Kemarahan Jokowi pada para menteri yang dianggap tak maksimal melakukan tugas-tugasnya menangani persoalan Covid-19 memang menimbulkan pertanyaan terkait kontrol sang presiden atas kabinetnya sendiri. Ini juga menjadi ujian besar untuk kepemimpinan Jokowi dan menjadi pembuktian apakah mantan Gubernur DKI Jakarta itu adalah seorang great leader seperti yang digembar-gemborkan banyak pengamat dan scholar.
PinterPolitik.com
“Every time you have to speak, you are auditioning for leadership.”
:: James Humes, mantan penulis pidato Presiden Amerika Serikat ::
Video Presiden Joko Widodo (Jokowi) marah-marah dalam rapat paripurna kabinet pada 18 Juni 2020 lalu memang tengah menjadi perdebatan utama di ruang-ruang diskursus politik Indonesia. Video tersebut memang baru dipublikasikan dua hari lalu – hal yang kemudian menimbulkan banyak pertanyaan lanjutan di masyarakat, terkait mengapa rapat dalam rentang 10 hari itu baru dibagikan ke publik.
Beberapa isu yang mencuat adalah terkait kegeraman Presiden Jokowi terhadap pembantu-pembantunya yang dianggap tidak menjalankan tugas dengan sense of crisis di tengah makin tingginya angka penyabaran Covid-19 di Indonesia. Bahkan ada ancaman pembubaran lembaga dan reshuffle kabinet yan disebutkan oleh Jokowi dalam kesempatan tersebut.
Untuk seorang Jokowi, menampilkan sisi kemarahan ke hadapan publik adalah hal yang sangat jarang terjadi. Citra mantan Wali Kota Solo itu memang terbentuk sebagai seorang politisi yang soft spoken atau lembut berutur katanya. Karakter ke-Jawaan memang sangat kuat dalam diri Jokowi, setidaknya berkaca dari berbagai filosofi Jawa yang dipegangnya.
Artinya, kali ini ada dimensi politik yang bisa dilihat secara berbeda. Boleh jadi memang Jokowi perlu menekankan diri di hadapan elite politik bahwa dirinyalah yang punya kuasa penuh atas pemerintahan, termasuk dalam konteks memberhentikan pembantu-pembantunya.
Namun, di sisi lain, boleh jadi ini juga menunjukkan bahwa Jokowi tak mampu “mengontrol” penuh isi kabinetnya. Bukan rahasia lagi bahwasannya para menteri yang ada di kabinet sang presiden sebagian besar adalah titipan partai politik atau elite tertentu yang tentu saja sering tersandera kepentingan kelompok masing-masing.
Ketiadaan kontrol ini pada akhirnya mengembalikan topik perdebatan publik tentang apakah Presiden Jokowi bisa dimasukkan dalam kategori great leader alias pemimpin hebat. Predikat great leader memang tengah menjadi perdebatan di masyarakat dunia satu dekade terakhir untuk pemimpin-pemimpin yang dianggap mampu menghadirkan terobosan dan program-programnya menyentuh semua masyarakat termasuk mereka yang ada di posisi paling bawah.
Great leader itu sendiri punya banyak variabel penilaian yang diungkapkan oleh para ahli politik dan scholar, salah satunya adalah yang diungkapkan oleh akademisi dan mantan diplomat Singapura, Kishore Mahbubani. Menariknya, Mahbubani pernah menyebut Jokowi sebagai salah satu sosok yang masuk kategori great leader versinya.
Lalu, apa saja kriteria great leader menurut Mahbubani dan apakah saat ini Jokowi masih bisa dikatakan sebagai salah satu pemimpin yang ada di kategori tersebut?
Ancaman reshuffle menanti di balik kemarahan Pak @jokowi . Duh, jadi ngeri. #infografis #politik #pinterpolitikhttps://t.co/URUSPYRpRA pic.twitter.com/ygX2YF75Ce
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 30, 2020
Great Leader Menurut Mahbubani
Dalam tulisan yang berjudul What Makes a Great Leader? Mahbubani dan Klaus Schwab mendiskusikan kualitas-kualitas seseorang agar bisa dimasukkan dalam kategori great leader. Schwab sendiri adalah seorang guru besar asal Jerman dan merupakan pendiri serta chairman World Economic Forum.
Secara umum, Schwab memberikan 5 variabel utama untuk menilai seseorang layak atau tidak menjadi great leader, yakni heart atau hati, brain atau otak, muscle atau otot, nerve atau keberanian dan soul alias jiwa.
Sementara Mahbubani membahasakannya secara lebih spesifik, yakni compassion alias kasih sayang, canniness atau kesopanan/kehati-hatian, courage alias keberanian, kemampuan mengidentifikasi talent dan kemampuan memahami kompleksitas isu.
Walaupun dibahasakan secara berbeda, variabel yang diberikan oleh Mahbubani dan Schwab sebenarnya kurang lebih ada di wilayah yang sama, yakni dalam 4 hal: heart, brain, courage dan soul.
Keduanya sama-sama bicara tentang heart sebagai hal yang penting bagi seorang pemimpin. Sosok seperti Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi misalnya, tentu tak akan mendapatkan predikat great leader jika tak punya hati untuk masyarakatnya. Karena kasih sayang, kepedulian dan cinta kepada masyarakatnya, tokoh-tokoh tersebut akan selalu dikenang.
Kriteria kedua adalah brain, yakni bahwa pemimpin yang hebat haruslah bisa mengolah semua informasi yang didapatkannya untuk menghasilkan kebijakan yang melingkupi semua orang dan dengan perhitungan jangka panjang yang matang pula. Tak jarang kebijakan yang diambil dengan mengedepankan brain juga akan mempengaruhi posisi negara yang dipimpin dalam konteks politik internasional.
Beberapa contohnya adalah Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Perdana Menteri India Narendra Modi. Mahbubani dan Schwab menyebut keduanya sebagai pemimpin yang paham tentang perubahan ekonomi dan sosial serta mampu melihat kesempatan di balik Revolusi Industri 4.0.
Hal ini juga terlihat dari perkembangan teknologi di dua negara tersebut, di mana baik Tiongkok maupun India kini tampil sebagai pemain baru dalam industri teknologi dunia.
Konteks brain ini punya dampak politik domestik yang signifikan juga. Data dari Pew Research seperti dikutip Mahbubani dan Schwab, menyebutkan bahwa 87 persen masyarakat Tiongkok merasa positif dengan kondisi ekonomi negara mereka saat ini, berbanding 83 persen di India. Sementara 82 persen masyarakat Tiongkok yakin bahwa anak-anak mereka atau generasi berikutnya akan menikmati hidup yang lebih baik dibandingkan saat ini, berbanding 76 persen yang dirasakan oleh masyarakat India.
Kategori berikutnya adalah nerve atau courage yang ditunjukkan oleh pemimpin yang berani mengambil kebijakan sekalipun yakin akan mendapatkan penolakan. Kanselir Jerman Angela Merkel adalah contoh pemimpin yang menurut Mahbubani dan Schwab masuk kategori berani tersebut, misalkan terkait kebijakannya mengijinkan para pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke negara tersebut.
Menariknya, Mahbubani dan Schwab juga menyebut Presiden Jokowi dalam contoh pemimpin yang dianggap berani tersebut. Sama seperti Merkel yang mendapatkan tantangan dari kelompok politik kanan di Eropa yang cenderung anti keberagaman, Jokowi juga mendapatkan tantangan serupa dalam konteks yang mirip di Indonesia. Keberanian Jokowi membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) misalnya, disebut mengekskalasi konteks keberanian tersebut.
Sementara contoh pemimpin yang dianggap punya soul – bisa dibilang semacam kharisma yang berbeda – beberapa contohnya bisa ditemukan dari pemimpin-pemimpin keagamaan. Mahbubani dan Schwab mencontohkan Paus Francis selaku pemimpin tertinggi Vatikan dan umat Katolik di seluruh dunia sebagai salah satu contohnya.
Dari keempat kriteria tersebut, memang masih ada perdebatan apakah jika hanya punya satu keunggulan dari 4 variabel tersebut, seorang pemimpin bisa dianggap sebagai great leader, atau haruskah ia mempunyai semua variabel-variabel tersebut. Well, idealnya, semua kriteria tersebut haruslah dimiliki oleh seorang pemimpin besar yang sejati. Namun, memang pada banyak kasus ada pemimpin yang lebih unggul di satu aspek dibandingkan aspek yang lain.
Jika mengingat bahwa Mahbubani dan Schwab membuat tulisan tersebut pada tahun 2017, lalu apakah Presiden Jokowi kini masih bisa dianggap sebagai seorang great leader seperti yang mereka sebutkan?
Tetap semangat Pak @jokowi , semoga yang nggak punya "sense of crisis" itu bisa segera insaf. 😠 #infografis #politik #pinterpolitikhttps://t.co/9RLBkXTJSc pic.twitter.com/zqEeYCPqoP
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 29, 2020
Tantangan Jokowi
Secara personal, Jokowi tak diragukan lagi, mempunyai kualitas untuk menjadi seorang great leader. Sosok yang sederhana, soft spoken, punya keberanian dan penuh compassion adalah gambaran yang awalnya ditangkap masyarakat sejak permulaan kekuasaan sang presiden.
Namun, konteks nilai-nilai tersebut belakangan dianggap perlahan tapi pasti, mulai memudar. Keberanian tak lagi ditunjukkan Jokowi untuk kebijakan-kebijakan yang menjadi ciri khas utamanya. Dalam pemberantasan korupsi misalnya, Jokowi yang dulunya dianggap paling tegas soal korupsi, sekarang cenderung kompromistis.
Publik mungkin masih ingat soal bagaimana sang presiden menolak mengangkat Budi Gunawan sebagai Kapolri setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut sang jenderal polisi tersebut tersangkut kasus rekening gendut. Demikianpun dengan revisi Undang-Undang KPK yang kala itu tak pernah diberikan celahnya oleh Jokowi.
Namun, semuanya berubah di periode kedua kekuasaannya. Komitmen Jokowi terhadap pemberantasan korupsi dipertanyakan seiring persetujuannya merevisi UU KPK dan meloloskan pengangkatan pimpinan lembaga anti rasuah tersebut yang dianggap bermasalah.
Hal yang serupa juga terjadi dalam konteks yang lain, misalnya compassion, di mana Jokowi yang dulu dianggap sebagai sosok yang mewakili kepentingan masyarakat kecil, kini sering kali tak ada di wilayah tersebut.
Pada akhirnya, menjadi great leader akan menjadi tantangan terbesar Jokowi di sisa masa jabatannya. Kemarahan sang presiden pada para menterinya mungkin menjadi penanda bahwa konteks keberanian itu masih tersisa. Yang ditunggu masyarakat saat ini adalah apakah kata-kata Jokowi tersebut akan berani dieksekusi atau tidak. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.