Site icon PinterPolitik.com

Apa Alasan Militer Tiongkok Melesat?

china

Orang-orang berdiri di depan gambar pemimpin Tiongkok Xi Jinping di Museum Partai Komunis Tiongkok di Beijing. (Foto: AFP/Getty/Noel Celis)

Dengarkan artikel berikut:

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2024/09/selain-kemajuan-ekonomi.mp3

Beberapa tahun terakhir militer Tiongkok berhasil berkembang pesat, mereka bahkan bisa ciptakan kapal induk sendiri. Apa kunci kesuksesannya?


PinterPolitik.com

Beberapa waktu lalu, dunia zempat dikejutkan dengan kemajuan pesat dalam pengembangan militer Tiongkok. Pada bulan Juni 2022 khususnya, militer Tiongkok berhasil menjadi perhatian dunia setelah meluncurkan kapal induk ketiganya, Fujian.

Kapal ini menjadi sorotan karena merupakan kapal induk pertama yang sepenuhnya didesain dan diproduksi di dalam negeri.Menurut Matthew Funaiole dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Fujian adalah kapal induk modern pertama Tiongkok dengan kemampuan yang sangat canggih.

Dilengkapi dengan sistem peluncuran berbantuan katapel elektromagnetik, kapal ini dapat meluncurkan jet tempur lebih cepat dan mengangkut lebih banyak amunisi, menempatkannya sebagai saingan serius bagi kapal induk Amerika Serikat Gerald R. Ford. Fujian pun memperkuat posisi Tiongkok sebagai kekuatan laut terbesar kedua di dunia.

Namun, ini hanyalah salah satu dari serangkaian perkembangan militer terbaru Tiongkok. Pada 2023, Tiongkok dikabarkan membangun pangkalan militer baru di Kamboja, yang menimbulkan kekhawatiran baru di kawasan Asia Tenggara, terutama terkait ambisi Tiongkok di Laut China Selatan. Langkah ini dipandang sebagai strategi memperluas pengaruh militer Tiongkok di wilayah yang penuh dengan sengketa.

Penguatan militer Tiongkok pun tampak semakin kuat dari aspek finansial. Data terbaru dari Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) menunjukkan bahwa anggaran pertahanan Tiongkok terus meningkat. Pada 2023, anggaran pertahanan Tiongkok mencapai US$ 224,8 miliar, naik 7,2% dari tahun sebelumnya.

Ini menandai tahun ke-28 berturut-turut di mana anggaran militer Tiongkok mengalami peningkatan, meski dunia tengah dilanda berbagai krisis, termasuk dampak pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.

Dengan tren ini, muncul pertanyaan mengapa Tiongkok terus meningkatkan kekuatan militernya di saat banyak negara mengalami tantangan ekonomi yang signifikan. Kira-kira apa rahasia menguatnya militer Tiongkok?

Teknologi Fungsi Ganda Kuncinya?

Selain kemajuan ekonomi, pesatnya perkembangan militer Tiongkok juga menarik perhatian dunia. Sebelumnya tersembunyi di balik bayang-bayang negara besar lainnya seperti Uni Soviet dan Eropa, Tiongkok tiba-tiba muncul sebagai kekuatan militer terkuat kedua di dunia setelah berakhirnya Perang Dingin.


Bagaimana ini bisa terjadi? Setidaknya ada tiga faktor yang menjelaskannya. Pertama, pemerintah Tiongkok menerapkan strategi yang disebut *military-civil fusion* (MCF). Strategi ini bertujuan untuk melakukan reformasi di industri pertahanan Tiongkok dengan cara mendorong sektor swasta untuk berinvestasi dan memproduksi peralatan yang juga dapat digunakan oleh militer.


Reformasi ini bertujuan untuk mengurangi beban administratif bagi perusahaan pertahanan swasta dan mendorong persaingan yang lebih kuat di industri pertahanan Tiongkok. Strategi ini sebenarnya sudah dimulai sejak era Mao Zedong, namun menurut Richard Bitzinger dari S. Rajaratnam School of International Studies, konsep Military-Civil Fusion (MCF) di bawah kepemimpinan Xi Jinping jauh lebih ambisius dibandingkan para pendahulunya.


MCF ini juga diterapkan saat pandemi Covid-19 melanda Tiongkok. Dengan alasan menjaga keamanan nasional dan memastikan distribusi vaksin yang cepat, pemerintah Tiongkok memanfaatkan situasi pandemi untuk memperkuat latihan militer.


Selanjutnya, Tiongkok memanfaatkan perkembangan teknologi. Dalam bukunya US-China Technological “Decoupling”, Jon Bateman menyatakan bahwa kunci perkembangan militer Tiongkok terletak pada kemajuan teknologi. Pemerintah Tiongkok mampu memanfaatkan kapasitas riset dari berbagai perusahaan dan universitas untuk mengembangkan teknologi militer, dengan memberikan insentif serta dukungan politik.


Menurut penelitian dari Australian Strategy Policy Institute (ASPI), Partai Komunis Tiongkok (PKT) memiliki hubungan erat dengan sejumlah perusahaan teknologi besar di Tiongkok. Ini memungkinkan semua kegiatan riset dan pengembangan diarahkan untuk mendukung kepentingan pertahanan negara.


Selain itu, Tiongkok juga dikenal karena kemampuannya dalam “meniru” teknologi militer dari negara-negara besar. Pengamat militer Kris Osborn dalam artikelnya *China Loves to Steal U.S. Military Technology. Next: The U.S. Military’s Tactics?* menjelaskan bahwa salah satu alasan mengapa teknologi militer Tiongkok berkembang begitu pesat adalah karena mereka meniru teknologi dari negara lain, lalu memproduksinya dengan biaya yang lebih murah dan dalam jumlah yang lebih besar.


Keunggulan Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi turut memperkuat posisi ini, karena sektor industri Tiongkok mampu mendukung proses produksi dalam skala besar.
Menariknya, pesatnya perkembangan teknologi militer Tiongkok sebenarnya didorong oleh konsep yang menjadikan Amerika Serikat sebagai kekuatan militer global, yaitu military-industrial complex. Konsep ini memandang bahwa hubungan antara militer dan industri suatu negara harus dilihat sebagai satu kesatuan.


Presiden AS ke-34, Dwight D. Eisenhower, dalam pidato perpisahannya pada 17 Januari 1961, memperkenalkan istilah ini dengan harapan industri AS di masa depan dapat dimanfaatkan untuk menjaga pertahanan nasional. Di era modern, faktor politik, ekonomi, sosial, dan spiritual semuanya berkaitan dengan kemampuan suatu negara untuk melindungi kedaulatannya.


Dengan menerapkan konsep ini, Tiongkok berhasil bangkit sebagai pesaing utama AS, tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga militer. Melihat tren saat ini, tantangan dari Tiongkok dipastikan akan terus berlanjut.


Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa Tiongkok bisa begitu percaya diri dalam meningkatkan kekuatan militernya? Dan mengapa Amerika Serikat tidak bertindak dengan cara yang sama, seperti yang dilakukan selama Perang Dingin melawan Uni Soviet?

Kesalahan Paman Sam?

Berbeda dengan Uni Soviet, meskipun Amerika Serikat beberapa kali tampak mengancam kemajuan militer Tiongkok, ancaman ini sebagian besar masih dianggap sebagai retorika belaka. Faktanya, Tiongkok belum termasuk dalam daftar “negara musuh” dalam Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi (CAATSA).

Beberapa pihak berpendapat bahwa ini terjadi karena AS tidak menganggap militer Tiongkok sebagai ancaman serius. Namun, pandangan ini tampaknya kurang tepat.

Dalam tulisan mereka di Politico berjudul The U.S. Overestimated Russia’s Military Might. Is it Underestimating China’s?, Nahal Toosi dan Lara Seligman menilai bahwa ada kekeliruan AS dalam memperkirakan potensi ancaman militer Tiongkok. Menurut seorang pejabat dalam pemerintahan Biden yang tidak disebutkan namanya, saat ini AS sedang melakukan tinjauan besar-besaran terhadap data intelijen mereka. Salah satu perhatian utama dalam tinjauan ini adalah permintaan mendesak dari para pejabat AS untuk mengevaluasi kembali kemampuan militer Tiongkok.

Proses ini dipicu oleh kemampuan pemerintah Tiongkok untuk menyembunyikan kemajuan militernya, serta fakta bahwa fokus spionase AS dalam beberapa tahun terakhir lebih terpusat pada konflik di Eropa dan Rusia.

Selain itu, Toosi dan Seligman juga menemukan bahwa kurangnya kepastian intelijen tentang potensi militer Tiongkok dipengaruhi oleh upaya Xi Jinping untuk memberantas mata-mata asing di Tiongkok. Dalam laporan New York Times pada tahun 2017 berjudul Killing C.I.A Informants, China Crippled US Spying Operations, dilaporkan bahwa sejak tahun 2010, pemerintah Tiongkok secara sistematis telah membunuh atau memenjarakan banyak informan CIA, sehingga melumpuhkan operasi intelijen AS selama bertahun-tahun.

Jika informasi ini benar, maka bisa disimpulkan bahwa Tiongkok telah menggunakan taktik pengelabuan untuk meningkatkan kekuatan militernya tanpa terdeteksi oleh lawan. Selain itu, di tengah pandemi Covid-19 dan konflik Ukraina yang menarik perhatian global, Tiongkok berhasil memperkuat posisinya di arena geopolitik tanpa menghadapi intervensi besar dari AS.

Strategi ini mengingatkan pada ajaran filsuf Tiongkok, Sun Tzu, dalam Thirty-Six Stratagems, yang menyebutkan strategi “deceive the heavens to cross the sea”—sebuah upaya untuk menyembunyikan gerakan agar lawan tidak bisa memprediksi langkah selanjutnya. Mungkin saja, Xi Jinping berhasil menerapkan strategi ini dengan sukses.

Meskipun bangkitnya Tiongkok sebagai kekuatan geopolitik di Asia Pasifik patut diakui, Indonesia sebagai tetangga dekat juga perlu waspada terhadap dampaknya pada pertahanan dan keamanan negara. Selain ancaman militer konvensional, kita juga harus memperhatikan potensi pertempuran di dunia perang asimetris di masa depan. (D74)

Exit mobile version