Site icon PinterPolitik.com

Apa Siasat Luhut di Kewarganegaran Ganda?

apa siasat luhut di kewarganegaraan ganda

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menjadi keynote speaker di Kongres Diaspora Indonesia IV Global Summit pada tahun 2017 silam. (Foto: Kemenko Marves)

Dengarkan artikel ini:

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2024/05/ganda-full.mp3
Audio ini dibuat menggunakan AI.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan memunculkan wacana agar kewarganegaraan ganda diperbolehkan di Indonesia. Mengapa?


PinterPolitik.com

“I got five passports, I’m never going to jail” – JAY-Z, “Otis” (2011)

Kehidupan seorang penyanyi rap (rapper) memang kerap kali bergelimang harta. Harta itu bahkan bisa tidak terhitung apabila rapper tersebut adalah bintang dunia.

Namun, dunia rap juga bukanlah dunia yang mudah. Subkultur jalanan yang dipenuhi dengan isu rasial dan kemiskinan membuat musik ini juga dekat dengan dunia kriminal.

Mungkin, hal inilah yang dirasakan oleh salah satu rapper populer bernama JAY-Z. Suami dari diva terkenal, Beyoncé, bahkan punya pengalaman masa lalu di dunia kriminal, seperti dengan menjual obat-obatan terlarang.

Mungkin, inilah mengapa, dalam lagu yang dirilisnya bersama Kanye West yang berjudul “Otis” (2011), JAY-Z menuliskan satu baris yang berhubungan dengan kehidupan gelapnya ini. Rapper yang berasal dari New York City (NYC) ini mengatakan, “Aku punya lima paspor. Aku tidak akan pernah masuk penjara.”

Kalimat pertama di baris ini bukan tidak mungkin menimbulkan tanya. Bukankah biasanya setiap individu hanya memiliki satu paspor, yakni paspor yang dikeluarkan oleh negaranya?

Pasalnya, paspor kerap menjadi dokumen kependudukan yang menandakan bahwa individu yang bersangkutan diakui sebagai warga negara. Dengan peraturan yang membatasi kewarganegaraan di Indonesia, sulit bagi JAY-Z untuk memiliki paspor Indonesia.

Namun, wacana lainpun muncul. Wacana ini datang dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut mengusulkan agar para diaspora Indonesia di luar negeri bisa memiliki paspor Indonesia.

Usulan Luhut ini menjadi menarik. Pasalnya, belum pernah ada aturan di Indonesia yang memperbolehkan warga negaranya untuk memiliki dua paspor atau, dalam arti lain, lebih dari satu kewarganegaraan, kecuali dalam situasi tertentu.

Bukan tidak mungkin, muncul pertanyaan-pertanyaan di benak. Mengapa Luhut akhirnya mengusulkan wacana untuk memperbolehkan kewarganegaraan ganda bagi warga negara Indonesia (WNI)? Memangnya, mengapa Indonesia mempunyai aturan untuk membatasi kewarganegaraan setiap individu?

Kewarganegaraan = Kesetiaan?

Sebenarnya, setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda-beda terkait kewarganegaraan setiap individunya. Inipun bergantung pada kepentingan nasional yang dimiliki oleh negara tersebut.

Kewarganegaraan biasanya dianggap sebagai bentuk kesetiaan seorang individu terhadap negaranya. Kesetiaan ini juga akhirnya berkaitan dengan isu keamanan, salah satu isu yang paling krusial dan eksistensil bagi sebuah negara.

Dalam studi Hubungan Internasional (HI), dikenal sebuah konsep yang disebut sebagai anarki. Anarki sendiri merupakan sebuah situasi dunia di mana tidak ada satu kekuatan yang memiliki otoritas penuh.

Akhirnya, negara-negara hanya bisa saling berinteraksi dan menjalin perjanjian dengan satu sama lain. Namun, komitmen antarnegara juga akan hilang atau tidak diikuti bila salah satu negara tidak memiliki kepentingan yang sama lagi.

Alhasil, dengan tidak ada otoritas penuh, masing-masing negara akan merasa tidak aman dan saling mencurigai. Isu keamanan akhirnya menjadi salah satu isu eksistensial bagi setiap negara.

Bayangkan bila keseimbangan kekuatan antar-negara di sebuah anarki terbagi menjadi dua negara besar, misal saat Uni Soviet dan Amerika Serikat (AS) masih menjadi negara adidaya di era Perang Dingin. Bukan tidak mungkin, isu kewarganegaraan ganda akan menjadi isu yang sensitif bagi banyak negara.

Ini sejalan dengan penjelasan Tomas Faist dalam tulisannya yang berjudul Multiple Citizenship in a Globalising World: The Politics of Dual Citizenship in Comparative Perspective. Faist menyebutkan bahwa dulunya kewarganegaraan dan kesetian politik tidak bisa dipisahkan sama sekali.

Salah satu contoh yang paling jelas adalah kewarganegaraan ganda kelompok Tionghoa di Indonesia pada era Soekarno. Sejumlah aturan memperbolehkan warga Tionghoa memiliki kewarganegaraan ganda, yakni Tiongkok dan Indonesia.

Namun, tumbuh kecurigaan tertentu dari publik Indonesia terhadap mereka yang berkewarganegaraan ganda. Ada anggapan bahwa pemerintah Tiongkok bisa melakukan intervensi terhadap Indonesia melalui mereka yang berkewarganegaraan ganda.

Harapan agar mereka memilih kewarganegaraan Indonesia juga terlihat dari sejumlah regulasi yang dikeluarkan Presiden Soekarno. Salah satunya adalah Undang-Undang (UU) Darurat No. 9 Tahun 1955 tentang Kependudukan Orang Asing yang bahkan bisa memberikan ancaman hukuman penjara bagi warga negara asing yang tidak memiliki dokumen-dokumen kependudukan yang legal.

Lantas, bila kewarganegaraan dahulu adalah isu yang sensitif, bagaimana dengan sekarang? Mengapa Luhut mendorong wacana ini?

Siasat Ekonomi dan Politik?

Seiring berjalannya waktu, kondisi dunia telah berubah. Isu keamanan menjadi isu yang lebih bisa ditangani. Sementara, negara-negara semakin saling terhubung satu sama lain.

Keterhubungan antarnegara di abad ke-21 ini membuat negara-negara memiliki kepentingan lebih kecil untuk berperang. Alhasil, ancaman keamanan juga ikut menurun.

Perpindahan individu dari satu negara ke negara lainnya juga terus meningkat. Ekonomi antarnegara akhirnya saling bergantung. Ini mengapa kini mulai banyak negara menerima kewarganegaraan ganda. 

Justru, dengan memberikan kewarganegaraan ganda juga membuat negara mendapatkan untung. Tulisan Carnegie yang berjudul Embracing Dual Nationality juga menjelaskan bahwa kewarganegaraan ganda justru membuat integrasi masyarakat imigran menjadi lebih cepat.

Inilah yang diinginkan oleh Presiden Soekarno kala itu, yakni agar komunitas Tionghoa yang masih menjadi warga negara Tiongkok bisa berintegrasi dengan cepat ke dalam masyarakat Indonesia. Apalagi, Indonesia kala itu membutuhkan dana pembangunan yang mereka bawa dari Tiongkok daratan.

Kini, Luhut mewacanakan agar kewarganegaraan ganda kembali diperbolehkan untuk diaspora. Wacana ini sebenarnya menguntungkan bagi pembangunan Indonesia.

Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia mengalami apa yang disebut sebagai brain drain, yakni berpindahnya warga-warga yang memiliki kemampuan tinggi keluar dari Indonesia. 

Berdasarkan data dari The Global Economy, Indonesia memiliki indeks brain drain sebesar 5,7. Sementara, rata-rata dunia kala itu berkisar pada 5,17.

Selain itu, dengan adanya kewarganegaraan ganda, ikatan kultural diaspora tidak begitu saja hilang dengan Indonesia. Ikatan ini akhirnya juga menguatkan ikatan mereka dengan keluarga di Indonesia.

Ini bisa berdampak baik bagi masuknya modal atau uang ke dalam Indonesia. Diaspora yang bekerja di luar negeri akhirnya bisa mengirimkan uangnya ke keluarganya di Indonesia, meningkatkan remitansi ke Indonesia.Well, bukan tidak mungkin, wacana ini bisa menguntungkan Indonesia ke depannya. Lagipula, mereka tetaplah orang Indonesia di benak mereka. Bukan begitu? (A43)


Exit mobile version