Kongsi partai politik di Pilkada Jakarta secara naif membagi partai menjadi ‘kubu Ahok’ dan ‘kubu Anies’. Di level Kabupaten dan Provinsi, ternyata tidak demikian, mengapa?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]R[/dropcap]idwan Kamil resmi maju ke gelanggang Pemilihan Gubernur Jawa Barat tahun 2018 mendatang. Modalnya sudah cukup, selain persona internet yang menawan; humoris, dekat dengan rakyat, sayang istri, tampan, gagah, dan islam, beliau membawa restu Partai Nasional Demokrasi atau Nasdem di tangannya.
Walaupun sempat membuat Gerindra ‘cemburu’, karena didahului Nasdem untuk mengusung beliau, kelihatannya Ridwan Kamil tak terlalu terpengaruh. “Dua-duanya tentunya saya ucapkan terima kasih. Karena saya kalau ikut Gubernur pun kan ke Bandungnya selesai lima tahun. Berakhirnya sama,” ujarnya pada Rabu (15/03).
Di media sosial Instagram miliknya, ia kembali menghaturkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah menyatakan dukungan kepadanya.
Pada perjalanan menuju kursi Walikota Bandung pada tahun 2013 lalu, Ridwan Kamil memang berhasil melenggang berkat usungan Partai Gerindra dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Kini, kerjanya terhadap Bandung, seakan mendapat pengakuan dengan banyaknya partai politik yang mendukungnya, termasuk partai yang dianggap berlawanan dengan partai pengusungnya terdahulu.
Akrobat Partai Politik Indonesia
Partai politik menurut Miriam Budiarjo dalam ‘Dasar-Dasar Ilmu Politik’, adalah suatu kelompok terorganisir yang anggotanya secara umum dapat dikatakan memiliki orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan program-programnya.
Di Jakarta, keadaan masih panas karena pertarungan kubu Anies Baswedan – Sandiaga Uno dengan Ahok – Djarot dalam merebut kekuasaan dan kedudukan politik sebagai Gubernur. Pilkada Jakarta dari permukaan membagi partai menjadi partai ‘kubu Ahok’ dan partai ‘kubu Anies’. Hal tersebut dilihat secara sederhana dari dukungan suatu partai terhadap suatu pasangan calon.
Misalnya, partai PDI-P dan Nasdem, yang mengusung Ahok-Djarot, kerap dijuluki sebagai ‘kubu Ahok’ karena dukungannya terhadap Ahok, seorang tokoh dari etnis Tionghoa dan beragama Kristen. Sedangkan, partai pengusung Anies Baswedan – Sandiaga Uno, sering disebut sebagai partai ‘Kubu Anies’ dan kerap menyerukan pentingnya memilih pemimpin beragama islam, agama yang dianut oleh mayoritas orang Indonesia. Sehingga, ketika berhadapan dengan situasi politik atau pemilihan umum, pemikiran ‘Siapa tokoh yang dibela atau didukung’ menjadi jauh lebih penting ketimbang memeriksa ideologi apa yang hendak dibawa oleh partai.
Di tingkat Provinsi atau Kabupaten, ternyata partai yang dibedakan berdasarkan imaji partai ‘kubu Ahok’ dan partai ‘kubu Anies’ ala Pilkada Jakarta tidak berlaku sama sekali.
Pada Pilkada Jakarta, pasangan Ahok-Djarot sejak awal mendapat dukungan (endorse) dari partai-partai berhaluan demokrasi seperti PDI-P, Hanura, Golkar, dan Nasdem. Sedangkan pasangan Anies Baswedan –Sandiaga Uno diusung oleh partai yang berhaluan demokrasi, Hanura, dan juga partai berasas islam seperti PKS.
Muncul pula desas-desus bahwa partai ‘Poros Cikeas’ yang semula mengusung Agus Yudhoyono dan Sylvi, yakni Demokrat, PAN, PKB, dan PPP, akan mendekati pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno karena dinilai memiliki visi dan misi yang sama.
Namun Nachrowi Ramli, selaku politikus Demokrat menyampaikan, partainya akan bergabung ke salah satu kandidat, asalkan memiliki visi misi yang sejalan. “Itu yang belum dibicarakan. Kita masih akan melakukan komunikasi politik dulu, kan kalau kita berkoalisi dengan salah satu dari dua pasang calon ini, juga harus lengkap. Yang penting visi misinya harus sejalan,” Ujar Nachrowi di Wisma Proklamasi, Jakarta, Rabu (15/2).
Hingga saat ini, partai poros Cikeas belum memberikan keputusan final mengenai peralihan dukungan yang akan diberikan antara pasangan Ahok – Djarot atau Anies – Sandiaga.
Mengawal Ideologi serta Visi Misi Partai Politik
Pemberitaan mengenai partai yang mencoba mengusung tokoh atau figur tertentu menarik disimak. Peristiwa tersebut mampu memicu respon masyarakat. Respon yang paling mudah dan dekat terlihat, tentunya berada di media sosial.
Ridwan Kamil, yang diusung oleh Partai Nasdem, dituduh sebagai penganut islam syiah oleh netizen. Hal tersebut terjadi lantaran ia mendapat dukungan dari partai, yang dipersepsikan sebagai ‘kubu Ahok’, seorang etnis Tionghoa beragama Kristen, dalam Pilkada Jakarta. Tentu hal tersebut tidak bisa diletakkan dalam percaturan pemilihan di daerah yang berbeda, dalam artian bukan di Jakarta.
Tuduhan yang dilayangkan kepada Ridwan Kamil tersebut, diunggah olehnya dalam media sosial Instagram.
Negara Belanda juga menerapkan sistem multi partai seperti Indonesia. Dalam pemilihan parlemen Belanda 2017, terdapat 10 partai yang merepresentasikan Kerajaan Belanda. Partai tersebut antara lain, People’s Party for Freedom and Democracy (VVD), Party for Freedom (PVV), Labour Party (PvdA), Socialist Party (SP), Christian Democratic Appeal (CPA), Democrat 66 (D66), Christiian Union (CU), GreenLeft (GL), Reformed Political Party (SGP), Party for the Animals (PvdD, dan 50 Plus (50+).
Partai-partai tersebut, memiliki ideologi yang tegas dan jelas. Partai berhaluan kanan seperti Party for Freedom di mana Geert Wilders bernaung, memiliki program kerja meminimalisir populasi muslim di Belanda. “Saya ingin kita berada di dalam pemerintahan.” Ujarnya pada Sabtu (18/2). Partai tersebut akhirnya dikalahkan awal Maret lalu, oleh Partai GreenLeft yang berhaluan kiri. Kebijakan pro imigran dan pro islam, membuat pemimpinnya, Jesse Klaver, populer. “Belanda adalah negara imigran. Saya adalah produk imigrasi,” ujarnya.
Kubu-kubu partai juga terbentuk di Belanda pada masa pemilu, sama halnya Indonesia. Namun, keterbelahan tersebut, dibangun oleh ideologi yang berbeda dan berseberangan satu sama lain, bukan semata tokoh politiknya. Selain itu, partai-partai di Belanda, baik yang memiliki ideologi sehaluan atau berseberangan, tidak melakukan koalisi seperti yang terjadi di Indonesia
Waspada Terjerumus ‘Pasar’
Berdasarkan data dari CSIS dan lembaga survey Cyrus Network, partisipasi politik masyarakat Indonesia mengalami kenaikan. Menggunakan ukuran dari Pemilihan Umum Presiden tahun 2014, golongan putih atau yang abstain memberikan suara menurun menjadi 25 persen, dari tahun 2009 yakni, 28.3 persen. Tingkat partisipasi politik dikabarkan mengalami kenaikan menjadi 75,2 dari angka 71,7. Hasan Nasbi, selaku Direktur Cyrus Network menginfokan bahwa angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak Orde Baru runtuh.
Partisipasi politik tentunya tidak hanya dapat diakukan dengan ikut pemilihan umum saja. Kegiatan seperti terlibat dalam segala tahapan kebijakan, dimulai sejak pembuatan keputusan, sampai penilaian keputusan juga merupakan bentuk partisipasi politik.
Dengan kenaikan persentase partisipasi politik masyarakat, apakah berarti nilai demokrasi yang dibawa oleh partai-partai berasas demokrasi, berhasil?
Saiful Haq, seorang pengamat militer dan politik mengungkapkan, kontestasi pemilihan pemimpin di Indonesia mengubah demokrasi menjadi pasar, yakni pasar demokrasi. Tiap pasangan calon berlomba mendapatkan ‘pembeli’ atau pilihan dari rakyat. Visi dan misi politik tidak lagi menjadi penting karenanya, yang terpenting adalah popularitas calon pemimpin, banyaknya keuntungan berupa uang yang didapatkan, serta kekuasaan yang diperoleh.
Pernyataan Saiful Haq bisa jadi menjawab betapa partai politik seakan sibuk merekrut dan mengusung tokoh politik yang dianggap ‘cemerlang’, daripada sibuk membenahi gerakan partai sesuai dengan visi dan misi mulianya. Tujuannya jelas, yakni meraup pemilih sekaligus ‘pembeli’ dari pasar pemilihan kepala daerah. Jika hal tersebut benar, maka ‘lamaran’ yang dilakukan Partai Nasdem kepada Ridwan Kamil, serta kehadiran mantan vokalis Kangen Band, Andika Mahesa, sebagai wakil ketua DPP Demokrat Lampung tentu tidak lagi unik.
Dalam pembagian isu partai ‘kubu Ahok’ dengan partai ‘kubu Anies’ yang terjadi secara banal di Jakarta, lebih membuat suatu gerakan sosial menjadi terkotak-kotak karena berbasiskan suatu isu saja.
Kelompok yang berjuang di isu agama atau bahkan hak asasi manusia, seringkali tidak memiliki relasi satu sama lain, apalagi sinergi dengan kelompok yang aktif berjuang di isu gender, lingkungan, dan juga korupsi.
Padahal, jika menginginkan adanya suatu perubahan sosial yang lebih baik, sinergi antar berbagai isu penting diperhatikan.
Hal tersebut selain menjauhkan dari pemikiran yang terlalu sederhana dalam memandang suatu figur dan partai politik, juga dapat menyelamatkan dari jargon-jargon demokrasi yang kosong dan tanpa makna atau pseudo demokrasi. (Berbagai sumber/A27)