Di tengah kritik yang menghujani, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terus melanjutkan proyek Formula E. Di tengah situasi tidak menentu akibat pandemi Covid-19, mengapa Anies terlihat sangat berambisi melanjutkan proyek tersebut?
Walaupun di landa pandemi yang berimplikasi buruk pada ekonomi nasional, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan percaya diri tetap berambisi untuk mengadakan Formula E di tahun 2022. Untuk saat ini, Anies sudah menghabiskan uang sebesar Rp 1 triliun demi pelaksanaan Formula E.
Aliran dana yang besar turut menjadi pertanyaan. Pasalnya, Anies disebut telah menghabiskan dana sebesar Rp 400 miliar untuk commitment fee. Sementara, Ima Mahdiah, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, menyebut dana yang dihabiskan baru Rp 300 miliar.
Walaupun dilanda kritik atas Formula E yang dinilai memakan dana yang terlalu besar, Anies tetap bersikeras agar Formula E tetap dilaksanakan. Ia beralasan bahwa Formula E dapat menggenjot ekonomi masyarakat dan membawa citra baik Jakarta ke dunia internasional.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria mengatakan bahwa Jakarta tidak takut untuk mengucurkan dana yang besar karena tim independen telah mengkaji untung-rugi penyelenggaraan Formula E. Tidak jelas disebutkan kajian tim independen yang mana, yang pasti kajian tersebut menyebutkan Formula E akan membawa keuntungan ekonomi kepada masyarakat DKI.
Baca Juga: Anies Kelemahan Terbesar PSI?
Sikap Anies yang memaksa pelaksanaan Fomula E tentu memunculkan beberapa pertanyaan. Apakah benar Formula E menguntungkan masyarakat Jakarta atau sebenarnya Anies mengincar keuntungan politik dari proyek tersebut? Jika memang ada kepentingan politik, kira-kira keuntungan apa yang Anies peroleh?
Tabungan Elektabilitas untuk Menjadi Presiden?
Kita mengingat betul bahwa Asian Games yang dilaksanakan tahun 2018 berjalan dengan sukses. Kesuksesan itu membawa perhatian publik kepada sosok Erick Thorir yang saat itu menjabat sebagai Ketua Panitia Pelasana Asian Games (INASGOC) 2018. Asian Games pun disebut menjadi kendaraan Erick untuk menduduki posisi Menteri BUMN saat ini. Selain itu, pakar juga menyebutkan Asian Games berkontribusi dalam peningkatan elektabilitas Jokowi.
Jika memang benar Anies mengikuti resep dari Erick dan Jokowi, maka Formula E menjadi jawabannya. Melalui Formula E, Anies dapat melakukan kerja-kerja pembangunan yang mendukung Formula E. Anies dapat memenuhi kepentingan politiknya untuk meningkatkan elaktabilitas.
John Lauermann dalam tulisannya yang berjudul The Urban Politics of Mega Events menjelaskan bahwa mega events atau acara besar seperti Formula E dapat memberikan keuntungan legacy dan leveraging.
Legacy atau warisan yang dimaksud adalah acara besar sebagai bentuk investasi yang dapat digunakan di masa depan. Misalnya, stadium dapat digunakan latihan olahraga, perumahan atlet menjadi perumahan penduduk, dan sebagainya. Warisan dapat dilihat melalui hard legacies, seperti infrastruktur dan soft legacies, yakni pertumbuhan ekonomi dan investasi.
Kedua adalah leveraging, yakni acara besar juga dapat mendukung agenda yang tidak berhubungan dengan olahraga. Selain itu, Lauermann menjelaskan bahwa acara besar dapat menguntungkan kepentingan elite. Hal ini yang menjadi faktor pemimpin kota ingin mengadakan acara besar, yakni untuk mendorong ekonomi lokal.
Sejalan dengan penjelasan Lauremann, Anies menginginkan Formula E menjadi momentum untuk melakukan pembangunan infrastruktur. Dengan hal ini, diharapkan Formula E dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.
Baca Juga: Ada Siasat Airlangga-Anies 2024?
Meniru cara Erick Thohrir, jika Formula E dapat berjalan dengan sukses, maka elektabilitas Anies juga dapat meningkat. Elektabilitas ini dapat menjadi modal penting bagi Anies jika ingin mengikuti Pilpres 2024.
Sebenarnya, tanpa Formula E pun, elektabilitas Anies Baswedan sudah cukup baik. Lembaga Indikator Politik Indonesia yang merilis survei terkait suara anak muda terhadap isu politik Indonesia, misalnya, menempatkan Anies Baswedan di posisi tertinggi.
Apalagi, akhir-akhir ini Anies menyibukkan diri untuk blusukan ke warung dan masjid untuk bertemu warga. Fenomena ini menunjukkan Anies berusaha mengambil hati rakyat untuk meningkatkan elektabilitasnya. Tidak hanya di domestik, Anies juga disebut mencari muka di panggung internasional.
Anies mengatakan Formula E merupakan upaya untuk membawa Jakarta ke panggung internasional. Formula E dapat mengundang turis untuk mengunjungi Jakarta dan penonton di luar negeri melalui televisi internasional.
Apa yang dilakukan oleh Anies merupakan upaya nation branding. Ying Fan dalam tulisannya yang berjudul Branding the nation: towards a better understanding, menjelaskan bahwa nation branding dibutuhkan untuk membawa citra baik suatu negara ke dunia internasional terkait masyarakatnya, budaya, politik dan kebijakan domestiknya.
Formula E dapat membawa citra positif Jakarta ke masyarakat internasional. Dengan membawa Jakarta ke panggung internasional, nama Anies otomatis juga terseret sebagai Gubernur DKI Jakarta yang berhasil menyukseskan Formula E.
Anies memiliki rekam jejak yang baik di panggung internasional. Penghargaan 21 Heroes yang diberikan oleh lembaga Transformative Urban Mobility Initiative (TUMI) kepada Anies menjadi salah satu contohnya. Peghargaan ini diberikan sebagai bentuk apresiasi Anies yang mendorong kebijakan transportasi urban yang berkelanjutan.
Maka dari itu, dilihat dari elaktabilitas domestik dan dukungan internasional, Anies memiliki modal yang kuat untuk membawa dirinya di Pilpres 2024. Namun, mungkinkah pasti terjadi demikian?
Mega Event Syndrome?
Victor A. Matheson dan Robert A Baade pada tulisannya Mega Sporting Events in Developing Nations menjelaskan mega event syndrome. Pada konteks Jakarta, sindrom ini dapat dilihat dari ambisi Anies untuk merealisasi Formula E, walaupun acara tersebut tinggi akan risiko.
Matheson dan Baade mengidentifikasi beberapa gejala negara yang mengalami mega event syndrome.
Pertama, keuntungan yang dibesar-besarkan. Obsesi negara berkembang menjadi host acara olahraga besar didasari oleh pertumbuhan ekonomi yang diglorifikasi dan dibesar-besarkan. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan belum tentu sesuai dengan realitanya.
Matheson Baade menjelaskan bahwa acara besar memberikan dampak negatif ekonomi yang lebih besar kepada negara berkembang daripada negara maju. Masyarakat lokal di negara berkembang enggan untuk membeli tiket mahal untuk menonton acara olahraga.
Selain itu, acara olahraga yang dilaksanakan di negara maju akan lebih mengundang turis daripada di negara berkembang. Turis enggan untuk mengunjungi negara berkembang yang didasari oleh kekhawatiran keamanan, akomodasi, infrastruktur dan lain-lain.
Baca Juga: Anies dan “Tangan Dingin” Surya Paloh
Kedua, underestimation of cost atau tindakan yang meremehkan budget. Hal ini terlihat pada sikap Anies yang tidak enggan mengeluarkan uang sebesar Rp 400 miliar untuk commitment fee serta Rp 1 triliun untuk mewujudkan Formula E. Biaya yang besar ini menuai kritik dari pejabat pemerintah dan masyarakat.
Ketiga, event takeover. Acara olahraga yang besar akan membutuhkan lapangan atau tempat yang besar dan bahkan mendominasi suatu wilayah di kota tersebut. Anies akan membutuhkan area yang besar untuk venue area balap Formula E. Monas menjadi pilihan pertama bagi Anies sebagai ikon Kota Jakarta.
Pemilihan venue di Monas bahkan dinilai terkesan politis karena pada awalnya dilarang untuk mengajukan venue di Monas. Namun, sekarang Anies diizinkan untuk menjadikan Monas sebagai venue Formula E.
Keempat, elite capture. Formula E dapat memberikan keuntungan kepada kelompok elite di Indonesia. Anies menggandeng beberapa pihak swasta untuk mencari alternative venue Formula E. Politisi PDIP Ruhut Sitompul mengaku mengenal beberapa pengusaha yang terlibat pada pengucuran dana Formula E. Namun, Ruhut tidak menyebutkan siapa pihak yang terlibat.
Kelima, event fix. Acara olahraga yang memiliki tenggat waktu pasti akan berdampak pada akselerasi pembangunan infrastruktur. Pembangunan fisik untuk Formula E memang belum terlihat, tetapi pembangunan akselerasi sangat mungkin untuk terjadi. Pembangunan yang dipercepat biasanya akan merugikan masyarakat dan menghasilkan isu sosial, seperti penggusuran paksa.
Pada kesimpulannya, sikap ngotot Anies untuk mengadakan Formula E tampaknya menggambarkan Jakarta yang sedang mengalami Mega Event Syndrome. Anies terkesan menutup mata terhadap risiko yang dipertaruhkan untuk Formula E. Selain itu, Formula E juga tidak memberikan jaminan akan menguntungkan masyarakat, seperti yang terus digaungkannya. (R66)