Setelah Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) untuk merevisi Statuta Universitas Indonesia (UI), Rektor UI Ari Kuncoro justru mundur dari jabatannya sebagai Wakil Komisaris Utama BRI. Namun, berbagai pihak tetap mendorong Ari untuk mundur sebagai Rektor UI. Mengapa ini terjadi?
“Hukum bukanlah bagian dari negara melainkan bagian dari hidup manusia,” – Norbertus Jegalus, dalam buku Hukum Kata Kerja: Diskursus Filsafat tentang Hukum Progresif
Tidak hanya Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang mendapat sorotan atas unggahan “Jokowi: The King of Lip Service”, melainkan juga Rektor UI Ari Kuncoro. Ini tidak hanya soal pemanggilan pihak rektorat kepada pengurus BEM UI, melainkan lebih karena terkuaknya rangkap jabatan Rektor yang menjabat sejak 2019 itu.
Diketahui, Ari Kuncoro menjadi Wakil Komisaris Utama (Wakomut) BRI sejak 18 Februari 2019. Ia juga menjadi Komisaris Utama BNI pada 2017 hingga 2020.
Ini menjadi perhatian luas publik karena dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia, Rektor dilarang merangkap jabatan di satuan pendidikan lain, instansi pemerintah, BUMN/BUMD/swasta, partai politik, dan jabatan yang memiliki pertentangan kepentingan dengan UI.
Atas persoalan ini, berbagai pihak menuntut Ari Kuncoro mundur dari jabatannya, baik di BUMN maupun sebagai Rektor UI. Namun menariknya, di tengah polemik tersebut, pemerintah justru mengesahkan PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI. Ini merevisi PP Nomor 68 Tahun 2013, di mana larangan rangkap jabatan di BUMN/BUMD/swasta hanya untuk jabatan direksi.
Baca Juga: The King of Lip Service, Apa Salahnya?
Pengesahan yang terjadi di tengah sorotan terhadap Rektor UI membuat berbagai pihak sulit untuk tidak menaruh curiga. Ekonom UI Faisal Bahri, misalnya, memberikan pandangan keras melalui Twitter pribadinya.
“Lebih penting menyelamatkan Prof. Ari Kuncoro ketimbang memajukan UI. Luar biasa Presiden @jokowi,” begitu cuitnya pada 20 Juli.
Menurut keterangan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim, PP Nomor 75 Tahun 2021 sebenarnya telah diusulkan sejak 2019 lalu.
“Inisiatif pembahasan usulan perubahan PP telah dilakukan sejak tahun 2019. Pembahasan telah dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan melibatkan semua pihak terkait,” begitu keterangan Nadiem pada 23 Juli.
Menariknya, setelah terjadi revisi Statuta UI, Ari Kuncoro justru memilih mundur dari jabatannya sebagai Wakomut BRI. Beberapa pihak mengapresiasi langkah tersebut. Namun, pihak lainnya tetap mendorong agar alumnus Brown University ini mundur dari jabatannya sebagai Rektor UI.
Lantas, mengapa dorongan tersebut tetap terjadi?
Perbedaan Persepsi Hukum
Norbertus Jegalus dalam bukunya Hukum Kata Kerja: Diskursus Filsafat tentang Hukum Progresif memberikan penjelasan penting untuk memahami dorongan mundur tersebut. Jegalus membuka bukunya untuk menjawab pertanyaan, apa yang kita maksud dengan hukum?
Menurutnya, bagi kebanyakan orang, khususnya mereka yang mempelajari ilmu hukum, apa yang dimaksudkan sebagai hukum adalah seperangkat aturan tertulis yang telah diatur negara. Ini disebut sebagai “hukum positif”.
Kata “positif” sendiri berasal dari bahasa Latin, ponere-positus yang berarti meletakkan, menempatkan. Dalam pengertian ini, adil atau tidaknya tindakan manusia ditentukan oleh apa yang telah diletakkan (positus), yaitu peraturan hukum.
Nah, mengacu pada hukum positif, dengan adanya revisi Statuta UI, posisi Ari Kuncoro yang merangkap jabatan sebagai Wakomut BRI menjadi tidak perlu dipersoalkan lagi. Namun, seperti yang diketahui, dorongan agar sang Rektor mundur justru semakin kencang setelah revisi terjadi. Mengapa ini terjadi?
Menurut Jegalus, berbeda dengan para ahli hukum yang kerap memaksudkan hukum sebagai hukum positif, masyarakat justru memahami hukum sebagai tuntutan untuk menciptakan keadilan. Masyarakat umumnya “tidak peduli” dengan apa yang tertulis dalam undang-undang atau aturan lainnya.
Baca Juga: Cerminan Zlatan di Rektor UI?
Yang menjadi konsentrasi masyarakat adalah, apakah hukum yang ada memberikan rasa keadilan atau tidak. Mengutip pakar hukum Satjipto Rahardjo, ini yang disebut sebagai “hukum progresif”.
Jika hukum terlepas dari norma-norma keadilan, maka hukum tersebut adalah hukum yang tidak adil. Penekanan ini berbeda dengan hukum positif yang menilai keadilan berdasar pada hukum itu sendiri.
Meskipun masih menjadi perdebatan apakah masyarakat umum pasti merujuk pada hukum progresif atau tidak, yang jelas, perbedaan persepsi hukum ini dapat kita gunakan untuk menjawab, mengapa tuntutan mundur terhadap Ari Kuncoro tetap terjadi.
Singkatnya, tidak hanya terjadi pengangkatan yang tidak sah sebagai Wakomut BRI, revisi Statuta UI di tengah hangatnya polemik ini semakin mempertebal sentimen publik bahwa terjadi ketidakadilan. Tidak hanya masyarakat umum, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti juga menyinggung soal ini.
“Secara etik dia sudah tidak pantas menjadi Rektor yang harusnya menjunjung tinggi etika akademik. Harusnya dia paham sendiri lah alias tahu diri, kalau masih punya etik sebagai pagar hidupnya,” begitu ungkapnya pada 22 Juli.
Hukum sebagai Alat
Pada 20 Juli, Bivitri juga memberikan kritik keras atas revisi Statuta UI. Menurutnya, revisi itu menggambarkan politik hukum di Indonesia belakangan ini, yaitu “peraturan dibuat untuk melegitimasi apa yang diinginkan pembuat aturan sendiri.”
Terkait kritik tersebut, sangat penting untuk membaca buku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Moh. Mahfud MD yang berjudul Politik Hukum di Indonesia. Menurut Mahfud, dalam relasinya dengan politik, hukum sering kali menjadi pelayan atau berposisi subordinat.
Mengutip Sunaryati Hartono dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Mahfud menulis frasa bahwa “hukum sebagai alat”. Konteks frasa ini adalah kebutuhan negara untuk mencapai cita-cita atau tujuan nasional, seperti pembangunan, yang memang menggunakan hukum.
Di titik ini, frasa hukum sebagai alat berada pada pengertian positif, atau setidaknya netral. Namun, bagaimana jika hukum digunakan untuk melegitimasi kehendak penguasa?
Pada pengesahan Undang-undang (UU) Cipta Lapangan Kerja, misalnya, besarnya gelombang penolakan seolah tidak menjadi pertimbangan untuk menunda atau membatalkan pengesahan.
Lalu ada pula pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu Corona) yang disahkan menjadi UU pada Mei 2020. Produk hukum ini dinilai kontroversial karena Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan lembaga lainnya tidak dapat dituntut, baik perdata maupun pidana, apabila kebijakan yang dilakukan berbuah kerugian negara. Ini terjadi karena program pemulihan ekonomi nasional dipahami sebagai upaya menyelamatkan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Pakar hukum tata negara Prof. M. Fauzan juga memberikan catatan kritis atas pengesahan UU tersebut. Menurutnya, mudahnya pengesahan Perppu menjadi UU dapat menjadi indikasi melemahnya fungsi DPR sebagai pengawas kebijakan pemerintah atau eksekutif.
Prof. Fauzan bahkan memberikan bayangan terburuk dengan menyebutkan, “pada akhirnya DPR hanya akan sebagai alat legitimasi setiap tindakan dan keinginan Presiden”.
Jika benar demikian, ini kontras dengan penegasan Charles O. Jones dalam bukunya The Presidency in a Separated System yang menyebutkan persetujuan merupakan ultimate authority dari lembaga legislatif yang tidak bisa dikurangi oleh pengaruh presiden.
Baca Juga: Ari Kuncoro Penting untuk Jokowi?
Well, pada akhirnya kita dapat memahami mengapa tuntutan agar Ari Kuncoro mundur dari jabatannya sebagai Rektor UI terus menggema. Seperti pernyataan Jegalus di awal tulisan, hukum itu bagian dari manusia (masyarakat), bukan negara. Ius quia iustum, hukum karena adil. (R53)