Akhir-akhir ini Ketua Umum Partai Nasdem memainkan manuver politik menarik. Tidak hanya memberikan patung kepada Presiden Jokowi, melainkan juga memberikan dukungan agar mantan Wali Kota Solo tersebut maju kembali di 2024. Apa yang tengah diincar Surya Paloh?
“It’s true that in chess as in politics, fund-raising and glad-handing matter.” – Garry Kasparov, Grandmaster catur Rusia
“Nasdem adalah sahabat bagi pribadinya seorang Jokowi. Arti seorang sahabat, berulang kali saya katakan, adalah bisa menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada,” ungkap Surya Paloh dalam sambutannya dalam perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-10 Partai Nasdem pada 11 November 2021.
Tidak hanya memberikan berbagai pujian, Surya Paloh juga memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memberikan hadiah patung kepada Presiden Jokowi. Dengan pose salam dua jari, patung tersebut merupakan simbol dukungan 10 tahun Nasdem kepada sang RI-1. Ditegaskan, Nasdem akan mengawal pemerintahan Jokowi sampai 2024.
Selain gestur memberi patung, Surya Paloh juga mengeluarkan pernyataan menarik sekaligus mengundang tanda tanya. Jika konstitusi membolehkan, Nasdem disebut siap mengusung Jokowi kembali di 2024.
“Saya tidak perlu lagi menjawab pertanyaan para kader partai ini, siapa calon presiden kita ke depan sesudah Jokowi. Siapa? Karena pasti iramanya tone-nya sama dari atas sampai ke bawah, dari pimpinan sampai kader yang paling rendah jawabannya satu, ya pasti Jokowi kembali,” ungkapnya.
Baca Juga: Strategi Cerdik Nasdem di 2024?
Menarik dan mengundang tanya, tentunya. Setelah beberapa kali publik ramai menolak isu tiga periode, Surya Paloh justru kembali mengungkitnya secara terbuka dan blak-blakan. Berulang kali pula Presiden Jokowi menolak wacana tersebut.
Berbicara soal politik, apalagi status Surya Paloh sebagai politisi dan pebisnis ulung, sulit membayangkan pernyataan tersebut hanyalah keisengan semata. Lantas, apakah ada pesan politik di baliknya? Jika ada, mengapa itu dilakukan?
Ciri Khas Surya Paloh
Melihat track record pernyataan Surya Paloh di hadapan publik, ia memiliki ciri khas menarik. Pernyataan dan gestur politiknya kerap keluar ketika terjadi masalah politik serius. Publik tentu ingat dengan “ancaman” terhadap Presiden Jokowi pada 2 Oktober 2019. Jika mengeluarkan perppu untuk membatalkan revisi UU KPK, Ketua Umum Partai Nasdem tersebut menyebut RI-1 bisa saja dimakzulkan. Pernyataan yang begitu mengejutkan, bahkan di tengah arena politik yang anarkis.
Di bulan yang sama, tepatnya tanggal 30, Surya Paloh kembali memperlihatkan gestur menarik. Di tengah isu pembentukan kabinet, bersama dengan petinggi Nasdem lainnya seperti Sekjen Johnny G. Plate, Surya Paloh mendatangi kantor DPP PKS di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan. Selepas pertemuan, viral foto pelukan hangat Surya Paloh dengan Sohibul Iman yang saat itu menjabat Presiden PKS.
Dua gestur politik mengejutkan tersebut kemudian ramai ditafsirkan sebagai ancang-ancang Nasdem menjadi oposisi pemerintahan Jokowi. Namun, orkestra politik berkata sebaliknya, Nasdem tetap setia di sisi Presiden Jokowi. Tentu pertanyaannya, apa maksud gestur-gestur tersebut?
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahuddin, memberikan analisis menarik dalam menanggapi manuver pelukan hangat Surya Paloh saat itu. Menurutnya, itu adalah “gertakan politik” yang ditujukan untuk menaikkan posisi tawar, sehingga kepentingan politik dapat diakomodir.
Analisis Said sekiranya tepat. Saat itu beredar kabar ketidaksukaan Nasdem atas masuknya Gerindra ke dalam kabinet. Alasannya tentu satu, karena itu akan mengubah komposisi menteri yang sudah ditetapkan sebelumnya. Selain itu, berbagai posisi lama Nasdem juga berpindah tangan. Salah satu yang ramai dibahas adalah posisi Jaksa Agung yang berpindah ke “pangkuan PDIP”.
Cara pandang yang sama juga dapat kita gunakan dalam membaca “ancaman” pemakzulan Surya Paloh. Itu adalah gertakan politik agar Presiden Jokowi tidak mengganggu gugat revisi UU KPK yang sudah disahkan.
Baca Juga: Nasdem, Duri Sebenarnya Koalisi Jokowi?
Melihat track record tersebut, rasa-rasanya tidak berlebihan untuk menyebutkan Surya Paloh sangat pandai memainkan dramaturgi politik. Ini pula dapat disebut sebagai ciri khasnya. Konsep yang dipopulerkan oleh Erving Goffman ini adalah sebuah perumpamaan tentang lanskap fenomena yang dapat kita tangkap dalam kehidupan sehari hari, termasuk lanskap interaksi elite politik.
Selayaknya drama, kehidupan politik juga bagaikan panggung pertunjukan, terdapat setting dan akting yang dipertontonkan oleh tiap individu sebagai aktornya. Goffman menyebutkan terdapat dua panggung, yakni panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage).
Nah, dalam lanskap politik, interaksi yang riil seringkali yang berada di panggung belakang. Umumnya, panggung depan dipertontonkan karena lobi di belakang layar tidak berjalan semestinya. Oleh karenanya, aktor-aktor politik merasa perlu memainkan panggung depan sebagai gertakan politik atau sekadar menaikkan daya tawar agar lobi panggung belakang dapat diteruskan.
Pada kasus Surya Paloh, permainan panggung belakang dan panggung depan tersebut jelas terlihat. Gestur-gestur mencoloknya yang memang diniatkan untuk mendapat atensi adalah cara untuk menaikkan daya tawar. Tampaknya, lobi-lobi panggung belakang Nasdem kurang berjalan baik saat itu. Dan terbukti, selepas permainan panggung depan, Nasdem kembali bermesra dengan Presiden Jokowi.
Lantas, apakah dramaturgi serupa juga terjadi pada gestur Surya Paloh pada HUT ke-10 Nasdem?
Sedang Mencium Apa?
Secara pola, dapat dikatakan Surya Paloh kembali melakukan dramaturgi politik. Namun, permainan panggung depan kali ini sedikit berbeda dengan yang terjadi pada Oktober 2019. Pasalnya, kali ini bukan gertakan politik yang ditunjukkan, melainkan keramahan dan dukungan penuh.
Yang paling menonjol tentu dukungan Surya Paloh atas periode ketiga Presiden Jokowi. Secara bahasa, mudah membaca bahwa itu adalah lip service semata. Penggunaan diksi “jika konstitusi membolehkan”, pada dasarnya telah menggugurkan dukungan itu sendiri. Meminjam istilah filsuf Prancis Jacques Derrida, teks tersebut memiliki pre-teks yang berbunyi “Nasdem tidak bisa mendukung karena konstitusi tidak membolehkan”.
Secara khusus, Surya Paloh dapat dikatakan tengah melakukan doublespeak. Ini adalah pernyataan yang sengaja dikeluarkan untuk mengaburkan, menyamarkan, mendistorsi, atau membalikkan arti kata.
Lantas, dengan perbedaan bentuk dramaturgi dengan yang terjadi pada Oktober 2019, apa makna doublespeak Surya Paloh tersebut?
Sedikit berspekulasi, Surya Paloh tampaknya tengah mencium adanya bahaya politik. Selaku politisi dan pebisnis senior, Ketua Umum Partai Nasdem ini jelas memiliki daya cium yang tinggi atas indikasi bahaya. Besar kemungkinan ini soal reshuffle. Pasalnya, selepas PAN masuk kabinet, serta digantinya Hadi Tjahjanto oleh Andika Perkasa, perombakan kursi kabinet disebut sebentar lagi terjadi.
Selain itu, dorongan untuk mengganti menteri-menteri Nasdem karena kinerjanya dinilai kurang memuaskan juga telah lama berhembus. Mungkin dapat dikatakan, panggung depan politik berupa ramah-tamah tersebut merupakan cara Surya Paloh untuk mengamankan posisi Nasdem jika nantinya terjadi reshuffle.
Baca Juga: Skak, Jokowi Kalahkan Surya Paloh?
Jika benar demikian, mantan politisi Golkar itu jelas tengah memainkan langkah catur yang menarik. Mengutip Gideon Rachman dalam tulisannya Chess moves to transform world politics, permainan yang membutuhkan strategi dan kecermatan ini telah lama digunakan sebagai metafora dalam memahami situasi dan strategi politik.
Singkatnya, Surya Paloh tampaknya tengah memainkan bidak pion – atau bidak lainnya – karena mencium akan terjadi skakmat. Sekalipun tidak memakan raja, itu akan memakan bidak-bidak penting seperti ratu, kuda, atau peluncur.
Well, terlepas dari benar tidaknya Surya Paloh tengah memainkan dramaturgi politik ataupun langkah-langkah catur menarik, mungkin kita hanya perlu menikmati sajian panggung depan ini sembari menikmati secangkir kopi. Jangan lupa pula gorengannya. (R53)