Site icon PinterPolitik.com

Apakah Muhammadiyah Kunci Suara PAN?

Apakah Muhammadiyah Kunci Suara PAN?

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir (kiri) menerima kunjungan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kanan) pada 14 Juni 2021 (Foto: Muhammadiyah)

Telah lama Muhammadiyah disebut sebagai lumbung suara Partai Amanat Nasional (PAN). Berbagai tokoh senior Muhammadiyah seperti Amien Rais juga bagian pergerakan mesin partai. Namun, benarkah Muhammadiyah merupakan kunci suara PAN di pemilihan legislatif?


PinterPolitik.com

Partai Amanat Nasional (PAN) memiliki sejarah dan ikatan emosi yang panjang dengan Muhammadiyah. Sebagaimana yang tertulis di situs resmi PAN, berdirinya PAN tidak terlepas dari sosok Amien Rais yang merupakan Ketua Umum Muhammadiyah saat itu. Setelah rezim Soeharto tumbang, Amien dan 49 rekannya yang tergabung dalam Majelis Amanat Rakyat (MARA) merasa perlu mendirikan partai politik baru.

Pada awalnya, disepakati nama Partai Amanat Bangsa (PAB), namun kemudian berubah menjadi Partai Amanat Nasional (PAN) pada pertemuan tanggal 5-6 Agustus 1998 di Bogor. PAN didirikan oleh 50 tokoh nasional, di antaranya Amien Rais, Faisal Basri, M. Hatta Rajasa, Goenawan Mohammad, Rizal Ramli, Abdillah Toha, Albert Hasibuan, Toety Heraty, Emil Salim, A.M. Fatwa, Zoemrotin, dan Alvin Lie Ling Piao.

Meskipun dideklarasikan pada 23 Agustus 1998 di Istora Senayan Jakarta, pengesahan pendirian PAN baru terjadi pada 27 Agustus 2003 berdasarkan pengesahan Depkeh HAM No. M-20.UM.06.08.

Sampai saat ini hubungan PAN dan Muhammadiyah terus terjalin hangat, saling menjaga hubungan, dan tampaknya akan terus demikian. Ini misalnya terlihat jelas dalam pernyataan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan pada 14 Juni 2021 yang menyebut Muhammadiyah adalah orang tua yang melahirkan PAN. Ditegaskan pula, PAN selalu berkomitmen memperjuangkan aspirasi Muhammadiyah dalam politik, terutama di parlemen.

Menimbang ini adalah politik, tentu konteks menjaga hubungan tersebut bukan hanya perkara aspek historis ataupun kedekatan emosional, melainkan memiliki kalkulasi lain. Dengan fakta Muhammadiyah adalah ormas terbesar kedua di Indonesia, mudah menyimpulkan betapa signifikannya hubungan tersebut dalam aspek politik. 

Dengan jumlah kader yang mencapai puluhan juta, benarkah Muhammadiyah merupakan kunci perolehan suara PAN di pemilihan legislatif (Pileg)?

Melihat Data 

Pertama, kita perlu mengetahui data yang paling presisi terkait jumlah anggota Muhammadiyah, atau setidaknya mereka yang mengaku terafiliasi Muhammadiyah. Terkait ini, ada berbagai klaim data. Ada yang menyebut jumlahnya 50-60 juta, namun dalam estimasi Alvara Research Center, jumlah penduduk Muslim yang mengaku terafiliasi Muhammadiyah berjumlah 22,46 juta. Kita akan menggunakan data dari Alvara Research Center.

Dari data tersebut lahir pertanyaan, jika  benar Muhammadiyah adalah kunci perolehan suara PAN, dengan jumlah 22,46 juta, mengapa PAN hanya menjadi partai tengah? Di Pileg 2019, misalnya, PAN hanya memperoleh 9.572.623 suara (6,84 persen). Jumlah ini hanya bertambah 91.002 suara dari Pileg 2014 – PAN memperoleh 9.481.621 suara.

Sekarang kita akan melakukan interpretasi data lebih mendalam. Seperti pernyataan Bernardita Calzon dalam tulisannya A Guide to the Methods, Benefits & Problems of the Interpretation of Data, interpretasi data berguna untuk membuat keputusan yang tepat dan menghindari statistik yang manipulatif.

Data 22,46 juta tersebut akan kita petakan konsentrasinya. Kembali menggunakan estimasi Alvara Research Center, sebaran penduduk Muslim yang terafiliasi Muhammadiyah adalah 59,8 persen di Pulau Jawa, 27,1 persen di Pulau Sumatera, dan 13,1 persen sisanya tersebar di berbagai pulau lainnya. Dengan demikian, di Pulau Jawa ada 13,431 juta, di Pulau Sumatera 6,086 juta, dan sisanya 2,942 juta di pulau lainnya.  

Sekarang kita akan melihat sebaran kursi PAN yang kita bagi ke dalam ketiga daerah tersebut. Dari 44 kursi, 15 kursi PAN berasal dari Pulau Sumatera, 18 kursi dari Pulau Jawa, dan 11 kursi dari pulau lainnya. Di sini, kita kembali menemukan pertanyaan di awal tulisan, dengan perkiraan sebaran warga Muhammadiyah sebesar itu, mengapa perolehan kursi PAN hanya belasan di tiap kelompok daerah?

Di Provinsi Jawa Timur, misalnya, mengutip situs resmi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur (pwmu.co), jumlah warga Muhammadiyah di Jawa Timur sebanyak 10 juta jiwa. Jika data ini tepat, maka ini merupakan konsentrasi warga Muhammadiyah terbanyak. Namun menariknya, di provinsi ini PAN hanya memperoleh 1.209.375 suara. 

Yang lebih menarik lagi adalah, suara di provinsi ini juga beririsan dengan suara dari warga Nahdlatul Ulama (NU). Ini terlihat dari kasus Slamet Ariyadi, anggota DPR Komisi IV Fraksi PAN yang berasal dari dapil Jawa Timur IX. Ariyadi merupakan alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), serta pernah nyantri di Ponpes Nazhatut Thullab Prajjan Sampang yang merupakan pondok NU.

Jika merujuk pada premis dasar bahwa Muhammadiyah memilih kader PAN karena merupakan kader Muhammadiyah pula, kasus Slamet Ariyadi jelas merupakan bantahan tegas. Secara cepat, mudah menyimpulkan bahwa pemilih Ariyadi berasal dari warga NU. Ini telah dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Kenapa PAN Nekat Incar Jawa Timur?.

Manuver terbaru PAN, khususnya PAN Jawa Timur juga jelas menjadi indikasi tengah berusaha menggaet suara Nahdliyin. Pada Desember 2021, misalnya, Zulhas mengunjungi Pondok Pesantren (Ponpes) Amanatul Ummah asuhan Kiai Asep Saifuddin Chalim yang merupakan pondok NU. Ia juga menyambangi tokoh NU sentral di Jatim, yakni Ketua PWNU Jatim KH Marzuki Mustamar.

Suka atau tidak, manuver ini menunjukkan bahwa ada kesadaran suara Muhammadiyah tidak cukup untuk memberikan suara besar bagi PAN.

Identitas Bukan Jaminan

Setidaknya ada tiga alasan mengapa kesadaran tersebut muncul. Pertama, identitas itu tidak tunggal, melainkan dinamis atau berubah-ubah. Kita dapat melihat pembuktiannya di Jawa Tengah (Jateng), di mana PAN tidak mendapatkan satu pun kursi di provinsi tersebut. Pertanyaannya tentu sederhana, kemana warga Muhammadiyah Jateng? Apakah mereka tidak ingin sesama kader Muhammadiyah menjadi anggota dewan?

Peter J. Burke dalam tulisannya Identity Change menyebut identitas bersifat hierarkis. Dalam diri seseorang terdapat berbagai identitas, misalnya sebagai warga Muhammadiyah, warga Semarang, dan anggota keluarga Susilo. Karena sifatnya yang hierarkis, ketiga identitas itu tidak berdiri sejajar, melainkan terdapat identitas yang lebih dominan. Ini tergantung pada tingkat keterikatan emosi.

Di Jateng, tentu banyak warga Muhammadiyah, namun bagaimana jika mereka tidak menjadikannya sebagai identitas dominan? Apa pun alasannya, yang jelas terdapat keterikatan emosi yang lebih kuat pada identitas lain. Mungkin karena keluarganya, Susilo, maju di Pileg 2019, dan kebetulan Susilo kader partai lain. 

Kedua, pemilu di Indonesia masih lekat dengan aspek ketokohan. Ini jelas terlihat pada manuver Zulhas mengunjungi Kiai Asep Saifuddin Chalim dan KH Marzuki Mustamar. Karena keduanya merupakan tokoh berpengaruh, pendekatan terhadap keduanya perlu dilakukan. 

Persoalan ini bertolak dari budaya santri-santri di daerah yang memiliki sikap patuh pada kiainya. Mengutip penjelasan Michael Maccoby dalam tulisannya Why People Follow the Leader: The Power of Transference, sikap patuh itu lahir dari motivasi atas gambaran dan emosi yang kuat di alam bawah sadar santri dalam membayangkan hubungan dengan kiainya. Sederhananya, para santri ingin mengikuti arahan kiai yang mereka sayangi.

Dengan demikian, jika di suatu dapil yang berpengaruh adalah tokoh NU atau sosok lainnya, tentu pendekatan terhadap sosok tersebut yang dilakukan. 

Ketiga, masih kuatnya politik uang di pemilu. M. Arief Virgy dalam tulisannya Perburuan Rente Hantui Pilkada?, menyebutkan bahwa alasan dimakluminya praktik politik uang karena masyarakat masih berkutat pada masalah ekonomi. Ini membuat mereka mengambil keputusan pragmatis, alih-alih menjadi pemilih rasional.

Dengan kondisi ekonomi yang tidak mapan, tentu agak sulit membayangkan masyarakat menjadi pemilih rasional yang menyandarkan pilihan pada ideologi atau perhitungan objektif lainnya. Masyarakat akan melakukan tindakan pragmatis dengan memilih sosok yang paling menguntungkan mereka secara materil.

Sebagai penutup, sekiranya kita perlu melihat penjelasan Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly. Di dalamnya Dobelli menjelaskan sebuah konsep bernama fundamental attribution error, yakni kesalahan penalaran yang terjadi ketika seseorang menaksir peran suatu faktor terlalu tinggi.

Memang benar Muhammadiyah lekat dengan PAN, keduanya memiliki sejarah dan ikatan emosi yang panjang, namun kurang tepat mengatakan kunci suara PAN terletak pada warga Muhammadiyah. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version