HomeNalar PolitikApa Bisa #2019GantiPresiden?

Apa Bisa #2019GantiPresiden?

“Yang bisa ganti Presiden itu rakyat. Kalau rakyat berkehendak ya bisa, kalau rakyat nggak mau ya nggak bisa. Yang kedua, ada kehendak dari Allah SWT.~ Jokowi


PinterPolitik.com

[dropcap]S[/dropcap]ebuah pemandangan tidak biasa hadir di Ballroom Puri Begawan, Bogor. Saat itu, Presiden Jokowi yang biasanya terlihat sangat santai jadi tampak berapi-api. Dia menyampaikan pidato menggelegar dalam menanggapi isu yang belakangan beredar di media sosial, yaitu #2019GantiPresiden.

Banyak yang tidak menduga kalau Sang Presiden akan merespons gerakan tanda pagar alias tagar (hashtag) yang tengah ramai di media sosial tersebut. Bagi sebagian orang, tagar tersebut tidak lain hanyalah tagar biasa yang didengungkan oleh kelompok orang biasa, menjelang pesta demokrasi di 2019 nanti.

Lihat saja bagaimana Presiden PKS Sohibul Iman menanggapai tagar tersebut. PKS, sebagai pencetus dari gerakan tersebut menilai, tagar itu hanya bentuk ekspresi biasa. Menurutnya, tagar itu tidak perlu ditanggapi serius apalagi sampai kebakaran jenggot.

Meski begitu, tampaknya bagi kubu Jokowi, tagar tersebut dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan. Banyak dari pendukungnya menanggapi wacana tersebut secara serius. Jokowi sendiri sampai harus berpidato menanggapi gagasan tersebut. Benarkah tagar tersebut adalah hal yang benar-benar mengkhawatirkan?

Raja Media Sosial

Tagar #2019GantiPresiden sempat merajai media sosial Twitter selama beberapa saat. Wacana ini digunakan oleh kelompok yang memilih posisi berseberangan dengan Jokowi, seperti PKS. Tagar ini sendiri disebut-sebut dicetuskan oleh politikus partai berlogo bulan dan padi tersebut, yaitu Mardani Ali Sera.

Untuk sebuah wacana di media sosial, wacana ini tergolong mampu bertahan selama berhari-hari. Hingga hari ini, tagar tersebut masih digunakan oleh beberapa orang dalam kiriman mereka saat berinteraksi di media sosial.

Wacana ini disebut-sebut berhembus sebagai alternatif dari wacana tagar lainnya yang sudah lebih dulu beredar, seperti #Jokowi2Periode atau #LanjutkanJokowi. Tagar #2019GantiPresiden kerapkali bersaing dengan kedua tagar tersebut dalam menarik perhatian Warganet.

Tidak hanya berhenti di media sosial, perlahan-lahan wacana tersebut mulai merambah di dunia nyata. Berbagai marketing gimmick seperti kaos, gelang, topi, dan lain sebagainya mulai diperdagangkan mengikuti gelombang tagar tersebut.

Meski sempat bergaung di media sosial, tagar tersebut sepertinya sejauh ini hanya menjadi wacana belaka. Sohibul Iman mengakui bahwa wacana ini memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan yang paling utama adalah jika Jokowi harus diganti, pengguna tagar masih belum menyiapkan sosok penggantinya.

Apa Tagar Saja Cukup?

Di atas kertas, wacana #2019GantiPresiden dapat dikatakan sah-sah saja. Di era yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, tagar ini merupakan salah satu bagian dari kondisi tersebut.

Tagar ini bisa dikategorikan hanya sebagai kritik semata. Isu yang bergulir di media sosial tersebut tidak lain hanya sebuah wacana alternatif yang dihadirkan oleh kelompok oposisi. Isu ini bisa dikatakan sebagai bentuk rasa tidak puas kelompok oposisi terhadap kepemimpinan Jokowi.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Beberapa pihak mengaitkan tagar tersebut dengan gerakan berbau makar. Kelompok pendukung Jokowi sempat ingin membawa wacana tersebut untuk dibawa ke ranah hukum. Terlebih, ada grup Whatsapp Ganti Presiden 2019 yang menyertai isu tersebut.

Meski begitu, sejauh ini sulit untuk melihat wacana tersebut sebagai upaya makar. Sekilas, tidak ada unsur pelanggaran hukum dari diskursus yang bergulir di media sosial. Lain soal jika wacana tersebut disertai dengan makian kepada orang nomor satu di negeri ini. Pelanggaran hukum baru terjadi jika unsur seperti itu telah dipenuhi.

Sebagaimana disebut oleh Mardani, sang pencetus, tagar ini merupakan langkah yang konstitusional. Tidak ada upaya untuk menggulingkan pemerintahan yang sah melalui tagar tersebut. Melalui tagar, wacana yang bergulir justru tergolong demokratis.

Penggoreng isu ganti presiden memilih menunggu hingga Pemilu 2019, agar terjadi pergantian kekuasaan di negeri ini. Wacana yang berkembang, bukanlah wacana seperti makar atau kudeta untuk mengganti pemerintahan yang berkuasa saat ini. Memberi gagasan alternatif  merupakan hal yang lumrah dalam alam demokrasi.

Tagar tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk kampanye yang menarik. Bagi kelompok pendukung Jokowi, tagar tersebut dapat dianggap sebagai serangan tiba-tiba yang memanaskan suasana.

Meski tergolong viral, kelanjutan dari gagasan tersebut masih perlu ditunggu. Sejauh ini, dampak dari tagar ini masih belum benar-benar besar. Salah satu penyebab minimnya dampak dari isu tersebut adalah wacana ini cenderung hanya besar di kelompok oposisi. Wacana ini masih belum terlihat menyentuh golongan lain seperti massa mengambang atau bahkan kelompok pendukung pemerintah.

Tagar itu terlihat belum mengurangi tingkat kesukaan masyarakat kepada Jokowi. Bagi beberapa orang, tagar tersebut justru menguntungkan karena bisa menimbulkan simpati dan membakar semangat para pendukung Jokowi.

Narasi yang muncul dari tagar itu juga terlihat masih sebatas asal bukan Jokowi di tahun 2019 nanti. Tidak nampak narasi-narasi baru soal keburukan pemerintahan saat ini. Salah satu yang paling penting, tidak muncul tokoh oposisi yang benar-benar siap menjadi pengganti Jokowi di 2019 nanti.

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Fakta inilah yang seharusnya membuat tagar tersebut bukanlah sesuatu yang harus benar-benar diberikan perhatian serius. Dibutuhkan lebih dari sekadar kaos atau tagar , agar #2019GantiPresiden bisa benar-benar terwujud. Jika wacana itu berkembang menjadi sebuah gerakan, masih banyak yang harus dipenuhi agar wacana dapat menjadi kenyataan.

Jokowi dan #2019GantiPresiden

Setelah berhari-hari mewarnai media sosial, tagar tersebut mendapat perhatian dari kelompok pendukung Jokowi. Banyak politikus dari partai pendukung Jokowi memberikan respons mengecam tagar #2019GantiPresiden tersebut.

Yang menarik adalah tanggapan Presiden Jokowi terhadap wacana tersebut. Publik bertanya-tanya mengapa Jokowi sampai harus merespons tagar #2019GantiPresiden. Beberapa orang menganggap tidak lazim sang presiden memberikan respons semacam itu.

Bagi beberapa orang, respons yang dilakukan oleh Jokowi tergolong santai dan tidak menunjukkan kebakaran jenggot. Akan tetapi, bagi sebagian orang yang lain, ia tidak perlu melakukan respons apapun terhadap isu tersebut.

Apa Bisa #2019GantiPresiden?

Sebagaimana disebut sebelumnya, tagar itu bukanlah sesuatu yang benar-benar mengkhawatirkan. Munculnya wacana dari kelompok oposisi merupakan hal yang wajar-wajar saja di dalam negara yang menganut demokrasi.

Pidato Jokowi bisa saja menjadi sinyal bahwa mantan Walikota Solo tersebut mulai gerah dengan wacana yang terus-menerus bergulir di media sosial. Dalam beberapa kesempatan, ia kerap bersikap responsif soal isu miring yang menerpa dirinya.

Sebelum tagar tersebut mengemuka, Jokowi misalnya, pernah merespons soal isu dirinya antek PKI. Ia menyebut bahwa isu tersebut adalah isu yang salah kaprah, karena saat partai tersebut aktif, dirinya masih berusia balita sehingga tidak mungkin menjadi kader partai berlogo palu arit tersebut.

Mantan Gubernur Jakarta tersebut juga tergolong cepat merespons isu utang negara yang terus-menerus dialamatkan padanya. Ia menanggapi isu tersebut dengan menyebut bahwa utang tersebut tidak tiba-tiba muncul di masa kepemimpinannya saja.

Bagi beberapa kalangan, sikap responsif sang Presiden kerap diartikan sebagai sebuah langkah panik yang tidak perlu. Akan tetapi, bisa saja ada maksud lain dari langkah orang nomor satu tersebut. Hal ini bisa saja semacam psywar  atau perang urat saraf.

Menurut filsuf  Jacques Ellul, perang urat saraf merupakan praktik yang damai untuk menunjukkan agresi secara tidak langsung. Jokowi yang kerap memilih topik lain untuk menanggapi kritik oposisi bisa saja mulai menyiapkan kontra strategi dari kritik tersebut. Mantan Wali Kota Solo ini bisa saja mengirim sinyal bahwa kelompok oposisi tidak lagi bisa sembarangan mengritiknya.

Pidato Jokowi bisa diartikan sebagai serangan balik terhadap kelompok oposisi yang menyerangnya dari berbagai sisi. Dengan pidato tersebut, Jokowi seperti mengisyaratkan bahwa oposisi tidak lagi bisa main-main, karena ia sudah merespons kritik dan wacana liar terhadapnya. Pidato tersebut juga bisa membakar relawan-relawannya agar terjadi #Jokowi2Periode alih-alih #2019GantiPresiden. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...