Site icon PinterPolitik.com

Ardhito Tumbal Simulakra Omnibus Law?

Ardhito Tumbal Simulakra Omnibus Law

Ardhito Pramono (Foto: Kompas)

Ardhito Pramono meminta maaf terkait postingannya soal #IndonesiaButuhKerja. Permintaan maaf ini menyusul kecaman dari masyarakat yang menudingnya mendukung RUU Cipta Kerja. Ardhito mengakui menerima bayaran, namun menyebut tak tahu gerakan tersebut berkaitan dengan Omnibus Law. Adakah andil pemerintah di balik gerakan ini?


PinterPolitik.com

Awan adalah bungsu dari tiga bersaudara yang tengah mencari jati diri. Di tengah masa krisis ini, Ia dihadapkan dengan permasalahan keluarga yang mau tak mau turut membebani pikirannya.

Di tengah kebuntuan itu, Awan dipertemukan dengan Kale dalam sebuah konser musik. Sosok yang baru dikenalnya itu lantas menjadi tempat Awan melampiaskan keluh kesahnya.

Kisah romansa Awan dan Kale ini tampaknya berhasil menguras emosi para penonton ‘Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini’ (2020). Publik terbelah dalam menyikapi sosok Kale yang diperankan dengan apik oleh Ardhito Pramono.

Sebagian penonton menuding Kale hanya menikmati kedekatannya dengan Awan tanpa mau memberikan kejelasan terkait status hubungan mereka. Sebagian lain malah mengagumi sosoknya yang dianggap banyak memberikan pelajaran dan arti hidup yang sebenarnya kepada Awan.

Terbelahnya opini publik tersebut tidak hanya terjadi dalam film yang dimainkan oleh Arditho, melainkan juga dalam unggahannya baru-baru ini dengan tagar #IndonesiaButuhKerja. Bagaimana tidak, reaksi publik langsung sepakat mengecam tindakannya karena dianggap mendukung Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang dinilai banyak merugikan hak-hak buruh dan karyawan.

Melalui akun Twitter-nya, Ia mengakui bahwa dirinya memang dibayar untuk mengampanyekan #IndonesiaButuhKerja, namun tidak mengetahui kalau gerakan tersebut merupakan bentuk dukungan terhadap RUU Cipta Kerja. Arditho menegaskan dirinya tak ingin digiring ke ranah yang tak Ia pahami, dan berjanji akan mengembalikan bayaran yang diterima atas unggahannya tersebut[A1] .

Meski pemerintah berulang kali membantah berada di balik gerakan #IndonesiaButuhKerja, namun strategi menggaet publik figur dan influencer untuk tujuan politik kadung menjadi ciri khas pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Jokowi tak pernah malu-malu menunjukkan kedekatannya dengan para artis dan publik figur meski strategi ini dinilai tak jarang menjadi blunder yang merugikan dirinya sendiri.

Sebut saja ketika Presiden Jokowi mengundang 30 pekerja seni dan kreatif ke Istana Merdeka medio Juli lalu. Saat itu, mantan Wali Kota Solo ini berdalih bahwa pertemuan tersebut bertujuan untuk mengajak mereka mengampanyekan protokol kesehatan Covid-19.

Alih-alih sosialisasi protokol kesehatan, beberapa artis yang diundang Presiden Jokowi itu malah menciptakan kontroversi di tengah masyarakat, salah satunya Erdian Aji Prihartanto alias Anji yang kini berurusan dengan polisi terkait konten Youtube-nya bersama Hadi Pranoto, seorang ‘profesor’ yang mengklaim telah menemukan obat Covid-19.

Tentu menjadi pertanyaan yang menarik untuk diulik, jika benar terdapat strategi pemerintah menggunakan influencer untuk mendukung RUU Cipta Kerja dan Omnibus Law, mengapa pemerintahan Jokowi tak pernah kapok melibatkan kalangan artis dan influencer dalam berbagai kebijakannya? Sejauh mana sebenarnya endorsement para pesohor ini menguntungkan pemerintah?

Ingin Redam Krisis Kepercayaan?

Riset ekonom Bank Dunia, Vivi Alatas tampaknya dapat menjadi acuan untuk menjawab mengapa Presiden Jokowi begitu tergiur dengan pesona para artis dan influencer. Berdasakan studi yang Ia lakukan terhadap 46 akun Twitter selebriti Indonesia dengan total mencapai 7,8 juta pengikut, dapat disimpulkan bahwa masyarakat cenderung percaya bahkan membagikan ulang informasi yang diunggah para selebriti tersebut.

Menariknya, riset ini juga mengungkapkan bahwa masyarakat lebih percaya terhadap informasi yang dicuitkan langsung oleh selebriti tanpa mengutip sumber dari pihak lain, termasuk pemerintah. Berangkat dari sini, maka tak berlebihan jika kita menduga bahwa Presiden Jokowi tengah berusaha mengatasi krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah melalui tangan para publik figur dan influencer.

Meski begitu, Presiden Jokowi bukanlah pemimpin pertama yang kerap memanfaatkan para artis untuk melancarkan agenda politiknya. Hal itu juga pernah dilakukan oleh Perdana Menteri (PM) Jamaika, Michael Manley sekitar tahun 1976.

Kala itu, Michael mengajak raja musik Reggae Bob Marley untuk menggelar konser gratis bertajuk ‘Smile Jamaica’. Meski menegaskan dirinya enggan bermain politik, nyatanya Bob tetap menerima ajakan konser tersebut.

Keputusan Bob tersebut kemudian ditafsirkan publik sebagai bentuk dukungan terhadap People’s National Party (PNP) yang kala itu tengah bersitegang dengan Jamaican Labour Party (JLP). Publik yang kepalang kecewa bahkan sampai nekat menyerang kediaman Bob hingga dirinya beserta istrinya terkena luka tembakan.

Apa yang dialami Ardhito Pramono dan 21 influencer #IndonesiaButuhKerja lainnya memang tidak se-ekstrim yang dialami Bob Marley. Akan tetapi, kedua fenomena ini setidaknya memberikan afirmasi bahwa pelibatan publik figur dan influencer dalam agenda politik tidak selalu menimbulkan simbiosis yang menguntungan kedua pihak, bahkan tak jarang malah menimbulkan kerugian.

Dalam kasus Anji misalnya, meski persoalan hukum yang menjeratnya tak ada sangkut pautnya dengan pemerintah, namun publik tentu tak bisa begitu saja mengabaikan fakta bahwa Ia adalah salah satu influencer yang diharapkan Presiden Jokowi untuk dapat menyosialisasikan protokol kesehatan Covid-19.

Alhasil, pemerintah malah mendapatkan kritik dari berbagai pihak karena dianggap melakukan kegiatan yang kontraproduktif di tengah upaya pencegahan penyebaran Covid-19 yang kian memburuk. 

Bangun Realitas Semu?

Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno turut mengomentari kebiasaan Presiden Jokowi yang dinilai kerap menggunakan jasa para influencer karena menurutnya itu dapat menciptakan realitas semu di tengah masyarakat. Dukungan yang digalang lewat pengaruh para selebriti ini cenderung dinilai dipaksakan bahkan memanipulasi kesadaran publik.

Fenomena realitas semu sendiri sangat berkaitan erat dengan teori simulakra yang dikemukakan Jean Baudrillard dalam bukunya Simulacra and Simulation.  Di sana, Baudrillard mengatakan bahwa manusia saat ini hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi, hampir tidak ada yang nyata di luar simulasi, sehingga yang asli sulit sekali diidentifikasi.

Lebih lanjut, Baudrillard mengatakan bahwa realitas telah hilang dan kebenaran seringkali manguap. Realitas tidak hanya diceritakan, direpresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi kini dapat direkayasa, dibuat dan dicitrakan.  Simulakra telah mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan yang imajiner, yang benar dengan yang palsu.

Berangkat dari teori ini, dapat dikatakan bahwa kampanye #IndonesiaButuhKerja adalah fenomena simulakra yang mencoba menguapkan realitas sesungguhnya soal betapa merugikannya rancangan beleid ini terhadap hak-hak pekerja karena digantikan dengan realitas semu yang mencitrakan RUU ini mendaptkan dukungan dari para pesohor.

Dukungan yang disuguhkan kepada masyarakat tersebut nyatanya juga bukan dukungan yang sebenarnya. Sebagaimana  diakui sendiri oleh Ardhito, dirinya sama sekali tidak mengetahui bahwa #IndonesiButuhKerja merupakan bentuk dukungan terhadap RUU Cipta Kerja.

Terlepas dari benar tidaknya pernyataan tersebut, rasanya tak berlebihan menyebut Ardhito dan 21 influencer lainnya sebagai tumbal simulakra Omnibus Law. Mereka kemungkinan besar dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk membangun sebuah realitas semu yang mengaburkan fakta sesungguhnya di tengah sengkarut persoalan RUU Cipta Kerja.

Meski begitu, gambaran kemungkinan yang menyebutkan bahwa pemerintahan Jokowi berada di balik kampanye #IndonesiaButuhKerja adalah asumsi yang belum tentu benar adanya. Yang jelas, kedekatan Presiden Jokowi dengan selebriti dan influencer tersebut membuka ruang bagi kecurigaan bahwa pemerintah tengah menggunakan taktik yang sama dalam menghadapi polemik RUU Cipta Kerja. Menarik untuk diamati kelanjutannya. (F63)


Exit mobile version