Program Arab Saudi dilakukan dengan mendanai berbagai aktivitas yang dapat menarik masyarakat muslim di Indonesia terhadap gerakan-gerakan radikal. Program yang paling sering dilakukan adalah melalui jalur pendidikan.
PinterPolitik.com
“Those who say religion has nothing to do with politics do not know what religion is” – Mahatma Gandhi (1869-1948)
[dropcap size=big]T[/dropcap]umpang tindih antara agama dan politik sepertinya masih menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Persoalan tersebut bukan hanya terkait irisan atau persinggungan kepentingan di antara keduanya, tetapi terkait untuk apa pemimpin, politisi atau bahkan negara mengambil kebijakan tertentu. Seringkali agama menjadi tujuan sebuah kebijakan politik diambil, namun tidak jarang agama juga sekedar dipakai sebagai ‘alat’ untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu. Mungkin hal itulah yang dimaksudkan oleh Gandhi dalam kata-katanya di atas.
Dalam konteks Indonesia, hal tersebut sepertinya bisa dilihat dalam tulisan terbaru Stephen Kinzer – seorang jurnalis senior dan pengajar di Brown Univeristy, Amerika Serikat – tentang peran Arab Saudi dalam menciptakan ketidakstabilan politik internasional. Tulisan yang dipublikasikan di laman bostonglobe.com ini memuat studi kasus Kinzer atas situasi politik yang terjadi di Indonesia sekurang-kurangnya dalam 7 bulan terakhir. Tulisan ini tentu saja tidak bisa dianggap remeh, mengingat karya tersebut dipublikasikan oleh The Boston Globe, salah satu media terpecaya di Amerika Serikat yang pernah diakusisi oleh The New York Times.
Dalam tulisan yang berjudul ‘Saudi Arabia Destabilizing the World’, secara garis besar Kinzer menganalisis perubahan sosial-kemasyarakatan yang terjadi di Indonesia, khususnya pasca kasus penistaan agama yang menimpa Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Menurut Kinzer ada perubahan tersistematis yang terjadi pada karakteristik Islam Indonesia sebagai agama yang sinkretis (berpadu dengan budaya Indonesia), toleran, lembut dan berpikiran terbuka, menjadi Islam yang lebih fundamentalis, intoleran, dan menebarkan kebencian sektarian. Menurut Kinzer hal tersebut tidak terjadi secara alami, melainkan dilakukan secara terorganisir dan tersistematis.
Di Balik Radikalisme di Indonesia
Kinzer menunjuk Arab Saudi sebagai aktor negara yang sedang berusaha secara terang-terangan mengubah seluruh negara Indonesia menjadi sebuah negara Islam radikal – sering juga disebut sebagai puritanical Islam atau aliran pemurnian Islam, yang juga dikenal sebagai Salafisme (sering juga disebut sebagai Wahabisme). Upaya Arab Saudi ini mulai berdampak jika melihat situasi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara Islam yang sangat moderat, namun beberapa waktu belakangan menjadi sangat mudah terprovokasi oleh sentimen agama.
Program Arab Saudi tersebut dilakukan dengan mendanai berbagai aktivitas yang dapat menarik masyarakat muslim di Indonesia terhadap gerakan-gerakan radikal. Program yang paling sering dilakukan adalah melalui jalur pendidikan. Kinzer menunjuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) sebagai salah satu aktor di balik upaya radikalisasi tersebut. LIPIA – yang adalah lembaga pendidikan yang didirikan melalui bantuan dana dari Arab Saudi – disebut-sebut sering memberikan beasiswa dan biaya pendidikan gratis kepada pelajar yang dianggap mampu diarahkan untuk menyebarkan paham-paham Wahabi dan mempengaruhi masyarakat Indonesia.
Apa yang dikatakan oleh Kinzer ini sejalan dengan hasil penulusuran wartawan investigatif, Krithika Varagur yang salah satunya dipublikasikan di laman voanews.com. Dalam laporannya, Krithika menemukan bahwa banyak pelajar di LIPIA – yang seringkali berlatarbelakang keluarga miskin – diberikan biaya pendidikan gratis dan ditawarkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Arab Saudi. Di LIPIA inilah mazhab Salafisme Wahabi diajarkan dan disebarluaskan. Varagur juga menunjuk Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta sebagai religious attaché atau atase keagamaan yang menyalurkan semua pembiayaan berbagai aktivitas tersebut.
Varagur menyebut saat ini ‘alumni Saudi’ atau mereka yang pernah dibiayai oleh Arab Saudi mulai terlihat dan menduduki posisi-posisi penting, misalnya dalam posisi strategis di ormas Muhammadiyah, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menjadi Ustadz dan pengajar, bahkan ada juga yang duduk dalam kabinet di pemerintahan. Baik Kinzer maupun Varagur sama-sama menyebut bahwa banyak di antara orang-orang yang pernah dibiayai oleh Arab Saudi tersebut saat kembali ke Indonesia mendirikan organisasi radikal, bahkan tidak sedikit yang menebarkan teror. Sebut saja ormas macam Hamas Indonesia dan Front Pembela Islam (FPI). Pimpinan FPI, Rizieq Shihab yang saat ini sedang dijerat banyak kasus hukum adalah salah satu alumni Saudi. Ia pernah menempuh pendidikan di LIPIA dan pernah mendapat beasiswa untuk berkuliah di Arab Saudi.
Lebih lanjut, Kinzer menulis bahwa Arab Saudi melalui LIPIA memanfaatkan perbedaan strata ekonomi, khususnya bagi kaum muslim di daerah pinggiran, untuk menjaring orang-orang dari keluarga miskin dan ditawarkan penghidupan yang layak. Selain itu, Arab Saudi juga membiayai berbagai kegiatan dakwah dan pengajaran Wahabi di masyarakat. Terkait pendanaan tersebut, Ali Munhanif dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah – seperti dikutip dari bbc.com – mengatakan bahwa mulai dari tahun 70-an saat booming minyak sampai tahun 2002, Arab Saudi diperkirakan mengeluarkan 7 miliar dolar AS atau Rp93 triliun untuk negara-negara Islam miskin. Dana ini juga dipakai untuk dakwah Wahabi lewat lembaga keagamaan, masjid dan ormas, termasuk di Indonesia. Dana tersebut belum termasuk jumlah yang dibayarkan untuk beasiswa dan biaya pendidikan.
Pan Islam di bawah Arab Saudi
Lalu, apa tujuan utama Arab Saudi? Walaupun tidak dijelaskan secara panjang lebar, Kinzer menyinggung tujuan Arab Saudi yang ingin mendirikan sebuah Pan Islam, yakni sebuah gerakan yang ingin menyatukan seluruh umat Islam di dunia di bawah satu panji kepemimpinan anti-nasionalisme atau kekhilafahan. Arab Saudi sedang mencoba mengembalikan peradaban dunia Islam ke abad ke-7 atau di zaman khilafah awal. Saat ini ada 1,8 miliar penganut Islam di seluruh dunia, dan Arab Saudi sedang mencoba untuk membangun gerakan tersebut.
Ankit Panda – editor majalah The Diplomat – dalam sebuah tulisannya yang dimuat oleh Al Jazeera tentang kunjungan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz ke Indonesia beberapa waktu lalu, menyinggung tentang gerakan Pan Islam ini. Ia menyebut gerakan Pan Islam ini dimulai dengan membentuk multi-country Islamic Military Alliance. Aliansi militer ini disebut-sebut bertujuan untuk membendung ISIS dan Al-Qaeda. Namun, hal tersebut bagi beberapa pihak dianggap kurang masuk akal karena baik ISIS maupun Al-Qaeda disebut-sebut berafiliasi dengan Arab Saudi – hal yang bisa ditelusuri dari berbagai pendanaan dalam konflik-konflik di Timur Tengah. Aliansi militer ini lebih sering menjadi pasukan yang ikut terlibat dalam berbagai konflik domestik negara-negara di Timur Tengah.
Bahkan, faktanya Pan Islam ini sangat mirip dengan cita-cita khilafah ISIS atau bahkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kunjungan Raja Salman ke Asia Tenggara disebut-sebut menjadi bagian dari upaya Arab Saudi untuk mengajak Indonesia bergabung dalam aliansi militer ini. Hal ini menjadi masuk akal jika menilik belanja militer Arab Saudi belakangan semakin besar jumlahnya. Lihat saja kesepakatan militer antara Saudi dan Amerika Serikat saat kunjungan Presiden Trump ke Riyadh beberapa waktu lalu yang nilainya mencapai 350-an miliar dollar.
Tidak sedikit yang menilai bahwa gerakan ini adalah bagian dari upaya untuk menjamin keberlangsungan Wahabisme, termasuk juga mentransformasi dan melawan gerakan muslim sinkretis yang toleran di banyak negara Islam, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, bisa dipahami Arab Saudi menginginkan Indonesia yang 88 persen penduduknya beragama Islam untuk menjadi bagian dari gerakan pemurnian Islam atau Salafisme Wahabi tersebut.
Mengapa Indonesia Sulit Melawan?
Bagi Indonesia, fakta adanya agenda Arab Saudi yang diungkapkan oleh Kinzer dan Varagur ini tentu saja berbahaya. Indonesia dikenal luas sebagai negara Islam sinkretis yang toleran dan menghormati perbedaan. Negara ini juga mengakui keberadaan agama lain selain Islam dan hidup dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berasaskan Pancasila. Jika Islam di Indonesia berhasil diradikalisasi, maka kekacauan yang besar akan terjadi. Pada akhirnya kita masih akan terus berkutat dengan diri sendiri, berkutat dengan masalah perbedaan dan upaya menciptakan perdamaian di dalam negeri. Hal ini tentu akan sangat menghambat kemajuan ekonomi, pembangunan dan pemerataan kesejahteraan.
Pemerintah dan masyarakat Indonesia sebetulnya menyadari hal ini. Namun, keterikatan yang kuat dengan Arab Saudi sering menjadi kelemahan masyarakat Indonesia untuk mengkritisi agenda politik Arab Saudi. Ali Munhanif, dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah dalam keterangannya kepada bbc.com mengungkapkan hal tersebut.
“Banyak sekali ormas-ormas Islam di Indonesia yang memang terlanjur mempunyai political engagement dengan Arab Saudi melalui yayasan pendidikannya, lembaga pendidikannya dan sebagainya, yang saya kira memang itu menjadi kelemahan masyarakat kita, muslim, untuk bisa mengkritisi sejumlah agenda politik Saudi,” demikian tutur Ali.
Selain itu, ketergantungan Indonesia pada Arab Saudi sangat berkaitan dengan kuota Ibadah Haji. Arab Saudi memiliki posisi yang kuat karena di negara inilah umat muslim dari seluruh dunia menjalankan Ibadah Haji yang merupakan salah satu Rukun Islam. Oleh karena itu, jika saja Indonesia berani melawan atau bertindak lebih tegas, maka dampaknya akan sangat terasa pada pengurangan kuota haji. Saat ini Indonesia mempunyai jatah kuota haji sebesar 221.000 orang per tahun. Seringkali fakta bahwa Tanah Suci umat Islam ada di negaranya membuat Arab Saudi menjadi kuat secara politik, khususnya di antara negara-negara Islam.
Teror dalam Skala Global?
Kinzer menyebut apa yang dilakukan oleh Arab Saudi ini sebagai upaya untuk menciptakan teror dalam skala global. Kinzer juga meminta Amerika Serikat untuk tidak ‘cuci tangan’ dalam masalah ini. Faktanya, ISIS dan Al Qaeda adalah dua organisasi yang awalnya dibentuk dan didanai Amerika Serikat, dan saat ini keduanya menjadi ancaman teror bagi dunia. Jika mengikuti pola yang sama, agenda Arab Saudi ini boleh jadi akan berubah menjadi gerakan teror dalam skala global. Bagaimana pun juga, Wahabisme sangat identik dengan anti-nasionalisme, anti-perbedaan, dan anti-demokrasi.
Sikap Amerika Serikat yang cenderung hanya ‘memanfaatkan’ situasi tersebut untuk keuntungan ekonomi juga sering dikritik. Politik ‘Islamophobia’ yang dijalankan oleh Donald Trump memiliki banyak wajah, cenderung dramaturgis (beda di depan, beda di belakang), dan seringkali mendatangkan akibat yang buruk di banyak negara lain.
Terlepas dari kata-kata Ahok yang menistakan agama, momentum gerakan melawan Ahok merupakan salah contoh gerakan yang ditunggangi dan dipayungi oleh Arab Saudi. Gerakan tersebut menjadi pintu masuk bagi semakin kerasnya perjuangan untuk mengubah citra moderat Indonesia. Arab Saudi sendiri begitu memperhatikan situasi yang terjadi di Indonesia. Bahkan, kemenangan Anies-Sandi menjadi hal yang disyukuri di Arab Saudi.
Lalu, apakah cita-cita Arab Saudi akan mungkin terwujud? Pasca Pilkada Jakarta, ormas-ormas Islam Indonesia sepertinya mulai ‘terbangun’. NU misalnya mulai semakin merapatkan barisan – hal yang bisa dilihat dalam kasus Pilkada di Jawa Timur. Pemerintah juga mulai tegas terhadap ormas-ormas yang anti-Pancasila dan anti-Bhineka Tunggal Ika. Pesan-pesan damai juga semakin sering disiarkan. Oleh karena itu, masih terlalu jauh untuk Arab Saudi bisa sepenuhnya mengubah negara ini.
Namun, momentumnya akan berbeda kalau faksi yang mendukung agenda Saudi memenangkan Pemilihan Presiden di tahun 2019 nanti. Maka, jangan heran kalau saat ini kampanye dan serangan sudah mulai dilakukan, bahkan syiarnya tidak sedikit yang menggunakan corong-corong dalam ceramah di Masjid. Memang masih butuh kajian mendalam lagi untuk hal tersebut.
Bagi masyarakat Indonesia yang memandang Arab Saudi sebagai patokan utama agama Islam, fakta-fakta tersebut tentu membuat syok. Namun, sebagai masyarakat yang cinta damai, perlu bagi kita untuk melihat dengan lebih terbuka, karena seperti kata Gandhi di awal tulisan ini: orang-orang yang mengatakan agama tidak punya hubungan dengan politik, sesungguhnya tidak paham tentang agama. (S13)