HomeHeadlineApakah Putin Bisa Dikudeta?

Apakah Putin Bisa Dikudeta?

Serangan Rusia ke Ukraina yang telah berlangsung lama membuat sejumlah orang yakin Rusia mengalami kerugian besar, terlebih lagi mereka pun harus menanggung sanksi ekonomi. Muncullah kemudian narasi Putin akan dilengserkan oleh kalangan elite Rusia. Apakah memang sang pemimpin Negeri Beruang Putih ini bisa dikudeta dengan mudah? 


PinterPolitik.com 

Serangan militer Rusia ke Ukraina yang diperintahkan Presiden Vladimir Putin tampaknya tidak hanya tuai kritik dari masyarakat internasional, tetapi juga dari masyarakat Rusia sendiri.  

Menurut laporan dari BBC, sejak awal serangan pada 24 Februari lalu, lebih dari 10.000 pengunjuk rasa anti-perang di Rusia sudah tertangkap. Demi meredam menyebarnya protes di masyarakat, Putin bahkan dikabarkan telah memerintahkan media sosial seperti Facebook dan Twitter untuk diblokir. 

Keresahan yang muncul pun tidak hanya dari kalangan sipil. Beberapa media pemberitaan juga mengatakan sejumlah kalangan elite di Rusia mulai tidak suka dengan apa yang dilakukan Putin. 

Well, tidak heran bila mulai banyak yang memprotes Putin. Dari segi ekonomi, operasi militer yang berlangsung lebih dari dua minggu ini telah menghabiskan dana yang cukup banyak. Sebuah studi yang dilakukan lembaga konsultan asal Estonia, CIVITTA, menyebutkan Rusia setidaknya menghabiskan US$20-25 miliar per hari. 

Kerugian itu belum ditambah dengan dampak dari sanksi ekonomi yang dijatuhkan sejumlah negara, yang saat ini mulai mengganggu kehidupan sehari-sehari warga Rusia, seperti kabar tentang sulitnya mengambil uang tunai di Rusia. 

Di tengah keresahan-keresahan ini, muncullah berita tentang upaya untuk melengserkan kepresidenan Putin. Mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia sendiri, yakni Andrei Kozyrev menjadi salah satu yang menduga akan terjadi aksi pelengseran.  

Belajar dari Kepemimpinan Joseph Stalin dan Nikita Khruschev pada masa Uni Soviet, Kozyrev menilai keterpurukan negara akibat konflik bisa menjadi motivasi kuat untuk menjatuhkan pemimpin yang diktator seperti Putin. 

Terakhir, sejumlah media bahkan mengabarkan bahwa intelijen Kementerian Pertahanan Ukraina mendapat informasi bahwa ada rencana di kalangan elite Rusia untuk membunuh Putin. Tidak hanya itu, mereka juga mendapatkan nama yang digadang-gadang akan menggantikan Putin jika ia lengser, yaitu Alexander Bortkinov, Direktur Layanan Keamanan Federal (FSB). 

Oleh karena itu, pantas bila kita bertanya, mungkinkah Putin dilengserkan? 

Putin Terlalu Kuat? 

Pertama-tama, perlu dipahami bersama bahwa keresahan yang muncul di masyarakat maupun kalangan elite tidak cukup menjadi argumen yang kuat untuk mengatakan Putin akan segera dilengserkan.  

Jika ingin mengetahui seberapa besar kesempatan Putin dilengserkan, pertama kita perlu menelaah landasan hukumnya di Rusia. Berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) Rusia Bab 4 tentang Presiden Federasi Rusia, di dalam Pasal 93 ayat 1 dijelaskan bahwa Presiden Rusia hanya bisa dilengserkan oleh Dewan Federasi jika ia terbukti melakukan “pengkhianatan tingkat tinggi atau kejahatan berat lainnya”. 

Sesuai prosedurnya, mosi pelengseran perlu diajukan terlebih dahulu oleh DPR-nya Rusia, yakni Duma, dan harus memenuhi batas ambang suara setidaknya dua per tiga total anggota Duma. Setelah itu, baru dikonfirmasi oleh kesimpulan Mahkamah Agung Federasi Rusia tentang adanya unsur-unsur kejahatan dalam tindakan Presiden Rusia. 

Baca juga :  Menguji "Otot Politik" Andika Perkasa

Dari indikator yang pertama ini saja bisa dikatakan sangat sulit untuk melengserkan Putin sesuai konstitusi. Hal ini karena di dalam Duma, partai Rusia Bersatu, yang merupakan partai Putin, memegang 335 dari 450 kursi Duma, atau sekitar 74,44 persen. Sementara itu, diperlukan sekitar 66 persen suara untuk meloloskan mosi pelengseran Presiden ke Mahkamah Agung Federasi Rusia. 

Ditambah lagi pengaruh kekuatan Putin yang kuat dugaannya bersifat lintas-partai. Jurnalis senior media Washington Examiner yang lama bertugas di Moskow, Christopher Tremoglie, bahkan mengatakan bahwa Putin memiliki sekutu di seluruh penjuru parlemen Rusia. Oleh karena itu, pelengseran Putin sesuai konstitusi Rusia adalah suatu hal yang tidak bisa diharapkan dapat terjadi dengan mudah. 

Tentu, konstitusi bukan satu-satunya jalan untuk melengserkan seorang pemimpin. Naunihal Singh dalam bukunya Seizing Power, mengatakan bahwa keterlibatan suatu negara dalam konflik bersenjata dan dampak ekonominya yang merugikan telah meningkatkan kemungkinan terjadinya kudeta militer. Namun, syaratnya adalah militer negara tersebut perlu memiliki kesatuan suara yang kuat. 

Hal ini karena kudeta militer sesungguhnya memiliki satu prinsip utama, yakni meminimalisir terjadinya pertumpahan darah sebisa mungkin, demi menghindari perpecahan yang destruktif jika masih banyak petinggi militer yang tidak suka pemimpinnya dikudeta.  

Oleh karena itu, Singh mengatakan, jenderal militer yang tidak suka dengan pemimpinnya akan melakukan koordinasi dengan beberapa petinggi lembaga keamanan di negaranya, terutama dengan badan-badan keamanan di ibu kota. 

Masalahnya adalah, sangat sulit untuk melakukan koordinasi pemberontakan antara para petinggi militer karena Rusia adalah negara yang memiliki berbagai badan keamanan terpisah, yang memantau satu sama lain, seperti FSB, GRU, dan SVR. Selain itu, keamanan di ibu kota Moskow juga ditangani oleh badan keamanan yang terpisah dari militer, yaitu Rosgvardiya, yang bertindak layaknya garda nasional. 

Sebagai cherry on top, Rosgvardiya ini dipimpin oleh Viktor Zolotov, orang yang dikenal sebagai salah satu loyalis Putin.  

Dengan demikian, jika memang pihak militer merasa serangan Rusia ke Ukraina telah merugikan mereka, lalu ingin melengserkan Putin, maka mereka harus berhadapan dengan ‘garda pribadi’ Putin di Moskow. Itu pun bila koordinasi mereka tidak terdeteksi terlebih dahulu oleh berbagai lembaga intelijen Rusia yang tertanam di kalangan militer. 

Sebab itu, apa yang telah dilakukan Putin di Rusia sesungguhnya mencerminkan apa yang disebut sebagai coup-proofing. James T. Quinlivan dalam tulisannya Coup-Proofing: Its Practice and Consequences in the Middle East, mengatakan bahwa seorang diktator modern bisa cenderung kebal dikudeta bila mendelegasikan kekuatan politik yang dimiliki militernya ke berbagai badan keamanan. 

Diktator itu akan semakin kebal jika diperkuat dengan penempatan orang-orang kepercayaan di badan-badan keamanannya. Hal-hal ini persis apa yang dilakukan oleh Putin di Rusia. 

Baca juga :  Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Bagaimana dengan komponen masyarakat? Well, Putin sepertinya sudah mengantisipasi ini juga. Di masa lampau, semangat revolusi bisa dengan cepat menyebar karena media belum bisa dikendalikan sepenuhnya oleh negara, tetapi saat ini tidak demikian.  

Dengan menutup outlet media independen dan membatasi akses ke Facebook, Twitter, dan Instagram, Putin telah belajar bahwa di era modern ini peran media sangat krusial dalam membatasi ide-ide radikal di masyarakat. 

Berdasarkan hal-hal ini, bisa disimpulkan bahwa meski kemungkinan pelengseran dan kudeta itu ada dan bisa dilakukan, sulit untuk membayangkan Putin akan benar-benar dilengserkan. Hal ini karena sistem yang dibuat Putin di Rusia memang didesain sedemikian mungkin agar pemberontakan bisa diminimalisir, kemudian ditambah juga oleh kekuatan politik Putin yang memang masih kuat. 

Kendati sulit dibayangkan, namun menarik untuk dibahas, kira-kira apa yang terjadi bila Putin tetap dikudeta?  

Tidak Merubah Apapun? 

Filsuf Amerika Serikat (AS) Noam Chomsky dalam wawancaranya dengan organisasi berita Truthout, dalam artikel yang berjudul Chomsky: Peace Talks in Ukraine “Will Get Nowhere” If US Keeps Refusing to Join, menyampaikan pernyataan yang cukup menarik. Chomsky menilai, meski bisa saja konflik Ukraina berdampak pada pelengseran Putin, maka dampaknya bisa diprediksi akan lebih parah pada Rusia. 

Pertama, Chomsky menilai tidak ada jaminannya orang yang menggantikan Putin akan jadi pemimpin yang lebih baik. Terlebih lagi, konflik Ukraina adalah permasalahan yang tidak sebatas terjadi pada Putin saja, tetapi juga pada Rusia yang memiliki riwayat panjang ketika masih menjadi bagian Uni Soviet. Apa yang telah dibangun Putin dalam hubungannya dengan Ukraina selama 20 tahun lebih akan sia-sia 

Kedua, bagi Rusia sendiri, jika Putin dikudeta secara militer, maka itu tidak akan merubah apapun. John R. Deni dalam artikelnya Would a Russian Coup Solve Anything? menilai bahwa siapa pun yang menggantikan Putin, mereka akan tetap berhadapan dengan masalah yang sama. Sebagai negara yang secara alamiah berbatasan dengan kubu Barat, seorang pemimpin Rusia memang dituntut untuk terus berkonflik dengan negara seperti AS. 

Sesuai sejarahnya, menurut Deni, politik domestik di Rusia telah membuat para politisinya mencapai keberhasilan politik yang lebih besar dengan memposisikan diri sebagai sosok yang akan berdiri kuat dari terpaan pengaruh negara Barat, daripada mereka yang mempromosikan kerja sama dan integrasi. 

Deni mencontohkan apa yang dilakukan Presiden Boris Yeltsin pada tahun 1993, ketika Rusia membutuhkan bantuan ekonomi. Saat itu, Yeltsin disebut memperingatkan Presiden Bill Clinton untuk tidak memberikan terlalu banyak bantuan, karena oposisi politik konservatif domestik Yeltsin akan mengklaim bahwa Rusia telah menjadi bawahan Amerika Serikat.  

Dengan begitu, bisa disimpulkan bahwa meski Putin pada akhirnya memang dijatuhkan, maka sesungguhnya itu adalah tindakan yang sia-sia, karena politik mereka memang terdesain untuk menciptakan sosok pemimpin yang dapat menjadi oposisi dari Barat. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?