Baru-baru ini lembaga swadaya masyarakat (LSM) Greenpeace tengah dikritik oleh banyak pihak. Selain mempermasalahkan validitas data, ada juga yang ingin melakukan audit pendanaan. Dapatkah kekhawatiran ini kita benarkan?
Dewasa ini, tampaknya banyak orang yang sudah akrab dengan kampanye ramah lingkungan dan energi baru terbarukan. Greenpeace adalah salah satu organisasi internasional yang selalu memberi perhatian khusus pada permasalahan seperti ini.
Organisasi yang didirikan pada tahun 1971 ini kerap memberi kritik pada sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia. Terbaru, adalah tanggapan terhadap isi pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Konferensi COP26 di Glasgow, Skotlandia pada awal November lalu.
Singkatnya, Greenpeace mengatakan pernyataan Jokowi tentang laju deforestasi yang turun signifikan dalam 20 tahun terakhir keliru. Greenpeace menilai deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019).
Selain itu, Greenpeace juga menyebut klaim Jokowi mengenai keberhasilan pemerintahannya dalam menurunkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebesar 82 persen pada tahun 2020 bukan terjadi karena upaya pemerintah, melainkan disebabkan gangguan fenomena alam La Nina.
Kritik tersebut sempat direspons keras oleh Ketua Cyber Indonesia, Husin Shahab. Ia mengatakan pihaknya melaporkan Greenpeace karena merasa dirugikan atas pernyataan Greenpeace. Menurutnya, data yang disampaikan Greenpeace tidak sesuai fakta dan menyesatkan.
Namun, tidak lama, Husin mencabut laporan tersebut dengan alasan tidak mau dipolitisir dan malah membuat publik berpikir pemerintah anti kritik. Meskipun begitu, Husin menantang Greenpeace untuk adu data.
Baca Juga: Jokowi, Hilirisasi, dan Lingkungan Hidup
Kritik yang dilontarkan Greenpeace juga tampaknya mendorong Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengancam akan melakukan audit terhadap lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia yang menyebarkan berita tidak benar. Luhut pun mengatakan pihaknya siap adu data.
Tidak hanya di Indonesia, kecaman terhadap Greenpeace juga terjadi di negara lain, contohnya Kanada. Dikutip dari artikel Canada Leaves Greenpeace Red-Faced di situs Institute of Economic Affaris, Canada Revenue Agency (CRA), lembaga pemungut pajak pemerintah Kanada, menolak untuk mengakui Greenpeace sebagai badan amal.
Alasannya karena kegiatan Greenpeace dinilai “kurang bermanfaat bagi publik” dan kampanyenya untuk menghambat sejumlah aktivitas industri dapat membuat sebagian kalangan masyarakat kehilangan lapangan kerja. Karena ini, Greenpeace Kanada tidak bisa mendapatkan sumbangan.
Begitu juga di India, pada tahun 2015, Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) India melarang kegiatan Greenpeace. Pihak Kemdagri mengklaim bahwa kampanye LSM tersebut telah “merugikan kepentingan ekonomi negara”.
Pertanyaan besarnya kemudian adalah, mungkinkah justru Greenpeace yang salah?
Kebenaran yang Diselewengkan?
Meskipun jarang tersorot oleh media, kritik terhadap Greenpeace sesungguhnya sudah ada di mana-mana. Barangkali yang paling ‘pedas’ adalah dari mantan Kepala Greenpeace sendiri, Patrick Moore. Dalam laporan The Guardian yang berjudul Recovering the Earth, mengatakan bahwa sebagian besar masalah lingkungan yang sangat serius justru telah ditangani, dan Greenpeace sekarang berusaha untuk menciptakan skenario malapetaka yang baru
Moore juga menilai strategi Greenpeace seringkali berusaha meromantisasi kehidupan petani sebagai bagian dari kampanye anti-industri untuk mencegah adanya pembangunan di negara-negara berkembang. Moore mengklaim bahwa kelompok lingkungan seperti Greenpeace memiliki vested interest atau kepentingan pribadi dalam membesar-besarkan masalah, karena membuat orang takut adalah cara yang sangat tepat untuk mengumpulkan dana.
Pandangan yang menarik juga disampaikan oleh Bjørn Lomborg, mantan Direktur Environmental Assessment Institute di Denmark, yang juga adalah bekas anggota Greenpeace. Dalam bukunya False Alarm: How Climate Change Panic Costs Us Trillions, Lomborg mengatakan gaya kampanye ‘horor’ ala Greenpeace membuat kita lebih menggunakan sumber daya dan tenaga untuk memecahkan masalah yang sebenarnya tidak benar-benar nyata, sambil mengabaikan isu lingkungan ataupun non-lingkungan lain yang sesungguhnya lebih mendesak.
Lomborg juga menyoroti sejumlah isu yang dianggapnya menyesatkan, tentang deforestasi misalnya. Ia berargumen sejak awal pertanian diciptakan manusia, dunia telah kehilangan sekitar 20 persen hutannya, tetapi dalam beberapa dekade terakhir deforestasi justru semakin menurun. Menurut data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), luas hutan di dunia hampir stagnan, sekitar 30 persen dari total luas daratan, sejak Perang Dunia Kedua. Hutan beriklim sedang di berbagai negara seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Kanada justru sebenarnya telah berkembang tumbuh dalam 40 tahun terakhir.
Kembali, Lomborg menekankan, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kampanye Greenpeace telah menggiring opini publik ke arah yang salah. Selain dapat merugikan perekonomian negara, program-program ‘ramah lingkungan’ juga bisa merampas mata pencaharian sejumlah golongan masyarakat.
Baca Juga: Jokowi Terjebak Post-Fact UU Ciptaker?
Pandangan yang disampaikan Lombrog dan Moore menggambarkan apa yang kita sebut sebagai fenomena post-truth. Jayson Harsin dalam tulisannya Post-Truth and Critical Communication Studies, menjelaskan post-truth sebagai kondisi sosial dan politik di mana warga negara dan politisi tidak lagi menghormati kebenaran yang sebenarnya, tetapi malah meyakini suatu ide yang sebetulnya belum tentu tepat, hanya karena faktor perasaan dan lebih mudah dipercaya.
Ironisnya, Harsin beranggapan, kampanye post-truth bisa dengan mudah menyebar ke suatu sistem yang masyarakatnya mulai memiliki budaya mencari kebenaran dari suatu isu. Kenapa? Karena keingintahuan masyarakat adalah permintaan. Dengan logika sederhana bisnis, permintaan mampu menciptakan sebuah pasar baru.
Munculnya berbagai lembaga survei dan organisasi lingkungan adalah untuk menampung perhatian dan kekhawatiran orang terhadap suatu permasalahan. Dengan menawarkan hasil penelitian yang kemudian dinarasikan menjadi sebuah kebenaran mutlak, perhatian masyarakat kemudian dapat menjadi sumber pendapatan melalui program donasi, yang tentunya akan digunakan oleh kelompok penyebar post-truth untuk semakin meluaskan kebenaran versi mereka ke audiens yang lebih besar.
Lantas, apakah ini artinya aktivisme lingkungan secara keseluruhan adalah sebuah kesalahan?
Harus Bangun Kepercayaan?
Pembentukan perspektif seperti yang dilakukan Greenpeace sesuai dengan apa yang diperingatkan oleh filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche melalui paham perspektivisme. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya tidak ada satu orang pun yang memiliki kemampuan mengetahui kebenaran absolut tentang dunia nyata, karena kebenaran yang kita akui pada ujungnya berangkat dari interpretasi yang pada dasarnya berangkat dari subjektivisme.
Nietzsche menjelaskan bahwa inti perspektivisme adalah suatu penyelubungan akan realitas kaotis itu sendiri. Bagi Nietzsche, perspektivisme muncul sebagai akibat tekanan akan kebutuhan berkomunikasi. Dalam tingkat yang lebih sublim, kebutuhan akan komunikasi telah bertransformasi menjadi kebutuhan akan pengetahuan atau kebenaran.
Ini kemudian perlu kita refleksikan dengan respons publik terhadap kampanye yang digalakkan Greenpeace. Selain hanya untuk memuaskan rasa haus kita akan informasi, kita juga harus mulai mencari tahu sendiri, apa benar narasi yang dibangun LSM-LSM ternama selama ini sudah benar? Contohnya, bagaimana kabar tentang tingkat polusi yang semakin tinggi?
Sebagai contoh jawaban singkat yang perlu kita renungi, kembali mengutip Lomborg, permasalahan polusi udara sesungguhnya bukanlah fenomena baru yang semakin memburuk, tetapi fenomena lama yang semakin membaik. Menurut pengamatannya, sebagai contoh, tingkat polusi di London justru saat ini lebih bersih dari sejak Abad Pertengahan.
Lomborg menilai ini kemudian menjadi bukti bahwa narasi yang dibawa LSM tidak akan selalu benar. Ia kemudian mengatakan sesungguhnya yang menjadi permasalahan besar Greenpeace adalah kampanyenya yang koersif. Ia tidak menyangkal bahwa pemanasan global adalah ancaman lingkungan terbesar, akan tetapi ia mengecam liarnya tuduhan lingkungan lain yang datanya pun masih dipertanyakan.
Bagaimana kemudian ini dapat diatasi? Berangkat dari pernyataan-pernyataan di atas, Greenpeace harus mulai membuka diri terhadap pihak yang dikritiknya, termasuk pemerintah. Tanggapan yang dilontarkan oleh Greenpeace tidak bisa lagi hanya sebagai kritik saja, tetapi juga perlu membuka peluang selebar mungkin akan adanya persamaan persepsi dan juga keinginan untuk saling evaluasi data.
Baca Juga: Di Balik Seteru KPK vs Greenpeace
Di sisi lain, sebagai LSM yang kerap mendapat sinisme tinggi, tampaknya upaya untuk membuka diri menjadi hal yang perlu dilakukan.
Di Indonesia sendiri contohnya, Greenpeace beberapa kali telah diminta untuk membuka informasi pendanaan yang mereka himpun secara rinci, tetapi belum pernah ada respons yang kooperatif dari Greenpeace. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Budi Mulyanto menyarankan, sebagai LSM yang beroperasi di Indonesia, Greenpeace harusnya patuh dan mengikuti setiap arahan yang diberikan pemerintah. Keterbukaan pendanaan sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Mulyanto menilai, seharusnya keterbukaan informasi menyangkut sumber pendanaan, perjanjian dengan pihak donor, serta sejumlah informasi lain yang patut diketahui publik harus dilakukan terhadap semua LSM di Indonesia, termasuk Greenpeace, karena pada akhirnya kepercayaan publik yang terbangun juga mampu memberikan dampak positif bagi Greenpeace itu sendiri. (D74)