Berbagai ketua umum partai politik ingin maju di Pilpres 2024. Ada Airlangga Hartarto dari Partai Golkar, Muhaimin Iskandar dari PKB, dan Prabowo Subianto dari Partai Gerindra. Pertanyaannya, sebagai partai yang memegang suara besar, kenapa Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh tidak berkeinginan maju di Pilpres 2024?
“A dose of humility goes a long way in life and in politics.” – Ron Fournier
Dapat dikatakan Partai NasDem adalah salah satu partai yang paling menarik diikuti manuver-manuvernya, salah satunya adalah wacana konvensi capres 2024. Seperti yang dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Strategi Cerdik Nasdem di 2024?, wacana konvensi dari NasDem adalah angin segar dalam perpolitikan Indonesia.
Dengan karakter partai politik di Indonesia yang tidak bersifat bottom-up seperti disebutkan Jeffrey Winters dalam tulisannya Oligarchy Dominates Indonesia’s Elections, konvensi capres dapat dikatakan sebagai antitesis atas sifat khas tersebut.
Dengan konvensi, tanpa perlu didikte oleh ketua umum partai, berbagai sosok potensial akan berkompetisi membuktikan siapa yang paling layak diusung sebagai capres. Namun, wacana bagus itu gugur karena berbagai partai yang diajak NasDem justru ingin mengusung ketua umumnya masing-masing.
Ya, seperti yang kita lihat, berbagai partai ingin mengusung ketua umumnya. Mulai dari Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, hingga yang terbaru Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra.
Tentu tidak ketinggalan nama Puan Maharani yang sampai saat ini menjadi opsi nomor satu PDIP di Pilpres 2024.
Yang menarik adalah, Partai NasDem yang menempati posisi kelima dengan perolehan 12.661.792 suara (9,05 persen), justru tidak mencalonkan ketua umumnya, Surya Paloh. Tidak hanya memiliki suara yang besar, Partai NasDem juga merupakan salah satu partai dengan kekuatan kapital terbesar.
Tentu pertanyaannya, kenapa Surya Paloh tidak menunjukkan keinginan maju di Pilpres 2024?
Kerendahan Hati Politik?
Ada dua alasan yang dapat ditarik untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, besar kemungkinan Surya Paloh memiliki political humility atau kerendahan hati politik. Istilah itu penulis adopsi dari konsep intellectual humility (kerendahan hati intelektual) dalam psikologi.
Javier Zarracina dalam tulisannya Intellectual Humility: The Importance of Knowing You Might Be Wrong, menjelaskan sikap intellectual humility mendorong pemikiran manusia untuk terbuka dalam mengambil pembelajaran dari pengalaman orang lain. Hal ini sekaligus dapat membuat seseorang mampu mengenali kelemahannya sendiri.
Intellectual humility membuat seseorang mau mendengarkan pandangan yang berlawanan. Mereka menjadi lebih mudah memperhatikan bukti dan memiliki kesadaran diri yang lebih kuat saat menjawab pertanyaan dengan tidak benar.
Dari pengertian itu, kita dapat menyebutkan bahwa political humility adalah sikap kerendahan hati seorang politisi dalam menilai kekuatan dan kelemahannya. Dengan demikian, jika benar Surya Paloh memiliki political humility, tentu Ketua Umum Partai NasDem ini sadar dirinya tidak memiliki peluang besar untuk memenangkan gelaran pilpres.
Kesadaran atas kelemahan diri ini juga telah lama diwanti-wanti Sun Tzu dalam bukunya The Art of War pada 500 SM. Dalam nasihat Sun Tzu yang paling banyak dikutip, disebutkan: “Jika mengenali diri dan musuh, maka 100 pertempuran akan menghasilkan 100 kemenangan.”
Ada sebuah penjelasan sederhana atas nasihat itu. Dalam pandangan Sun Tzu, perang hanya boleh dilakukan jika potensi menang sangat besar. Sebaliknya, jika potensinya kecil perang tidak boleh dilakukan. Singkatnya, tidak mungkin kita akan kalah jika tidak terjun ke peperangan.
Untuk mengukur potensi kemenangan, mutlak diperlukan data, informasi, dan kesadaran atas kekuatan diri dan musuh. Dapat dikatakan, secara tersirat nasihat Sun Tzu mewajibkan memiliki political humility.
Sebagai politisi dan pebisnis handal, Surya Paloh tentu selalu berhitung atas langkah-langkah politiknya. Mungkin dalam hitungannya, untuk apa menghabiskan biaya yang besar untuk maju di Pilpres 2024 jika berujung pada kekalahan.
Direktur IndoStrategi Research and Consulting Arif Nurul Imam juga memiliki pandangan serupa. “Surya Paloh akan realistis, sehingga akan tetap menjadi king maker,” ungkapnya pada 2 Juni 2022.
Ketiadaan niatan untuk maju di Pilpres 2024 juga terlihat dari nama Surya Paloh yang tidak masuk dalam survei kandidat pilpres. Konteks ini sangat kontras dengan kasus AHY, Airlangga, Cak Imin, dan Prabowo yang menjadi langganan survei.
Tidak Harus Nyapres?
Sekarang kita lanjut ke alasan kedua. Mengulang pernyataan Arif Nurul Imam, sama seperti dua gelaran pilpres sebelumnya, Surya Paloh akan tetap menjadi king maker di Pilpres 2024. Dalam hemat penulis, ada satu alasan kuat atas simpulan ini, yakni Surya Paloh merupakan politisi pemikir tipe pemain catur.
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Giring dan PSI Hanya Bidak Politik?, telah dijelaskan bahwa alam berpikir politisi terbagi ke dalam dua jenis. Pertama adalah politisi pemikir yang kita sebut sebagai the thinker. Politisi jenis ini jumlahnya sedikit. Mereka bertugas merancang strategi dan operasi yang diperlukan.
Politisi pemikir memiliki dua tipe, yakni politisi pemain catur dan politisi pemain kartu. Politisi pemikir pemain catur memiliki satu kepribadian khas, mereka membayangkan dirinya seperti Kaisar Romawi. Seperti halnya bermain catur yang tidak langsung melakukan checkmate, politisi pemain catur tidak langsung menyasar target utama.
Sebelumnya, mereka akan menjalankan pion, benteng, peluncur, dan berbagai bidak lainnya. Setelah berbagai bidak saling mengikat dan/atau memakan musuh, baru kemudian checkmate dilakukan.
Sementara, politisi pemikir pemain kartu tidak menjalankan strategi serumit dan sekompleks pemain catur. Seperti bermain kartu, jika kebetulan mendapatkan kartu yang bagus, mereka akan langsung melakukan serangan pamungkas.
Namun, untuk menghindari kartu atau serangan yang bisa membahayakan, politisi pemain kartu biasanya melakukan berbagai trik pembongkar (gertakan) untuk memetakan kartu atau strategi lawan.
Kedua adalah politisi operator. Politisi jenis ini jumlahnya sangat banyak dan paling sering kita temui. Mereka bukan perakit strategi, melainkan menjadi bidak atau kartu yang dimainkan dalam menjalankan strategi atau operasi politik.
Nah, jika benar Surya Paloh adalah politisi pemikir tipe pemain catur, maka Ketua Umum Partai NasDem ini merupakan penarik tali atau string-pullers. Dennis R. Young dalam tulisannya Puppet Leadership: An Essay in honor of Gabor Hegyesi, menjelaskan string-pullers merupakan pihak yang memiliki kontrol atau pengaruh terhadap keputusan pejabat pemerintahan.
Dengan kata lain, untuk apa Surya Paloh susah-susah nyapres jika tetap bisa memiliki pengaruh atas presiden terpilih sebagai king maker.
Terkait hal ini, kita tentu ingat atas ancaman pemakzulan Surya Paloh kepada Presiden Jokowi agar tidak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) pada 2019 lalu.
Dengan tidak keluarnya Perppu, suka atau tidak, itu menunjukkan Surya Paloh memiliki daya tawar atau pengaruh terhadap keputusan Presiden Jokowi.
Sebagai penutup, kita dapat merangkum dua kesimpulan atau mungkin tepatnya kemungkinan, kenapa Surya Paloh tidak nyapres seperti ketua umum partai politik lainnya. Pertama, mantan politisi Partai Golkar ini memiliki political humility atau kerendahan hati politik. Kedua, Surya Paloh tetap dapat berpengaruh tanpa perlu menjadi presiden atau pun wakil presiden. (R53)