Site icon PinterPolitik.com

Apakah Laki-laki Butuh Cuti Hamil?

Foto: MARKETING.co.id

Sampai saat ini kita masih berkutat pada persoalan kesenjangan gaji laki-laki dan perempuan. Mengapa kesenjangan ini terbudaya? Lalu, apakah ada cara untuk menjawabnya?


PinterPolitik.com

“When we pay women less than men we’re telling women their work isn’t as valuable. We’re all equally valuable. And we should be paid equally.” – Maria Shriver, jurnalis Amerika Serikat

Sekitar empat tahun lalu, penulis berkesempatan mengikuti kelas Paradigma Feminisme di Universitas Indonesia (UI). Sewaktu itu, mata kuliah ini diampu oleh Dr Gadis Arivia. Di sela-sela pemaparan materi, Dr Gadis menyelipkan cerita-cerita aktual terkait masalah gender. Salah satu yang paling penulis ingat adalah curhatannya mengenai tunjangan dosen. 

“Dosen laki-laki mendapatkan tunjangan tambahan jika memiliki istri, tapi kok dosen perempuan tidak mendapatkan tunjangan tambahan jika memiliki suami?”, tanya Dr Gadis waktu itu.

Awalnya, penulis mengira pertanyaan itu hanyalah curhatan biasa. Namun, semuanya berubah ketika menemukan data bahwa terdapat kesenjangan gaji antara laki-laki dan perempuan yang terjadi di berbagai belahan dunia. 

Mengutip PayScale, pada tahun 2021, perempuan mendapat 82 sen dari setiap satu dolar yang didapatkan laki-laki. Disebutkan, gaji rata-rata laki-laki 18 persen lebih tinggi daripada gaji rata-rata perempuan. Turun satu persen dari tahun 2020 dan turun 8 persen dari tahun 2015. 

Pada tahun 2015, gaji rata-rata laki-laki 26 persen lebih tinggi daripada gaji rata-rata perempuan – menyusut sekitar US$0,01 dari 2015 ke 2021. Meskipun memiliki progres, penurunan hanya berkisar satu persen per tahunnya. Terkhusus dua tahun terakhir, menurut PayScale, penurunan terjadi karena banyak perempuan bergaji rendah mengalami PHK akibat pandemi Covid-19, sehingga tidak masuk dalam kalkulasi statistik. 

Jika merujuk data UN Women,kesenjangan yang terjadi lebih tinggi. Secara global perempuan hanya mendapatkan 77 sen dari setiap satu dolar yang didapatkan laki-laki. Terlepas dari perbedaan statistik yang ada, inti pertanyaannya adalah, mengapa kesenjangan ini terjadi?

Dalam berbagai studi, akarnya disebut pada stigma dan bias gender. Dalam berbagai budaya dan sosial masyarakat, perempuan selalu diasosiasikan sebagai pengurus dapur dan laki-laki bertugas untuk mencari nafkah. 

Jika benar demikian, meminjam nasihat Sherlock Holmes dalam novel A Study in Scarlet, kita perlu menggunakan metode bernalar dari belakang ke depan. Metode ini melahirkan pertanyaannya, sejak kapan dan bagaimana bias gender terbentuk? 

Motherhood Penalty

Untuk menjawabnya, tulisan Anil Ananthaswamy dan Kate Douglas yang berjudul The Origins of Sexism: How Men Came to Rule 12,000 Years Ago sangat menarik untuk direnungkan. Mengutip Sarah Hrdy, seorang antropolog dan primatolog dari University of California, seksisme dan bias gender disebut merupakan budaya yang baru terjadi sejak 12 ribu tahun yang lalu.

Dalam temuan Hrdy, ketika manusia masih hidup dengan cara berburu dan hidup nomaden atau berpindah-pindah, sistem patriarki belum terjadi karena posisi perempuan dan laki-laki cenderung setara atau egaliter. Saat itu, para perempuan pemburu prasejarah disebut memiliki dukungan yang besar dari kelompok yang dibesarkannya.

Namun, sistem yang egaliter itu berubah sejak 12 ribu tahun yang lalu ketika manusia mulai hidup dengan cara bercocok tanam. Dengan munculnya pertanian dan manusia mulai hidup menetap, kelompok-kelompok manusia mulai memperoleh sumber daya, seperti tanah dan hasil tanam untuk dipertahankan, dan kekuasaan mulai bergeser ke laki-laki.

Harta warisan kemudian diturunkan melalui garis laki-laki, yang mana ini berimbas pada terkikisnya otonomi perempuan. Pergeseran budaya tersebut kemudian melahirkan apa yang kita sebut sebagai patriarki saat ini.

Pertanyaannya, mengapa pergeseran ini terjadi?

Jawabannya adalah pembagian tugas. Dengan manusia yang hidup menetap, dibutuhkan pembagian tugas untuk menjaga rumah, membesarkan anak, dan mengurus lahan pertanian. Entah bagaimana, perempuan kemudian ditugaskan berada di rumah. Mungkin karena mereka yang mengandung, melahirkan, dan menyusui anak.

Di era berburu, pembagian seperti ini tidak terjadi karena tugas menjaga anak dilakukan secara bersama-sama. Kita dapat melihat ilustrasinya pada migrasi kawanan hewan di Afrika – apapun hewannya. Ketika berpindah untuk mencari rumput dan air, setiap anggota kawanan dewasa bertugas menjaga anak hewan yang masih renta agar tidak diterkam predator.  

Dengan demikian, kita dapat membuat hipotesis, bias gender tampaknya terjadi seiring dengan meningkatnya hubungan perempuan dengan anak. Setelah belasan ribu tahun, tercipta budaya kolektif bahwa tugas perempuan berada di rumah untuk menyiapkan makanan dan membesarkan anak, sementara laki-laki di ladang dan menjaga keluarganya dari bahaya.

Hipotesis ini dapat dibuktikan dari data UN Women. Ternyata, peningkatan kesenjangan pendapatan terjadi ketika perempuan memiliki anak. Di Afrika sub-Sahara, meningkat dari 4 persen menjadi 31 persen. Sementara di Asia Selatan, meningkat dari 14 persen menjadi 35 persen. Ini kemudian melahirkan istilah yang disebut dengan motherhood penalty. Ketika perempuan menjadi ibu, kesempatannya untuk bekerja menjadi berkurang, bahkan menghilang.

Lantas, apakah kesenjangan yang sudah terbudaya ini dapat diatasi?

Dual Parenting

Jawabannya bisa, yakni menggunakan hukum. Simpulan ini ditarik dari pemikiran pakar hukum asal Amerika Serikat, Roscoe Pound, yang menyebut hukum adalah alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). 

Menurut Sai Abhipsa Gochhayat dalam tulisannya ‘Social Engineering by Roscoe Pound’: Issues in Legal and Political Philosophy, upaya untuk memenuhi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat adalah preseden munculnya konsep social engineering dari Roscoe Pound. Hukum adalah sarana untuk membentuk dan mengatur perilaku masyarakat. 

Di berbagai negara, social engineering untuk lebih mendekatkan ayah ke anak banyak dilakukan, salah satunya dengan memberikan cuti melahirkan yang panjang. Di Korea Selatan, ketika istri melahirkan, ayah berhak mendapatkan hak paternity leave selama 53 minggu. Sementara di Swedia, setiap ayah baru diberikan cuti hingga 480 hari. Di negara Skandinavia lainnya, yakni Islandia, kedua orang tua mendapatkan cuti melahirkan selama satu tahun. Sementara di Finlandia mencapai 14 bulan.

Apa yang hendak dicapai dengan cuti melahirkan? Sederhana, agar tidak ada stigma atau persepsi bahwa membesarkan anak adalah tugas utama perempuan. Laki-laki harus merasakan tanggung jawab yang sama dan memiliki kedekatan emosi yang sama dengan perempuan kepada anak.

Mengutip gagasan Dorothy Dinnerstein dan Nancy Chodorow, pemberian cuti melahirkan panjang tersebut adalah bentuk aktualisasi dari dual parenting. Dalam pandangan Dinnerstein, laki-laki merasa perlu untuk mengontrol perempuan, dan perempuan merasa perlu untuk dikontrol karena perempuan melakukan sebagian besar tugas pengasuhan anak. Menurut Chodorow, karena laki-laki tidak memandang diri mereka sebagai ibu, ini membuatnya tidak memiliki beban yang besar untuk pergi bekerja dan meninggalkan rumah.

Menurut Dinnerstein dan Chodorow, dual parenting atau pola asuh ganda dapat mengikis persepsi tersebut. Perempuan tidak lagi merasa memiliki tanggung jawab yang paling besar atas pertumbuhan anak, dan laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih untuk melihat serta mengawasi perkembangan anak. 

Lalu, bagaimana dengan di Indonesia, apakah ada cuti melahirkan seperti di negara-negara Skandinavia?  Mengutip Hukum Online, ini sudah diakomodasi dalam Pasal 81 angka 23 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang mengubah Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Namun sayangnya, jumlah waktu cuti yang diberikan hanya selama dua hari.

Mengutip gagasan hukum progresif Satjipto Rahardjo yang menyebutkan raison d’etre hukum adalah memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, penambahan cuti melahirkan sekiranya harus menjadi pertimbangan para peramu kebijakan publik. Masalahnya, ini berkonsekuensi pada banyaknya perempuan yang terpaksa menghentikan karier agar fokus mengurus anak, dan laki-laki semakin merasa tugas utamanya adalah mencari nafkah bagi keluarga.

Tentunya, ini semakin mengentalkan bias gender yang sudah ada. Tanpa adanya solusi progresif, patriarki akan terus berada di lingkaran yang tak berhenti. (R53)

Exit mobile version