuk pejalan kaki layaknya di negara lain. Indonesia tidak memiliki cukup banyak trotoar untuk dilalui pejalan kaki. Trotoar yang ada digambarkan sebagai jalan yang compang-camping tanpa penutup lubang dan penuh kabel. Belum lagi kebiasaan pemotor Indonesia yang kerap menyerobot jalur trotoar.
Persepsi ala Barat terhadap bangsa Indonesia tersebut kemudian membuat pemberitaan abai terhadap masalah sebenarnya. Laporan tersebut gagal menangkap bahwa terdapat hal yang lebih besar ketimbang kebiasaan-kebiasaan yang tertangkap oleh mata jurnalis asing. Dalam konteks pemberitaan tersebut misalnya, perempuan Indonesia memilih menghindari berjalan kaki karena kerap menjadi sasaran empuk pelecehan seksual.
Laporan-laporan jurnalis asing juga kerapkali bias kota besar. Basis koresponden yang berada di ibukota dapat menutup mata sang jurnalis bahwa fenomena yang terpantau tidak selalu berlaku umum di seluruh Indonesia. Hal ini kemudian menimbulkan generalisasi terburu-buru oleh koresponden yang berbasis di ibukota tersebut. Pada pemberitaan tersebut misalnya tertulis bahwa Jakarta dapat diambil sebagai gambaran enggannya orang Indonesia secara keseluruhan untuk berjalan kaki.
Media Asing Arogan?
Kebebasan pers merupakan sesuatu yang kerap diagung-agungkan bangsa Barat. Sayangnya, kebebasan tersebut acap menjadi bumerang bagi mereka. Merasa diri sebagai pemberi kabar dan watchdog nomor wahid, mereka kemudian merasa dapat melakukan apapun. Perasaan tersebut kemudian terwujud menjadi sebuah arogansi yang menghiasi karya jurnalistik mereka. Hal ini kemudian membuat berita yang dihasilkan seolah hanya memikirkan sensasi belaka.
Jurnalis asing tersebut juga menikmati kebebasan pers yang terdapat di Indonesia. Indonesia, dibandingkan beberapa lain cenderung lebih demokratis dan terbuka terhadap keberadaan jurnalis asing. Indonesia memberikan lebih banyak kemudahan bagi pekerja media asing dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih tertutup.
If everyone stops calling me a racist bule, I will gladly write a story about street violence against women. This study came from Stanford.
— Joe Cochrane (@datelinejakarta) August 22, 2017
Melalui kebebasan pers tersebut jurnalis asing yang berbasis di Indonesia kemudian berani melakukan pemberitaan apapun terhadap Indonesia. Jurnalis tersebut kerapkali mengabaikan sensitivitas dan juga aktualitas dari suatu fenomena. Sikap tidak peka ini jelas merupakan arogansi terhadap negara yang mereka liput.
Rendahnya sensitivitas dapat berakar dari belum menyeluruhnya pemahaman sang jurnalis terhadap budaya dan kondisi di Indonesia. Terlepas dari berapa lama ia berkiprah, membutuhkan waktu dan interaksi yang panjang untuk benar-benar mendapatkan pemahaman paripurna.
Arogansi juga tergambar dari bagaimana sang jurnalis berinteraksi dengan respons publik. Jurnalis asing kerap gagal menunjukkan sikap gigih tetapi tetap sopan dalam bersikap. Dalam kasus laporan New York Times, Penulis kabar tersebut memilih melakukan perang cuitan alih-alih mendengar respons dengan baik. Beberapa cuitan dari jurnalis tersebut bahkan berisi kata-kata yang bisa membuat darah mendidih. Penulis tersebut juga menolak meminta maaf dan terkesan menahan diri untuk menulis realita lain yang tidak terungkap melalui laporannya.
Polemik yang mengemuka juga bisa saja menjadi penanda bahwa perasaan superior bangsa asing terhadap bangsa Indonesia masih tetap ada. Bangsa asing terutama bangsa Barat acap merasa memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan bangsa Indonesia. Beragam penanda keberadaban sepeti demokrasi kerap diklaim bersumber dari budaya Barat. Adakah kaitan arogansi dan pemberitaan jurnalis asing dengan perasaan superior tersebut? Berikan pendapatmu. (H33)