Walaupun menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Arab Saudi terlihat tidak terlalu galak menyikapi ‘aneksasi’ Yerusalem oleh Israel.
PinterPolitik.com
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berkampanye dengan menggelora di depan perwakilan negara-negara anggota OKI, setelah mereka menginisiasi pertemuan darurat terkait pengakuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap Yerusalem sebagai ibukota Israel. Erdogan ingin Turki memimpin kampanye negara Islam untuk melawan klaim atas Yerusalem, bahkan menyebut Israel sebagai negara teroris. (Baca juga: Mampukah OKI Bela Palestina?)
Kontras dengan Turki, Arab Saudi menyikapi Yerusalem dengan biasa-biasa saja. Walaupun di depan layar telah tersampaikan simpati kepada Palestina dan protes kepada AS via Liga Arab, indikasi bahwa Saudi justru turut mendorong kebijakan Trump tetap kuat tercium.
Kabar terakhir, Saudi malah menawarkan kota Abu Dis kepada Palestina untuk dijadikan sebagai ibu kota pengganti Yerusalem. Ketimbang turut mengecam dan memaksa Trump menarik klaimnya, Saudi malah seiya sekata dengan misi AS. Ini bagaikan ‘pil pahit’ bagi Palestina dan bukti bahwa Arab Saudi bermain dalam skenario perdamaian versi AS. (Baca juga: Perdamaian Israel-Palestina Versi Trump)
Putra Mahkota Arab Saudi Usul Abu Dis Jadi Ibukota Palestina https://t.co/XT29IICIkv
— TEMPO.CO (@tempodotco) December 8, 2017
Shadi Hamid, peneliti senior dari Brookings Institution di Washington, mengatakan bahwa Arab Saudi secara halus telah condong membela kepentingan AS dan Israel. Menurut Hamid, bila benar-benar berdiri membela solidaritas Arab, maka Saudi seharusnya menggunakan kedekatan dengan AS untuk melobi sikap Trump yang ‘tidak hati-hati’ ini.
Sepanjang sejarah konflik Israel-Palestina, Arab Saudi memang memiliki satu prinsip: normalisasi hubungan diplomatik negara Arab dengan Israel hanya dapat terjadi bila ada kejelasan nasib Palestina. Akan tetapi, sikap tersebut tak pernah gamblang tergambar: nasib Palestina yang seperti apa?
Dengan pertanda adanya ‘kesepakatan’ Arab Saudi dengan sikap ini, akankah nasib Palestina telah didefinisikan pula oleh Saudi? Benarkah, Saudi malah telah lebih setia kepada Israel dibanding kepada Palestina?
Wahhabisme Saudi adalah Saudara Kandung Zionisme
Penting untuk melihat ke belakang, khususnya ke sejarah hampir seratus tahun lalu. Pada 1920, kekalahan Kerajaan Ottoman dari Kerajaan Inggris menimbulkan tiga faksi besar di Semenanjung Arab. Mereka adalah Hussain bin Ali dari Hijaz (sebelah barat), Ibn Rashid dari Ha’il (sebelah utara) dan Emir Ibn Saud dari Najd (sebelah timur).
Ibn Saud yang adalah cikal bakal kerajaan Arab Saudi, mulanya bukanlah pemimpin Arab terlegitimasi, karena Mekkah tidak berada di tangannya. Namun Ibn Saud didukung secara penuh oleh Inggris, karena sikap pro Ibn Saud terhadap implementasi Deklarasi Balfour di Palestina. Deklarasi Balfour menyerukan tanah Palestina diperuntukkan bagi umat Yahudi
Sementara itu, dua kekuatan politik di Semenanjung Arab lainnya, Hussain yang saat itu menguasai Mekkah serta Ibn Rashi, setia terhadap Mandatory Palestine. Mandat ini menyerukan Palestina tetap menjadi milik umat Islam dan menolak pendudukan Yahudi di tanah itu.
Hussain dan Ibn Rashid lantas dikalahkan oleh Ibn Saud dalam perang yang melibatkan daerah-daerah kekuasaan mereka. Dr. Askar H. al-Enazy, sejarawan Timur Tengah, melihat besarnya peran Inggris dalam kemenangan Ibn Saud ini, dan konsekuensinya terhadap unifikasi daerah-daerah tersebut menjadi Arab Saudi. Mekkah dikuasai oleh Ibn Saud dan paham Wahabisme pun diturunkan sampai saat ini di tanah Arab Saudi.
Kemenangan Ibn Saud pada 1932 berkat bantuan Inggris, kemudian mengharuskan Arab Saudi tetap mendukung Deklarasi Balfour. Ini dilakukan sampai pada pembentukan Israel di tahun 1948. Pada masa itu, perlawanan dari kerajaan dan negara Arab lain semakin kencang terhadap Israel.
Akan tetapi, mulai dari Perang Arab-Israel 1947-1948 sampai Perang Enam Hari 1967, Arab Saudi tak pernah ambil andil. Bahkan, Arab Saudi berperan kuat membatalkan embargo minyak negara Arab kepada AS pada 1967, menyelamatkan AS dari salah satu krisis minyak terparah yang melanda masyarakat di sana.
Arab Saudi, dengan demikian, tak hanya membantu AS dalam menghadapi negara Arab lain, namun khususnya membantu AS dan Israel dalam mengurusi Palestina.
Menurut analis politik Catherine Shakdam, Wahhabisme dan Zionisme dalam praktiknya memiliki kemiripan, sekalipun tak ada relasi doktrin agama di antara keduanya. Ia melihat penjajahan Zionis atas tanah Palestina integral dengan ‘penjajahan’ yang dilakukan Wahhabi Saudi secara halus di Palestina. Eksklusivitas keduanya bagi kepercayaan masing-masing juga dapat menjadi kesamaan yang tak terpisahkan dari Wahhabisme dan Zionisme.
Walaupun dukungan Kerajaan Inggris kepada Ibn Saud tak diakui oleh sejarah formal Inggris, namun fakta sejarah telah membuktikannya. Wahhabisme dan Zionisme lahir dengan bantuan bidan yang sama: peradaban Barat.
Yerusalem dan Tehran, Bahasan Bersama Setahun Terakhir
‘Persahabatan’ yang telah lama hilang karena tak adanya hubungan diplomatik antara Wahhabisme Saudi dan Zionisme Israel bisa saja kembali terjadi tak lama lagi. Selama beberapa waktu terakhir, telah semakin banyak tanda-tanda yang menunjukkan kedekatan Saudi dan Israel, dengan atau tanpa perantara AS.
Untuk melihat peran Saudi dalam kasus Iran (atau Yerusalem secara bersamaan), kita perlu melihat sentralitas peran putera mahkota kerajaan, Pangeran Mohammed bin Salman. Sejak Januari 2017, sebelum diangkat sebagai pemimpin de facto oleh ayahnya, Mohammed telah melakukan perjalanan diplomatik ke Washington, dikabarkan terkait solusi bagi Israel dan Palestina.
Kemudian, pada September 2017, Mohammed dikabarkan bertandang secara diam-diam ke Tel Aviv, menemui PM Netanyahu membahas Yerusalem. Laporan-laporan pertemuan selanjutnya mencuat, seperti pertemuan kembali dengan pihak Washington di Riyadh, hingga pertemuan dengan Presiden Mahmoud Abbas, di mana Mohammed telah mengajukan proposal tentang kota Abu Dis, beberapa waktu sebelum Trump mengklaim Yerusalem.
Kesemua progres pembahasan mengenai Yerusalem tersebut disinyalir adalah permintaan Israel maupun backing dari AS. Saudi, di satu sisi amat membutuhkan dukungan Israel dan AS dalam melawan kekuatan politik Iran di regional.
Bagi Sunni Arab Saudi, mungkin membasmi Syiah Iran lebih penting daripada memusuhi Israel. Dengan AS di era Trump, Saudi dapat semakin erat dengan AS karena adanya sikap Trump untuk semakin memusuhi Iran, misalnya dengan membatalkan kerja sama nuklir. Dengan adanya Israel yang membenci Iran pula, Saudi bisa semakin memperkuat aliansi.
Dengan peran besar Trump, relasi diplomatik juga bisa kembali terbangun antara Israel dan Saudi. Keduanya mungkin tak lagi harus melakukan kontak diplomasi secara tertutup.
Namun, Alireza Nader dari Rand Corporation mencemaskan terbentuknya kekuatan Saudi-Israel ini yang menurutnya, dapat menyebabkan pecahnya perang. Outbreak yang sudah sedikit terlihat adalah di Lebanon yang juga melibatkan Arab Saudi dan Iran.
Dengan begitu, pembentukan aliansi AS-Israel-Saudi itu sendiri harus dipahami dengan hati-hati oleh Trump saat ini. Salah langkah yang terlalu agresif, perang proxy dengan Iran dapat semakin melebar.
Tehran dapat menjadi kekuatan yang memberi reaksi paling keras melawan persahabatan Washington, Tel Aviv, dan Riyadh. Sehingga, peran Mohammed bin Salman untuk ‘membantu’ AS-Israel dalam urusan Yerusalem memang harus diimbangi dengan sikap simpatik yang lebih kepada komunitas Arab.
Perdamaian Yerusalem dan Kemajuan Ekonomi Saudi
Pangeran Mohammed bin Salman telah memiliki misi yang amat besar ketika akan dilantik menjadi Raja Saudi dalam waktu dekat. Pada dimensi dalam negri, ia menginginkan Saudi yang lebih independen dari minyak dan lebih moderat dalam Islam praktis. Pada dimensi luar negeri, ia telah menunjukkan sikap semakin keras terhadap Iran, sembari semakin dekat dengan AS-Israel.
Tentu saja ada kepentingan pengembangan bisnis Saudi dalam relasi luar negeri mereka. Publik tentu masih ingat bahwa satu bulan lalu Saudi dan AS telah menyepakati investasi Arab Saudi sebesar 55 miliar dollar di AS. Investasi tersebut menjadi yang terbesar dalam sejarah Saudi.
Begitu pula dengan Israel. Sekalipun tidak memiliki pengakuan diplomatik formal, perjanjian ekonomi dengan Israel dikabarkan sedang dinegosiasikan. Perjanjian tersebut antara lain dengan membuka penerbangan pertama dari Tel Aviv ke Riyadh, yang juga menjadi kebijakan Netanyahu untuk 60.000 jemaah haji dari Israel.
Disinyalir pula, Israel yang baru menemukan sumber gas alam di tanahnya pada 2015 lalu telah menjadi ladang bisnis lezat bagi negara-negara terdekatnya. Setelah AS mulai memanfaatkan gas alam Israel, apakah Saudi akan ambil bagian?
Israel’s Natural #Gas Supply Is a Game-Changer https://t.co/BSapy7CUH5 For #Israel yes but for exports it is a challenge
— Charles Ellinas (@CharlesEllinas) April 11, 2017
Memang, bila Saudi ingin beranjak dari ‘adiksi’ mereka kepada minyak, investasi di gas alam Israel bisa jadi adalah penyelesaiannya. Sebagai timbal balik, Saudi tentu harus semakin mendorong kepentingan Israel di dunia Arab, salah satunya meraih pengaruh di negara-negara Semenanjung Arab dengan tujuan akhir memenangkan Yerusalem.
Ya, menengahi potensi konflik Barat dengan Arab setelah klaim atas Yerusalem ini menjadi sangat penting. Sama pentingnya dengan berjalannya ‘proses damai’ itu sendiri. Arab Saudi adalah pemain kunci di posisi tersebut.
Selama tanah suci umat Islam telah dikuasai Saudi, biarlah tanah suci umat Yahudi diambil Israel. Mungkin begitu yang diajarkan dalam kurikulum Saudi. (R17)