Site icon PinterPolitik.com

Apakah NU Penentu Pilpres?

Apakah NU Penentu Pilpres?

Foto: Kompas.com

Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) selalu didekati oleh partai-partai politik untuk mendapatkan dukungan suara. Namun, apakah benar suara NU sebesar itu? Apakah nahdliyin atau warga NU merupakan kunci kemenangan Pilpres?


PinterPolitik.com

“Numbers constitute the only universal language.” — Nathanael West, penulis Amerika Serikat

Sebenarnya ini adalah diskursus lama, tapi bukti terbarunya dapat kita lihat pada kontestasi Pilpres 2019. Saat itu, Nahdlatul Ulama (NU) benar-benar tampil begitu seksi. Organisasi Islam terbesar di Indonesia itu menjadi magnet para politisi dan partai politik. Bahkan sempat ada desas-desus, jika Joko Widodo (Jokowi) tidak memilih wakil dari kader NU, maka dukungan NU akan ditarik. Suka atau tidak, itu menunjukkan betapa tingginya daya tawar NU di kancah perpolitikan nasional.

Seolah semakin mempertegas, Muktamar ke-34 NU juga menunjukkan signifikansi tersebut. Betapa tidak, pemilihan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang merupakan urusan internal justru terlihat seperti kontestasi pemilu. Nama para kandidat secara berkala keluar di media dan dikomentari oleh para pengamat.

Seperti yang disebutkan Ketum PBNU terpilih Yahya Cholil Staquf, “Banyak disebut hasil survei seluruh warga NU atau mereka yang mengaku NU itu separuhnya Muslim di Indonesia”. Dengan jumlah penduduk Muslim sebesar 231,06 juta, maka warga NU kira-kira berjumlah 115,53 juta. Ini jelas merupakan angka fantastis, dan sekaligus menjelaskan begitu seksi dan tingginya posisi politik NU. 

Mengacu pada demokrasi yang berasal dari Bahasa Yunani demos yang berarti rakyat, ini berkonsekuensi menempatkan populasi sebagai variabel utama dalam pergulatan politik. Tidak heran kemudian beredar asumsi bahwa NU merupakan kunci kemenangan Pilpres. Kandidat capres/cawapres yang mendapat suara NU disebut akan menjadi pemenang dan duduk di kursi empuk Istana. 

Namun, dengan fakta tidak pernah ada Presiden dari NU yang terpilih melalui pemilu langsung, berbagai pihak kemudian menaruh tanda tanya, benarkah massa NU sebesar yang disebutkan selama ini?

Menghitung Massa

Sebelum membedah, sekiranya sangat bijak untuk membaca tulisan Ismar Volic yang berjudul The Missing Ingredient in Our Democracy: Math. Menurutnya, matematika sangat penting dalam pengambilan keputusan politik, karena tebaran statistik menyesatkan, metrik palsu, dan angka yang dikondisikan, terjadi karena ketidakmampuan masyarakat dan politisi dalam meneliti dan membedakan antara matematika yang buruk dan yang baik.

Lanjut Volic, dalam membaca angka-angka, politisi sering kali menggunakan emosi daripada penalaran yang cermat. Ketika melihat statistik yang tinggi, dengan cepat akan disambut sebagai sinyal baik. Padahal, jika dianalisis lebih dalam, statistik yang tinggi tersebut belum tentu seperti yang diyakini.

Nasihat Volic tersebut dapat kita gunakan dalam membedah asumsi terkait besarnya jumlah warga NU. Seperti pernyataan Gus Yahya, mereka yang mengaku NU mungkin separuh dari jumlah Muslim di Indonesia. Namun pertanyaannya, apakah itu warga NU atau mereka yang hanya sekadar suka atau sejalan dengan pandangan NU?

Relevansi pertanyaan tersebut terlihat dari pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD dalam acara Indonesia Lawyers Club pada 14 Agustus 2018. Kala itu, Mahfud memberikan kesaksian setelah batal dipilih sebagai pendamping Jokowi di Pilpres 2019 karena disebut bukan kader NU.

Yang menarik dari pernyataan Mahfud adalah, jika yang disebut kader NU adalah mereka yang ikut kepengurusan dari ranting, cabang, dan seterusnya, mungkin yang tergolong kader NU di seluruh Indonesia tidak mencapai 1 juta. Pernyataan ini kemudian melahirkan pembelahan antara NU kultural dan NU struktural. 

Bertolak dari pernyataan Mahfud, pernyataan Gus Yahya sekiranya jelas tidak merujuk pada NU struktural, melainkan NU kultural, atau bahkan mereka yang hanya mengaku sebagai warga NU.

Jika yang dimaksud Gus Yahya hanya simpatisan, maka angka 115,53 juta yang disebutkan sebelumnya tidak dapat dikatakan valid dalam konteks suara politik. Simpulan ini dapat ditarik apabila kita membaca buku Amartya Sen yang berjudul Kekerasan dan Identitas. Menurut Sen, identitas itu tidak tunggal dan tetap, melainkan dinamis, dapat ganda, dan bahkan berubah-ubah.

Contoh sederhananya, Anda yang sedang membaca tulisan ini mungkin adalah seorang mahasiswa yang setuju dengan dakwah NU dan setuju pula dengan dakwah Muhammadiyah. Anda mungkin setuju NU karena suka dengan pembangunan pondok pesantren (ponpes). Sementara kesukaan dengan Muhammadiyah mungkin karena fokus mereka pada pendidikan, seperti membangun universitas.

Jika ditanya, apakah Anda simpatisan NU atau Muhammadiyah, apa yang akan Anda jawab? Apakah menjawab salah satu, apakah keduanya, atau justru juga merupakan simpatisan kelompok lain? Mungkin Anda sedikit bingung dalam menjawab pertanyaan ini.

Sekarang mari kita bertolak pada konsep one man, one vote dalam pemilu. Terlepas dari apa pun jawaban yang Anda keluarkan, suara Anda hanya akan bernilai satu. Kemudian pertanyaan terpentingnya, berapa kemungkinan ratusan juta simpatisan tersebut akan memilih identitas sebagai kader NU ketika menggunakan hak suaranya? Mungkin hanya sepertinya, bahkan kurang.  

Terlebih lagi, seperti yang diungkapkan oleh Mahfud MD, sejak dulu warga NU dibebaskan dalam memilih partai politik maupun kandidat pilihannya. Artinya apa? Dalam konteks politik, warga NU memposisikan dirinya sebagai warga negara rasional yang memiliki kehendak bebas untuk memilih. 

Mengubah Arah Pandang

Jika analisis tersebut tepat, maka ada satu kesimpulan menarik, yakni pengaruh Ketum PBNU pada dasarnya tidak sebesar yang dibayangkan banyak orang. Terlebih lagi, mengacu pada budaya warga NU di daerah, mereka lebih mendengar para kiainya masing-masing daripada arahan kepengurusan pusat. Dengan demikian, pendekatan bukan kepada PBNU, melainkan di kiai-kiai daerah yang memiliki santri dan menjadi tetua di tengah masyarakat.

Simpulan ini persis seperti yang disebutkan Asisten Direktur di Institute for Pure and Applied Mathematics, Stacey Beggs, bahwa matematika telah mengubah cara kampanye politisi. Dengan kalkulasi yang lebih cermat, mudah menyimpulkan bahwa simpul-simpul suara berada pada pesantren-pesantren NU di daerah, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seperti kutipan pernyataan Nathanael West di awal tulisan, angka merupakan satu-satunya bahasa universal.

Dengan demikian, kita dapat menarik dua kesimpulan. Pertama, asumsi suara NU adalah kunci kemenangan Pilpres tampaknya perlu direnungkan kembali karena simpatisan NU tidak terpolarisasi secara kental. Mereka bersifat cair dan tidak mengikuti komando pusat. Artinya, mereka berpotensi sebagai swing voters.

Kedua, dalam konteks one man, one vote dalam pemilu, yang dapat kita sebut sebagai suara NU adalah mereka yang tergolong dalam NU struktural dan pesantren-pesantren NU. Alasannya sederhana, karena NU struktural umumnya akan mengikuti komando pemimpin kepengurusan. 

Kemudian terkait pesantren-pesantren NU, ini disebut sebagai target suara yang mudah diidentifikasi. Dan terbukti, jika melakukan pendekatan yang tepat, sebuah partai politik tidak harus berlatar NU untuk mendapat dukungan. Ini misalnya dilakukan oleh PAN, khususnya PAN Jawa Timur, yang berhasil mendapat dukungan dari Ponpes Amanatul Ummah asuhan Kiai Asep Saifuddin Chalim. Ponpes yang berlokasi di Mojokerto, Jawa Timur tersebut merupakan pondok NU. 

“Pondok kami terbuka untuk kegiatan-kegiatan yang memikirkan agenda kebangsaan. Saya siap membantu dan memfasilitasi, termasuk kegiatan-kegiatan PAN, bahkan kalau perlu kami biayai. Di sini banyak aula, ruangan dan lainnya,” ungkap Kiai Asep Saifuddin Chalim pada 10 Desember 2021.

Dukungan ini tentu terbilang menarik karena pemilih tradisional PAN telah lama diketahui dari Muhammadiyah. Manuver PAN tersebut telah dibahas rinci dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Kenapa PAN Nekat Incar Jawa Timur?.

Sebagai penutup, perlu untuk digarisbawahi, tulisan ini tidak bermaksud untuk mengatakan jumlah kader NU sedikit, melainkan menguji secara teoretis, sejauh mana massa NU yang besar dapat terkonversi ke dalam suara pemilu. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version