Setelah sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan vaksin Covid-19 gratis, Kementerian BUMN justru berencana menerapkan vaksin Gotong Royong berbayar pada 12 Juli. Mengapa RI-1 membiarkan pembantunya menerapkan kebijakan yang tidak selaras dengan pernyataannya?
“If a government official lies to you, it’s public service. If you lie to them, it’s a felony.” – James Bovard, ilmuwan politik asal Amerika Serikat
Pada akhir Juni, diskursus politik nasional dihebohkan oleh unggahan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) karena menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai The King of Lip Service.
Pelabelan tersebut bertolak dari empat pernyataan sang presiden yang terlihat kontras dengan kebijakannya. Pertama, pernyataan kangen didemo, namun berbagai aksi demonstrasi justru mendapatkan represi. Kedua, keinginan merevisi UU ITE, namun berbuah usulan pasal baru.
Ketiga, keinginan memperkuat KPK yang justru berakhir pada indikasi pelemahan. Keempat, penegasan Presiden Jokowi yang mempersilahkan Omnibus Law digugat di Mahkamah Konstitusi (MK) begitu kontras dengan pernyataan agar MK menolak semua gugatan terhadap UU Cipta Kerja.
Menariknya, alih-alih menjadikan pelabelan The King of Lip Service sebagai bahan refleksi, kebijakan pemerintah baru-baru ini justru semakin mempertegas label tersebut. Betapa tidak, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) rencananya akan menerapkan vaksin Gotong Royong berbayar pada 12 Juli.
Baca Juga: The King of Lip Service, Apa Salahnya?
Ini jelas kontras dengan pernyataan RI-1 pada 16 Desember 2020. “Dapat saya sampaikan bahwa vaksin Covid-19 untuk masyarakat adalah gratis. Sekali lagi gratis, tidak dikenakan biaya sama sekali,” begitu penegasan Presiden Jokowi.
Kendati Menteri BUMN Erick Thohir telah menegaskan vaksin Gotong Royong tidak menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan program ditunda, penegasan itu sekiranya tidak dapat membendung sangkaan publik bahwa pemerintah tengah berbisnis dengan rakyatnya. Ini misalnya diungkapkan oleh anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati.
Dengan keras, epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono bahkan menyebut motivasi terselubung vaksin Gotong Royong adalah bisnis, bukannya untuk membantu pengendalian pandemi.
Tentu pertanyaannya, mengapa Presiden Jokowi justru memberikan kesempatan untuk mempertegas pelabelan The King of Lip Service? Apakah ini mengafirmasi pernyataan satire James Bovard di awal tulisan, yakni kebohongan pemerintah adalah pelayanan publik?
Pohon Masalah
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat menggunakan metafora pohon. Inti persoalan yang dialami Presiden Jokowi sebenarnya satu, namun memiliki banyak cabang dan ranting. Metafora pohon juga digunakan oleh Stephen Palmquis dalam bukunya The Tree of Philosophy ketika menjelaskan apa itu filsafat.
Terkait vaksin Gotong Royong, di luar segala sentimen yang ada, masalahnya terletak pada ekonomi atau keterbatasan anggaran. Sebelum mengumumkan vaksin gratis pada 16 Desember tahun lalu, opsi vaksin berbayar sebenarnya telah digodok oleh pemerintah. Namun, kuatnya dorongan publik membuat Presiden Jokowi mengambil langkah berat untuk menggratiskan vaksin atas nama kemanusiaan.
Pada 30 Maret 2020, James Guild dalam tulisannya The Economic Consequences of Coronavirus in Indonesia, telah menegaskan bagaimana berbahayanya pandemi Covid-19 bagi perekonomian Indonesia.
Di tengah pandemi, perekonomian seluruh dunia tiba-tiba berada dalam posisi genting. Namun di Indonesia, situasinya lebih mengkhawatirkan. Masalahnya, di tengah ketidakpastian global yang tinggi, investor akan menjual aset berisiko dan mencari tempat yang lebih aman seperti uang tunai atau U.S. Treasury Bond.
Baca Juga: Mencari Kepemimpinan Krisis Jokowi
Menurut Guild, arus keluar modal (capital outflow) tersebut sangat memukul pasar negara berkembang, seperti Indonesia yang mengalami defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Indonesia juga disebut dapat mengalami krisis likuiditas.
Pada 2020, CAD Indonesia tercatat sebesar -0,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). VP Economist Bank Permata Josua Pardede memperkirakan angkanya melebar di kisaran -0,6 hingga -1 persen pada 2021.
Persoalan ini dilihat Guild telah menempatkan Presiden Jokowi berada di posisi dilematis. Tidak seperti Amerika Serikat (AS) yang memiliki fiskal tak terbatas, anggaran yang terbatas dan kondisi pasar modal yang goyah dinilai menjadi alasan mantan Wali Kota Solo ini tidak mengambil kebijakan lockdown.
Cukup disayangkan, mengacu pada penjelasan Guild, pemerintah tampaknya terlalu bergantung pada arus modal asing. Namun, tentu kita tidak dapat mengubah apa yang telah terjadi. Apa yang dapat dilakukan adalah mencari solusi berdasarkan situasi yang ada.
Cabang dan Ranting Masalah
Terkait hal ini, berbagai pihak menyarankan agar Presiden Jokowi melakukan realokasi anggaran infrastruktur untuk penanganan pandemi. Namun, seperti yang diketahui, saran tersebut justru belum dilakukan. Apakah ini menunjukkan pemerintah lebih memprioritaskan infrastruktur?
Sekiranya tidak. Masalahnya kemungkinan besar adalah memorandum of understanding (MoU) atau perjanjian kerja sama yang telah disepakati. Ini misalnya terjadi pada proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung.
Saat itu, berbagai pihak mempertanyakan alasan pemerintah lebih memilih Tiongkok daripada Jepang, kendati negeri Samurai dinilai memiliki perencanaan yang lebih matang dan bunga utang yang lebih rendah. Tiongkok 2 persen, Jepang 0,1 persen.
Tulisan Hafiz Amin Zamzam yang berjudul The Political Economy of Jakarta-Bandung High-Speed Rail Project in 2015-2016 dapat kita gunakan untuk menjawab keganjilan tersebut. Hafiz menemukan bahwa pemerintah Indonesia melalui mantan Menteri BUMN Rini Soemarno telah menandatangani tiga dari tujuh MoU dengan Tiongkok di Beijing pada 2015.
Baca Juga: Jokowi di Simpang Infrastruktur dan Pandemi
Nah, satu dari tiga MoU tersebut adalah proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung. Ini membuat pemerintah mengalami dilema dalam memilih antara Jepang atau Tiongkok untuk proyek tersebut. Dipilihnya Tiongkok sekiranya mempertegas bagaimana mengikatnya MoU yang telah ditandatangani.
Jika benar pemerintah telah terikat berbagai MoU, ini tampaknya membuat Presiden Jokowi tidak dapat begitu saja melakukan realokasi anggaran. Lalu, apa yang dapat dilakukan?
Sebenarnya, pemerintah dapat meminta bantuan kepada orang-orang terkaya di Indonesia. Kekayaan sepuluh orang terkaya di Indonesia, misalnya, bahkan menyentuh angka US$ 70,6 miliar atau sekitar Rp 1.024 triliun. Masing-masing ditarik 6 persen saja, pemerintah akan mendapatkan dana Rp 61,44 triliun.
Masalahnya, menurut keterangan beberapa pihak, Presiden Jokowi disebut tidak memiliki hubungan yang hangat dengan para konglomerat. Ini membuatnya akan sulit meminta bantuan semacam itu karena tidak memiliki kedekatan emosional.
Apalagi, sebagaimana yang ditegaskan dalam tulisan PinterPolitik.com sebelumnya, Jokowi Mulai Ditinggalkan?, tampaknya telah ada indikasi orang-orang sekitar Presiden Jokowi sudah mulai mencari proyeksi tunggangan kapal baru. Kekhawatiran ini juga diungkapkan oleh politisi Partai Gerindra Arief Poyuono.
“Saya berharap jangan ada menteri-menteri di kabinet dan orang-orang lingkaran Jokowi melakukan pengkhianatan terhadap Jokowi saat pemberlakuan PPKM Darurat,” begitu ujarnya.
Simpulan tersebut dapat diperkuat apabila kita membaca tulisan Yuki Fukuoka yang berjudul Politics, Business and the State in Post-Soeharto Indonesia. Menurutnya, dengan adanya kekuatan yang terpusat pada legislatif selepas amendemen, sistem patronase di Indonesia berubah menjadi patronase oligarkis.
Akibatnya, meskipun masih memiliki pengaruh yang kuat, presiden harus tetap memperhatikan berbagai kepentingan banyak pihak.
Singkatnya, kelompok kepentingan tersebut dapat dengan mudah berpaling dari presiden apabila RI-1 tidak mengakomodasi kepentingan mereka.
Well, pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan bahwa Presiden Jokowi sepertinya tidak ingin menunjukkan dirinya tengah berbohong. Melainkan, karena berbagai keadaan yang ada, lip service terpaksa dilakukan. (R53)