Kabar tak baik datang dari proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) setelah negosiasi pinjaman Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dengan China Development Bank (CDB) belum berhasil. APBN pun diketahui bisa saja menjadi “korban” jaminan proyek tersebut. Lalu, benarkah pemerintah kini di ambang jebakan dilema utang Tiongkok?
Berbagai kritik cukup tajam kembali melingkupi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) setelah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan disebut gagal melakukan negosiasi bunga pinjaman.
Saat bertandang ke Beijing untuk berbicara dengan China Development Bank (CDB) beberapa waktu lalu, keinginan pemerintah Indonesia agar bunga pinjaman proyek turun dari 4 persen ke 2 persen harus kandas.
Hanya mendapatkan penurunan di level 3,4 persen, Luhut menyebut pemerintah belum menyerah dan akan kembali melakukan negosiasi lanjutan.
Tak hanya kabar bunga, Tiongkok juga bersikukuh meminta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menjadi jaminan utang. Namun, Luhut tak mengiyakan permintaan tersebut dan merekomendasikan penjaminan dilakukan melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero).
Namun dengan berbagai kendala yang ada, Luhut tetap berharap KCJB akan memulai beroperasi pada Agustus 2023 mendatang sebagai hadiah HUT ke-78 RI dan akan diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan beban utang yang ditanggung akan sangat berat dan ujungnya kemungkinan memang akan mengandalkan APBN.
Bahkan, skenario yang merugikan bisa saja terjadi jika utang tersebut gagal dibayar. Konsesi pengelolaan kereta cepat dikatakan bisa diambil alih oleh kreditur Tiongkok, yang mana pemasukan dari tiket kereta pun akan langsung jadi pendapatan mereka.
Gagal bayar utang juga bisa berimbas pada kepercayaan investor yang dapat membuat rupiah melemah cukup dalam karena keluarnya dana asing. Defisit APBN pun bisa melebar dan sulit ditutup dengan penerbitan utang baru.
Namun, beberapa analis termasuk Bhima menilai yang menjadi permasalah saat ini bukan hanya soal negosiasi bunga, tetapi persoalan pembengkakan biaya pembangunan atau cost overrun yang mencapai 1,2 miliar dolar AS (Rp17,89 triliun).
Prahara yang kembali muncul itu seolah kembali mengingatkan semua pihak atas kritik dan harapan agar proyek ambisius itu dipertimbangkan kembali untuk benar-benar dieksekusi.
Terlebih di awal perencanaannya, Menteri Perhubungan periode 2014-2016 Ignasius Jonan sempat menolak proyek tersebut. Mulai dari kecepatan kereta serta rute yang terlalu pendek, soal perizinan, hingga konsesi serta jaminan apabila proyek tersendat di tengah jalan menjadi alasan penolakan Jonan.
Selain itu, hantu berupa jebakan utang atau debt trap Tiongkok yang telah mendera negara-negara lain akibat proyek ambisius telah sejak awal pula diwanti-wanti.
Lantas, mengapa pemerintah, baik Presiden Jokowi maupun Menko Luhut seolah tetap yakin bahwa proyek dan mekanisme pendanaan maupun pinjaman KCJB akan tetap berjalan? Serta benarkah Indonesia sudah di “tepi jurang” jebakan utang Tiongkok?
Bukan Ambisi Politik Belaka?
Sejumlah kalangan, bahkan hingga para pakar, menilai proyek kereta cepat yang tetap dikerjakan meski mendapat kritikan sejak awal hanya berlandaskan “nafsu” belaka. Salah satunya yang dikatakan Dosen Nanyang Technological University (NTU) Singapura Sulfikar Amir.
“Makanya kalo bikin proyek yang super mahal dan jangka panjang kudu dihitung dengan benar pake sains, bukan pake nafsu,” begitu sentilan Sulfikar yang memang kerap menganalisis secara mendalam berbagai kebijakan pemerintah.
Proyek KCJB yang jamak dinilai beraroma nafsu politik juga turut menarik perhatian Asisten Profesor Ilmu Politik di North Carolina State University Jessica C. Liao.
Dalam publikasinya yang berjudul Easy Money and Political Opportunism: How China and Japan’s High-Speed Rail Competition in Indonesia drives financially risky projects, Liao menganalisis terdapat semacam oportunisme politik Presiden Jokowi di balik pembangunan proyek ambisius tersebut.
Sementara itu, Hafiz Amin Zamzam dalam tulisannya yang berjudul The Political Economy of Jakarta-Bandung High-Speed Rail Project in 2015-2016 menjelaskan keputusan dipilihnya Tiongkok daripada Jepang sebenarnya bukanlah karena alasan bisnis seperti yang diungkapkan, melainkan memiliki dimensi politik tersendiri.
Akan tetapi, jika ditelisik lebih dalam dengan berkaca pada proses perencanaan proyek sejak awal, interpretasi motif akuisisi kepentingan ekonomi dan politik secara subjektif oleh “elite lokal” terkait kiranya turut mengemuka.
Sistem kerja sama pembangunan, termasuk pendanaan, pada mulanya memiliki skema business to business (B2B). Namun, pembengkakan biaya atau cost overrun yang semestinya telah diprediksi bukan berasal dari pembebasan lahan, melainkan dari teknis konstruksi.
Dengan kata lain, terdapat kemungkinan perencanaan biaya pembangunan KCJB yang dilakukan dengan tidak semestinya. Atau lebih buruk, ada yang ditutupi.
Itu dikarenakan, dari rerata cost overrun pembangunan jaringan kereta di dunia dikatakan “hanya” sebesar 38 persen, sementara KCJB kini telah mencapai 43 persen.
Selain sejak awal diiringi kritik dan kekhawatiran yang kini menjadi nyata, mekanisme pinjaman Tiongkok atas pembangunan proyek di berbagai negara telah cukup banyak memiliki studi kritisnya masing-masing.
Tak terkecuali mengenai jebakan utang atau debt trap yang kerap mengemuka dari pinjaman dana Negeri Tirai Bambu.
Singkatnya, tanpa tendensi apa pun, terdapat tiga probabilitas di balik tetap di-gaspol-nya proyek KCJB yang kemungkinan berkelindan dengan oportunisme maupun “nafsu” politik sebagaimana yang dijelaskan Liao sebelumnya.
Pertama, pihak Tiongkok tak memiliki komitmen perjanjian yang baik serta proporsional bagi semua pihak. Kedua, pemerintah ingin menjamin investasi Tiongkok di bidang lain tetap berjalan, baik dalam koridor formal atau yang mungkin berkorelasi dengan kemungkinan ketiga, yakni eksistensi oknum “berkuasa” yang mendapat keuntungan personal maupun kelompok dari proyek KCJB.
Lalu, kembali membahas permintaan jaminan APBN yang tentu memiliki makna khusus, apakah Tiongkok menyadari bahwa proyek kereta cepat dapat menjadi cara jitu untuk “menjerat” dan “mengendalikan” Indonesia?
Auto Terjebak?
Makna khusus di balik request jaminan APBN atas utang proyek KCJB turut dipertanyakan oleh pengamat ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita.
Menurutnya, terdapat tanda tanya besar apakah Tiongkok memang melihat proyek kereta cepat tidak layak dan utangnya berpotensi tidak mampu dibayar sehingga mereka pada akhirnya meminta jaminan anggaran negara Indonesia yang begitu vital.
Jika memang Tiongkok telah memahami skenario tersebut, di samping kemungkinan peran “oknum” dengan kepentingan tertentu, maka kekuatan Tiongkok kiranya sedang bekerja.
Frasa debt trap yang kerap dikatakan menjadi strategi dan bentuk soft power ekonomi-politik Tiongkok, efeknya kemungkinan tidak se-soft yang dirasakan negara target mereka.
Dalam buku berjudul States and Markets, Susan Strange menjelaskan konsep structural power untuk menjelaskan eksistensi kekuatan aktor negara dominan untuk membentuk pola interaksi dengan negara lain yang lebih lemah.
Dalam beberapa literatur, structural power dapat menggambarkan muara penerapan aturan main Tiongkok atas pinjaman dananya (power) kepada negara lain, baik yang mengalami hambatan negosiasi di tengah jalan maupun yang jatuh tempo, sehingga disebut sebagai sebuah jebakan utang.
Yang pasti, sebelum kereta cepat dapat dinikmati, rakyat dan Indonesia sebagai sebuah negara dapat dipastikan telah memiliki beban besar untuk membayar tumpukan utang asal Tiongkok dengan segala risikonya.
Terlebih, janji para pembuat keputusan strategis terkait sangat sering tak ditepati. Salah satunya soal tak menyentuh APBN sedikitpun untuk mewujudkan proyek ambisius KCJB.
Dengan kekecewaan, sentimen sinis, dan segala dampak negatif yang telah dan akan terjadi mengenai kereta cepat, ekspektasi agar ada gebrakan kebijakan untuk membuat Indonesia tak “terjebak utang” terlalu dalam harus diupayakan.
Tentunya, upaya dari para pihak pembuat keputusan yang turut diharapkan memiliki hati nurani demi menghindari kemudaratan bangsa. (J61)