Cuitan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia tentang Reuni 212 menimbulkan reaksi keras.
Pinterpolitik.com
[dropcap]R[/dropcap]euni 212 ternyata menyita banyak perhatian dari dunia internasional. Beragam media menyoroti salah satu momen tumpah ruah manusia terbesar di Indonesia ini. Tak hanya media, pejabat setingkat duta besar juga memberi perhatian kepada momen menarik tersebut.
Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Osama bin Mohammed Abdullah Al Shuaibi sempat mengirim cuitan di media sosial Twitter terkait peristiwa tersebut. Di dalamnya, terdapat imbauan kepada warga negara Arab Saudi di Indonesia untuk menghindari kawasan Monas karena berpotensi ramai dan macet. Selain itu, ia juga dikabarkan menulis bahwa aksi itu terjadi sebagai reaksi dari pembakaran bendera tauhid oleh ‘organisasi sesat’.
Tak dinyana, cuitan tersebut ternyata kini menuai polemik. Nahdlatul Ulama (NU) menyampaikan protes keras mereka kepada wakil resmi kerajaan Saudi di Indonesia tersebut. Baik PBNU maupun sayap pemuda mereka, GP Ansor tampak tersinggung dengan label organisasi sesat tersebut.
Kini, cuitan Osama tersebut telah lenyap seiring dengan kontroversi yang tak terbendung. Terlepas dari lenyapnya cuitan tersebut, mengapa pejabat setingkat dubes seperti Osama harus melakukan ekspresi tersebut di media sosialnya? Adakah maksud di balik cuitan tersebut?
Hubungan Konservatisme
Tak dapat dipungkiri bahwa Aksi 212 dan dua kali agenda reuninya dapat digolongkan sebagai kegiatan kelompok Islam konservatif. Jika dilihat dari komposisi pesertanya, sulit untuk membantah argumentasi bahwa simpatisan aksi diisi sebagian besar oleh kelompok Islam tersebut.
Di sisi yang sama, Arab Saudi kerap kali dikaitkan dengan beragam gerakan Islam konservatif nyaris di seluruh dunia. Berbagai gerakan jihadis di kawasan Afrika Utara, Asia Selatan, dan Timur Tengah disebut-sebut dapat tumbuh akibat dukungan negara tersebut.
Penggambaran upaya ekspor paham konservatif ini diungkapkan misalnya oleh James Dorsey. Menurut Dorsey, Arab Saudi telah mengeluarkan dana 70 hingga 100 miliar dolar AS untuk mempromosikan gagasan Islam ultra konservatif, entah itu Salafi, Wahabi, atau Deobandi.
Kalau tidak juga ada permintaan maaf, Kerajaan Saudi Arabia harus segera tarik pulang dubesnya. Sebelum terjadi komplikasi yang lebih serius! #pulangkanosamahsuabi
— yaqut cholil qoumas (@GPAnsor_Satu) December 3, 2018
Dana miliaran dolar itu digunakan untuk mendanai beberapa sektor. Masjid, sekolah Islam, institusi kebudayaan, dan layanan sosial menjadi sasaran dari dana tersebut. Dorsey juga menggambarkan bahwa dana itu digunakan untuk membangun relasi dengan pimpinan Muslim dan Wahabi dan juga agensi intelijen di berbagai negara muslim.
Langkah itu disebut-sebut berhasil memunculkan kelompok Wahabi lokal dan kelompok muslim konservatif serupa yang menjadi kekuatan yang berpengaruh di negara-negara dan komunitas Muslim di seluruh dunia.
Menurut Dorsey, upaya untuk mendorong gagasan Islam konservatif itu berkaitan dengan kebijakan soft power Arab Saudi dan strategi survival atau bertahan hidup ala klan Al Saud sebagai penguasa. Hal ini dikarenakan paham konservatif itu sering kali dicap negatif bahkan di Arab Saudi sendiri. Sementara itu, kekuatan Al Saud di negaranya tidak akan cukup kuat jika tidak melakukan ‘perkawinan’ dengan kelompok Wahabi.
Pendanaan ini menurut Dorsey, memiliki keuntungan beragam bagi berbagai kelompok. Bagi para ulama Wahabi, langkah tersebut dapat membantu untuk penyebaran paham agama. Sementara itu, bagi para pengisi pemerintahan Saudi, pendanaan tersebut berguna sebagai soft power.
Kebijakan Soft Power
Secara khusus, Arab Saudi juga dikabarkan menjaga agar paham Islam puritan milik mereka tetap tumbuh subur di Indonesia. Dalam sebuah laporan yang dibuat oleh jurnalis Krithika Varagur, digambarkan bagaimana Arab Saudi memiliki kepentingan untuk menjaga soft power mereka di Indonesia. Hal ini mereka jalankan dengan cara memberikan pendidikan yang melanggengkan paham puritan tersebut.
Varagur menggambarkan bahwa negara tersebut telah mempromosikan gagasan Islam Salafisme sejak tahun 1980-an ke Indonesia. Ia menggambarkan bahwa jutaan dolar telah digelontorkan untuk menanamkan gagasan Islam tersebut.
Di Indonesia, institusi yang disebutkan membawa paham-paham konservatif itu salah satunya adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA). Dalam laporan milik Varagur, LIPIA digambarkan mengajarkan paham Wahabi dalam pendidikan mereka.
Di luar itu, Arab Saudi juga cukup rajin memberikan beasiswa kepada orang Indonesia untuk dapat mendapatkan pendidikan di tanah mereka. Beberapa alumninya kini dapat ditemui di kehidupan sehari-hari, mulai dari partai politik, organisasi kemasyarakatan hingga institusi pendidikan.
Secara spesifik, beberapa tokoh Islam konservatif – bahkan radikal – di Indonesia pernah mengenyam pendidikan di institusi yang terafiliasi dengan negeri padang pasir tersebut. Salah satunya adalah Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab. Pentolan aksi 212 tersebut tercatat pernah menjadi mahasiswa di LIPIA.
Selain itu, terdapat pula Zaitun Rasmin yang merupakan alumni dari Universitas Islam Madinah. Zaitun adalah Ketua Komisi Dakwah MUI dan juga Ketua Umum Wahdah Islamiyah. Di luar aktivitasnya di kedua organisasi tersebut, Zaitun tergolong cukup vokal bersuara di barisan kelompok 212, di mana ia menjadi wakil ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama.
Dilihat dari kondisi-kondisi tersebut, terlihat bahwa Arab Saudi memiliki hubungan dengan gerakan konservatisme Indonesia. Hal ini sejalan dengan penggambaran oleh Dorsey bahwa negeri padang pasir itu melakukan ekspor paham konservatif ke seluruh dunia.
Saudi Dukung Reuni?
Pada titik tersebut, jika soft power Arab Saudi seperti disebut di atas menjadi agenda utama, boleh jadi cuitan Osama memiliki maksud. Dalam kadar tertentu, publik bisa saja menafsirkan bahwa cuitan tersebut merupakan dukungan Arab Saudi terhadap gerakan konservatif Indonesia dalam bentuk kelompok 212.
Jika dilihat dari kacamata soft power yang diungkapkan Dorsey, langkah untuk mendukung Reuni 212 boleh jadi tergolong rasional. Kelompok 212 dapat menjadi kelompok yang memberi dukungan pada ideologi konservatif yang menyokong kelompok Al Saud.
Apalagi, aktor-aktor yang memobilisasi gerakan tersebut juga diketahui pernah menerima pendidikan yang terafiliasi dengan Arab Saudi. Tokoh seperti Rizieq dan Zaitun sulit dihindarkan dari gelombang aksi tersebut. Selain itu, alumni Saudi yang lain, Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid juga hadir dan mendukung acara tersebut. Hal ini dapat meningkatkan kecurigaan beberapa pihak mengenai dukungan kerajaan tersebut terhadap reuni 212.
Pernyataan sikap PBNU terkait komentar dari Dubes Saudi untuk RI Osamah Al-Suaib.
Follow dan Subscribe:
Instagram: @nahdlatululama
Twitter: @nahdlatululama
YouTube: Nahdlatul Ulama pic.twitter.com/mfuGbB5a4f— Nahdlatul Ulama (@nahdlatululama) December 3, 2018
Memang, sejauh ini tidak ada bukti bahwa kegiatan di Monas beberapa waktu lalu tersebut didanai oleh negeri padang pasir. Akan tetapi, jika pola pendanaan yang disebut Dorsey benar, sulit bagi publik untuk tidak mempertanyakan soal aliran dana dari negeri petrodollar tersebut.
Secara khusus, sebagaimana digambarkan Dorsey, penanaman paham konservatif di berbagai belahan dunia adalah sebagai upaya untuk mempertahankan kekuasaan klan Al Saud. Hal ini terkait dengan resistensi dunia terhadap paham Wahabi yang menyokong rezim mereka. Di Indonesia, gagasan konservatif tersebut mendapat tentangan keras dari NU dan sayap mereka seperti Ansor dan Banser.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj misalnya pernah menyebut bahwa Indonesia dalam kondisi darurat Wahabi. Ia menyebut paham tersebut menjadi ancaman bagi identitas dan kebanggaan dan keberadaan NKRI. Kiai asal Cirebon itu menyebut bahwa paham Wahabi tengah mengembangkan sayapnya hingga ke desa-desa dan menyusup ke kampus-kampus ternama.
Cuitan Dubes Saudi terkait Reuni 212 bisa saja memiliki makna khusus. Share on XPada titik itu, NU bisa saja tergolong ke dalam kelompok yang bisa mencegah upaya soft power Arab Saudi di Indonesia melalui paham konservatif. Oleh karena itu, jika NU dianggap demikian, sebutan ‘organisasi sesat’ bisa saja bersumber dari kekhawatiran semacam ini.
Pada akhirnya, tidak mudah untuk mengurai pola hubungan antara Arab Saudi dengan Reuni 212. Akan tetapi, indikasi pendanaan Saudi kepada gerakan konservatif di dunia, membuat cuitan Osama bisa dimaknai beragam. Apalagi, cuitan tersebut keluar dari akun resmi sang dubes yang idealnya tak mengirim sesuatu secara sembarangan. Menarik untuk ditunggu fakta apa yang akan terungkap dari kasus ini nantinya. (H33)