Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia (UI). Aturan ini kontroversial karena membuat Rektor UI Ari Kuncoro dapat merangkap jabatan sebagai komisaris. Apakah itu menunjukkan Ari Kuncoro penting bagi pemerintahan Jokowi?
Belum habis rasa penasaran publik soal pelanggaran rangkap jabatan yang dilakukan Rektor Universitas Indonesia (UI), masyarakat kembali dikejutkan dengan hadirnya peraturan baru yang menghapus pasal pelanggaran Rektor UI sebelumnya.
Dari segi kacamata umum hal ini tentu sangat janggal. Bagaimana bisa jika yang keliru perilaku pejabatnya, justru aturannya yang diubah supaya pejabat tersebut bisa menyesuaikan. Kira-kira seperti itulah gambaran yang ada dalam masyarakat terkait polemik kasus ini.
Menurut pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, hal ini semakin menunjukkan bahwa belakangan ini peraturan hukum di Indonesia cenderung dibuat hanya untuk melegitimasi keinginan pemangku kebijakan, tanpa mengedepankan prinsip good governance hingga etika.
Seperti yang kita ketahui, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI yang baru ditandatangani oleh Presiden pada 2 Juli 2021, kemudian diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) di hari yang sama.
Jika kita tarik ke belakang, ini hanya berselang beberapa hari dari meledaknya pembicaraan di masyarakat mengenai terbongkarnya fakta bahwa Rektor UI merangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama (Wakomut) yang merangkap Komisaris Independen di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI sejak Februari 2020.
Maka wajar jika asumsi yang berkembang di masyarakat adalah Statuta UI sengaja dirubah oleh Presiden demi menyelamatkan karier Rektor UI. Lalu, jika anggapan itu benar kemudian muncul pertanyaan, seberapa pentingkah posisi Rektor UI di mata Presiden?
Rekam Jejak Ari Kuncoro
Ari Kuncoro terpilih sebagai Rektor UI periode 2019-2024 melalui hasil pemungutan suara (voting) oleh Majelis Wali Amanat (MWA) UI pada Rabu, 25 September 2019 silam. Pada pemilihan itu, di tahap tiga besar pemilihan Rektor UI, Ia berhasil menyingkirkan dua kandidat kuat lainnya, yaitu Prof. Abd Haris dan Prof. Budi Wiweko.
Sekilas jika dilihat memang sulit menemukan kronologi kedekatan antara Ari Kuncoro dan Presiden secara langsung.
Akan tetapi indikator kedekatan yang minim ini tidak otomatis melegitimasi bahwa tidak ada hubungan yang intens antara kedua aktor tersebut. Mengingat dalam politik hubungan timbal balik antar kedua aktor bisa saja terjadi di balik layar.
Baca Juga: The King of Lip Service, Apa Salahnya?
Terkait hal ini temuan menarik datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang memaparkan fakta bahwa Ari Kuncoro merupakan salah aktor penting untuk memuluskan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja.
Temuan YLBHI memaparkan fakta bahwa Ari Kuncoro merupakan salah satu Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law UU Cipta Kerja. Bahkan peran Ari di sini bisa dibilang cukup sentral, yaitu untuk mengendalikan diskusi undang-undang tersebut di lingkungan UI.
Oleh karena itu, apa yang dilakukan Presiden Jokowi terhadap Ari Kuncoro patut diduga merupakan politik balas budi atas jasa Ari Kuncoro dalam memuluskan UU Omnibus Law.
Di sisi lain, istri Ari Kuncoro, Lana Soelistianingsih juga mendapat sorotan. Lana sendiri diketahui saat ini menjabat sebagai Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Lana diketahui merupakan salah satu pendukung Jokowi saat akan maju dalam kontestasi Pilpres 2014 lalu. Lana yang saat itu masih menjadi kepala ekonom di salah satu perusahaan reksadana merupakan orang yang mencetuskan narasi bahwa jika Jokowi menjadi Presiden rupiah akan tembus 10 ribu.
Relasi Universitas dengan Kekuasaan
Sudut pandang lain yang bisa dilihat dari polemik ini adalah terkait relasi kekuasaan antara universitas dan pemerintah.
Kajian Michel Foucault tentang “relasi kekuasaan” bisa membantu untuk menganalisis hubungan kampus dan politik.
Menurut Foucault, kekuasaan politik pada dasarnya tidak melembaga hanya pada satu muka (seperti lembaga pemerintahan atau partai politik), tetapi menyebar melalui relasi-relasi yang bersifat diskursif dan abstrak.
Dengan demikian, politik tidak dimaknai hanya pada bagaimana lembaga-lembaga kekuasaan bekerja.
Politik sejatinya harus dilihat pada bagaimana kekuasaan itu diartikulasikan dan dinarasikan, sehingga membentuk relasi-relasi yang saling berhubungan. Hal ini membutuhkan telaah mengenai ”politik” yang luas dan interdisipliner.
Bagi penguasa di beberapa negara, keberadaan universitas dinilai sangat penting khususnya dalam konteks politik kekuasaan.
Universitas dengan segenap civitas akademiknya dianggap mempunyai power besar yang dapat mempengaruhi jalannya kekuasaan.
Di Tiongkok, misalnya, peran dari Tsinghua University bisa dibilang sangat sentral dalam perjalanan kekuasaan dari tiap pemimpin negeri Tirai Bambu.
Tsinghua diketahui menerapkan System Political Counsellors di mana sistem ini membangun kekuatan berjejaring berdasarkan hubungan patron-klien antara universitas dan beberapa alumni yang mempunyai jabatan penting di pemerintahan.
Hubungan patron-klien yang terjadi antara universitas dan pemerintah ini memudahkan pihak penguasa untuk “mengondisikan” kampus tersebut.
Baca Juga: Cerminan Zlatan di Rektor UI?
Tsinghua juga digunakan pemerintah untuk menanamkan sosialisme kepada calon pemimpin mereka. Salah satu bentuk propaganda pemerintah Tiongkok adalah memberikan mata kuliah khusus bagi mahasiswa Tsinghua, yaitu “Xi Thought”.
Mata kuliah tersebut secara umum membahas tentang karakteristik kepemimpinan dan kebijakan sosialisme yang dirancang oleh Xi Jinping.
Pemberian mata kuliah ini disebut krusial untuk mendukung kepemimpinan partai komunis dan pemerintahan Tiongkok yang sedang berjalan.
Dalam konteks Indonesia, sistem hubungan patron-klien antara pemerintah dan universitas memang tidak secara terang-terangan terjadi seperti di Tiongkok.
Di Indonesia, pemerintah cenderung mempunyai pendekatan yang berbeda dan cenderung lebih “smooth” dalam menjalin hubungan politik dengan kampus.
Dalam pemilihan rektor, misalnya, berdasarkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 19 Tahun 2017 dan Nomor 21 Tahun 2018, pemerintah melalui Menristekdikti (saat ini Mendikbud-Ristek) mempunyai presentase tertinggi dalam penentuan Rektor.
Dalam sistem seperti ini jelas ada proses politik yang sulit bisa terhindarkan. Selain rawan dengan konflik kepentingan, dengan sistem ini pemerintah mempunyai peluang besar untuk menentukan dan menempatkan orang kepercayaannya di posisi Rektor.
Dalam konteks ini tak sulit untuk menemukan relasi kekuasaan antara Universitas Indonesia dengan pemerintahan era Presiden Jokowi.
UI dan Jokowi
Temuan dari Kompas menyebut beberapa pejabat teras UI seperti Rektor dan sejumlah anggota Majelis Wali Amanat (MWA) diketahui masih dalam lingkaran kekuasaan Presiden Jokowi.
MWA sendiri adalah satu dari empat organ UI, di samping Rektor, Senat Akademik, dan Dewan Guru Besar yang memiliki tugas dan kewenangan sentral dalam perjalanan UI.
Seperti yang diketahui, MWA mempunyai kewenangan untuk mengangkat, menilai kinerja, dan memberhentikan Rektor, serta menetapkan kebijakan umum dan rencana UI.
Beberapa nama anggota MWA UI yang diketahui masuk dalam lingkaran kekuasaan Presiden Jokowi adalah Erick Thohir (Menteri BUMN), Saleh Husin (Koordinator Tim Ahli Wapres RI), Sri Mulyani (Menteri Keuangan), Jonathan Tahir (Penasihat Kepala Kantor Staf Presiden), Bambang Brodjonegoro (eks Menristek), serta Ari Kuncoro sendiri.
Di sini relasi kekuasaan antara Universitas Indonesia dan pemerintah pusat sedikit banyak menemui titik terang. Pemerintah sejak awal diduga telah mempersiapkan beberapa orang kepercayaannya dalam jajaran pejabat teras UI.
Baca Juga: Pakta Integritas UI, “Kerangkeng” Kekinian?
Lewat MWA, misalnya, dengan keberadaan beberapa anggota yang masih dalam lingkaran kekuasaan, ini dinilai akan membuat pemerintah lebih leluasa dalam “mengondisikan” kebijakan kampus.
Jika merujuk pada temuan YLBHI, salah-satu pengondisian tersebut demi kelancaran perumusan RUU Ominbus Law. Di mana salah satu proses dalam perumusan RUU adalah adanya kajian akademis. Pemerintah sendiri saat itu mengklaim bahwa RUU ini telah melewati proses kajian akademik di beberapa kampus, salah satunya UI.
Sheila Jasanoff, ilmuwan pengkaji sains, teknologi dan masyarakat, dalam banyak literatur menggunakan istilah civic epistemology untuk menggambarkan ada-tidaknya sebuah nalar publik yang terbentuk dari tabiat negara dalam menggunakan sains untuk mengambil keputusan.
Antropolog Fajri Siregar dalam tulisannya memaparkan contoh konkret civic epistemology yang terdapat di masyarakat Indonesia, yaitu persepsi yang terbentuk akibat prioritas negara dalam mendengarkan pendapat pelaku ekonomi ketimbang komunitas ilmiah, terutama pakar kesehatan publik dalam penanganan Covid-19.
Namun, terlepas dari benar-tidaknya relasi tersebut, yang jelas Ari Kuncoro telah menunjukkan langkah baik dengan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakomut Bank BRI. (A72)