Site icon PinterPolitik.com

Apakah Agama Sumber Pertikaian?

Foto: Middle East Monitor

Sejak Pilgub DKI Jakarta 2017, hangat terasa ada pertentangan narasi antara agama dengan nasionalisme. Sekiranya cukup kentara terbaca, terdapat politisi yang menilai agama sebagai sumber pertikaian. Tidak hanya di Indonesia, pemikiran ini telah menjadi diskursus global, khususnya sejak Eropa memasuki Abad Pencerahan (Renaissance). Lantas, tepatkah asumsi tersebut?  


PinterPolitik.com

Imagine there’s no countries

It isn’t hard to do

Nothing to kill or die for

And no religion, too

Imagine all the people

Livin’ life in peace

You

Ini adalah potongan lagu Imagine (1971) dari John Lennon. Lagu ini telah membuat masyarakat mengangankan dunia tanpa negara, surga, neraka, dan agama. Ya, mantan anggota The Beatles ini merupakan seorang kiri radikal. Menurut Karen Amstrong dalam bukunya Masa Depan Tuhan: Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme, lagu tersebut membawa asumsi peniadaan Tuhan akan memecahkan masalah dunia. Sayangnya, “itu adalah keyakinan yang terlalu sederhana”, tulis Amstrong.

Jauh sebelum John Lennon, pada pertengahan abad ke-19, filsuf Jerman Friedrich Nietzsche telah menyebarkan semangat menantang agama melalui frasanya, God is dead, Tuhan telah mati. Menurut Amstrong, tidak hanya membawa semangat pada sekularisme, gagasan Nietzsche telah membuat ateisme tidak lagi dianggap sebagai istilah pelecehan.

Jika sebelumnya hanya para filsuf dan ilmuwan yang berani berkata demikian, untuk pertama kalinya, rakyat biasa dengan senang hati menyebut dirinya ateis. Kemungkinan sejak Perang Salib dan peristiwa berdarah berbau agama lainnya, iman kemudian dianggap sebagai musuh perdamaian.

Ekspresi-ekspresi agama kemudian dilarang di depan umum. Ini menjadi ciri khas sekularisme yang menyebar luas di negara Barat, khususnya Eropa. Lebih jauh, tidak hanya dipandang sebagai musuh perdamaian, agama juga dinilai menghambat kemajuan peradaban, baik ekonomi maupun ilmu pengetahuan.

Baca Juga: Menguak Alasan FPI Dibubarkan

Namun, seperti yang disebutkan Amstrong, keyakinan seperti ini pada dasarnya begitu sederhana, dan sayangnya dangkal. Sebagaimana kritiknya terhadap Richard Dawkins, Sam Harris, dan Christopher Hitchens, serangan-serangan terhadap agama umumnya bertumpu pada pemahaman teologi yang dangkal. 

Dengan serampangan, karena melihat banyak pertikaian dan perang, agama kemudian disimpulkan sebagai akarnya. Menurut Amstrong, banyak konflik justru disebabkan oleh ketidakseimbangan kekuatan politik, nasionalisme sekuler, dan keinginan menguasai dunia atau invasi.

Non Causa Pro Causa 

Senada dengan Amstrong, dalam bukunya The Origin of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution, Francis Fukuyama juga mengurai kesalahan penarikan kesimpulan tersebut dengan meminjam pemikiran kausalitas (sebab-akibat) dari filsuf epistemologi, David Hume. 

Menurut Hume, sesuatu yang berkorelasi atau peristiwa yang terjadi secara berurutan, belum tentu merupakan kausalitas. Menurut Fukuyama, jika melihat pada sejarahnya, agama justru muncul dan berperan dalam membentuk kohesi sosial. Artinya, agama justru adalah respons peradaban dalam menjawab pertikaian. 

Jika melihat serangan para ateis, seperti Richard Dawkins maupun Sam Harris, mereka kerap menghardik agama-agama besar seperti Islam dan Kristen sebagai pemicu konflik. Padahal, usia kedua agama tersebut tidak lebih dari 3.000 tahun. 

Sekalipun mengacu pada Hinduisme yang disebut sebagai agama pertama – sudah ada antara abad ke-15 dan ke-5 SM – usianya masih sangatlah muda karena bukti pertikaian telah ditemukan sejak era Neanderthal (genus Homo sebelum Sapiens). Neanderthal sendiri disebut telah ada setidaknya sejak 200.000 tahun yang lalu.

Ini misalnya disebutkan oleh Martin Smith dan John Stewart dalam tulisannya When did humans first go to war?. Menurut mereka, mengacu pada berbagai fosil yang ditemukan, tidak ada keraguan bahwa Neanderthal mengalami luka tumpul yang kebanyakan letaknya di kepala. Ini menunjukkan, perselisihan menggunakan senjata telah dilakukan oleh nenek moyang kita.

Baca Juga: Terorisme Makassar, Radikalisme Bukan Akar Masalahnya?

Dengan demikian, kekeliruan dalam menyimpulkan agama sebagai sumber pertikaian dapat disebut sebagai causal fallacy atau false cause – disebut juga non causa pro causa dalam bahasa Latin. Ini adalah kesalahan bernalar yang terjadi ketika penyebab (cause) keliru diidentifikasi. 

Lebih rinci, non causa pro causa adalah argumen yang bertumpu pada kekeliruan dalam menentukan korelasi dan kausalitas. Disebutkan X merupakan penyebab dari Y karena melihat keduanya memiliki korelasi, padahal Y disebabkan oleh Z. 

Non causa pro causa jelas terlihat pada asumsi agama adalah sumber pertikaian. Karena agama dan pertikaian dilihat berkorelasi, keduanya kemudian disimpulkan memiliki kausalitas, padahal sumber pertikaian adalah keegoisan manusia. Ini adalah hasrat atas kekuasaan. 

The Will to Power

Setelah mengurai kesalahan bernalar dalam asumsi agama adalah sumber pertikaian, sekiranya kita dapat lebih jernih dalam menganalisis fenomena berbagai konflik yang disebut berbau agama, seperti ketegangan politik di Pilgub DKI Jakarta 2017. Suka atau tidak, apa yang terjadi adalah pertentangan politik kekuasaan. Setiap individu maupun kelompok, dengan mengusung nilainya berusaha untuk menjadi dominan.

Dalam bukunya The End of History and the Last Man dan Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian, Fukuyama mengungkit konsep thymos atau thymia dari Plato sebagai akar masalah pertikaian. Thymos adalah psikologi universal manusia akan hasrat untuk diakui. Ini membuat setiap individu ataupun kelompok sosial merasa memiliki hak untuk mendapatkan pengakuan atas identitasnya.

Mengacu pada konsep thymos, lantas apa yang membuat kelompok Islam di Indonesia, seperti FPI, menuntut dengan keras identitasnya? 

Jawabannya dapat kita tarik ke rezim Orde Baru. Meskipun di akhir-akhir pemerintahannya Soeharto mendekati kelompok Islam, sebelumnya, represi terhadap kelompok Islam justru kentara dilakukan. 

Greg Barton, Kelly Bird, dan Susan Blackburn dalam buku Indonesia Today: Challenges of History menyebutkan pada tahun 1970-an, intelijen kepercayaan Soeharto, Ali Moertopo menginisiasi pembentukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

Membawa sosok-sosok yang belajar di Amerika Serikat (AS), khususnya yang belajar dari Seymour Martin Lipset dan Samuel Huntington, diharapkan terjadi akselerasi modernisasi dan duplikasi demokrasi AS. Namun sayang, pada praktiknya Pancasila yang digunakan sebagai asas tunggal justru digunakan sebagai alat politik yang menargetkan segala bentuk kelompok kiri dan politik Islam.

Baca Juga: FPI, Buah Kesalahan Soeharto?

Berbagai pihak kemudian melihat ini sebagai pemicu perkembangan orientalisme di Indonesia. Sedikit konteks, orientalisme adalah cara pandang yang membayangkan, menekankan, dan membesar-besarkan perbedaan masyarakat dan budaya Timur, khususnya Arab dibandingkan dengan Eropa dan AS (Barat). Sering kali budaya Arab disebut terbelakang, tidak beradab, dan terkadang berbahaya.

Setelah mengalami represi bertahun-tahun di bawah rezim Orde Baru, Reformasi kemudian menjadi tonggak kebebasan ekspresi agama. Ditambah dengan adanya Revolusi Iran 1979, mengangkat kembali nilai-nilai Islam untuk menantang hegemoni nilai Barat menjadi pemikiran yang diterima secara umum.

Seperti yang disebutkan Nietzsche dalam bukunya The Will to Power, hasrat atas kekuasaan adalah kekuatan irasional yang ditemukan pada semua individu dan disalurkan ke arah yang berbeda-beda. Hasrat ini tidak bisa dimaknai negatif maupun positif karena merupakan sifat alamiah manusia. Penekanannya sama dengan konsep thymos.

Well, pertikaian atau konflik akan selalu ada. Entah itu dipicu oleh agama, jabatan politik, ataupun penguasaan ekonomi. (R53)

Exit mobile version