Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un santer dikabarkan sakit – bahkan meninggal – di berbagai media massa, baik domestik maupun internasional. Mengapa figur pemimpin tersebut menjadi sangat penting? Lantas, bagaimana pentingnya pemimpin ini bila direfleksikan di pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia?
PinterPolitik.com
“I feel like North Korea” – Lil Wayne, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Baru-baru ini, dunia dihebohkan dengan kabar burung mengenai Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un. Bagaimana tidak? Di tengah pandemi global yang disebabkan oleh virus Corona (Covid-19), Kim dikabarkan harus melalui perawatan medis yang cukup intensif.
Kehebohan di media sosial dan media massa beberapa waktu lalu pun sempat mengabarkan bahwa Kim telah meninggal dunia akibat penyakit yang diderita. Teori-teori yang menduga kabar ini akhirnya turut tersebar di antara pengguna jejaring internet di banyak negara.
Tak hanya publik, kehebohan juga terjadi di kalangan pemimpin negara. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump misalnya sempat muncul ke publik dan menyampaikan berita dan harapannya atas kondisi yang menimpa Kim.
Tetangga besar Korut – Republik Rakyat Tiongkok – juga turut merasa cemas dengan kabar kondisi Kim. Bahkan, negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping ini dikabarkan telah mengirimkan tim medis dan dokter guna memberikan masukan kesehatan bagi perawatan Kim.
Selain negara-negara besar ini, perhatian juga diberikan oleh negara tetangga Korut yang sebelumnya selalu dianggap sebagai musuh bebuyutan, yakni Korea Selatan (Korsel). Pemerintah negara yang menjadi tempat asal K-Pop tersebut menjamin bahwa Kim masih hidup dan dalam kondisi sehat.
Kim Jong-un could end all the speculation about whether he is still alive by appearing in public & talking about current events. He’s not camera-shy. pic.twitter.com/mcFfWzreoH
— Piers Morgan (@piersmorgan) April 28, 2020
Bila dunia dapat dibikin heboh dengan kabar dan rumor seperti ini, situasi domestik bisa jadi malah lebih kacau bila kabar dan rumor tersebut benar turut tersebar di Korut. Bahkan, beberapa pihak menilai fenomena panic buying dapat terjadi – bukan karena pandemi Covid-19.
Bukan tidak mungkin simpang siur kabar dan dampak yang bisa timbul dari kondisi fisik pemimpin Korut ini menandakan bahwa Kim memiliki posisi yang sangat penting, baik di Korut sendiri maupun dalam panggung politik internasional.
Pentingnya sosok Kim ini tentu menimbulkan beberapa pertanyaan. Mengapa posisi Kim ini dianggap penting di Korut? Lantas, bagaimanakah posisi Kim ini bila direfleksikan pada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia?
Family State
Kim menjadi pemimpin tertinggi Korut disebabkan oleh sistem politik tertentu yang dianut oleh negara tersebut. Sistem yang dianut oleh negara bersenjata nuklir tersebut sebenarnya turut berkaitan dengan budaya dan filosofi yang tertanam dalam masyarakat mereka.
Sebagai salah satu negara Asia Timur, filosofi ala Konfusianisme turut menjadi bagian dari masyarakat Korut. Nilai-nilai dari filosofi ini akhirnya juga mengisi budaya politik yang ada di negara ini.
Salah satu ajaran utama dari filosofi Konfusianisme adalah ajaran Xiao (filial piety) yang mana mendorong setiap individu untuk mematuhi dan melayani mereka yang lebih tua. Nilai seperti ini dianggap sebagai kewajiban agar dapat berbakti kepada orang tua.
Meski begitu, ajaran Xiao ini dinilai turut memengaruhi struktur dan sistem politik di negara-negara Asia, termasuk Korut. Jin Woong Kang dalam tulisannya yang berjudul Political Uses of Confucianism in North Korea menjelaskan soal diskursus politik Korut dengan menggunakan pendekatan kultural.
Menurut Jin, rezim pemerintahan Korut telah mentransformasikan ajaran Xiao ini ke dalam bentuk neo-Konfusianisme. Pada intinya, nilai tradisional ini digunakan dan dimanipulasi untuk menjaga legitimasi atas dominasi para elite politik.
Hal ini ditranslasikan menjadi bagian dari ideologi Korut yang disebut sebagai Juche. Layaknya Pancasila di Indonesia, Juche dianggap sebagai ideologi yang harus dipegang teguh bagi pemerintah dan masyarakat Korut.
Hyang Jin Jung dalam tulisannya yang berjudul Jucheism as an Apotheosis of the Family pun menjelaskan bahwa prinsip Juche ini turut ditranslasikan dalam bentuk produk budaya – seperti Festival Arirang – yang menunjukkan Kim Il-sung (kakek dari Jong-un) sebagai bapak atas masyarakat Korut.
Prinsip Xiao (filial piety) turut menciptakan tatanan masyarakat layaknya hubungan bapak (pemimpin/pemerintah) dan anak (masyarakat). Share on XDi sini lah letak keunikan sistem politik ala Korut ini, yakni model negara yang didasarkan pada prinsip kekeluargaan (family state). Melalui tulisan yang berjudul Patriarchy, Patrimonialism, and Filial Piety, Gary G. Hamilton menjelaskan bahwa ajaran Xiao ini turut menciptakan tatanan masyarakat layaknya hubungan bapak dan anak.
Bila sang anak harus menuruti dan mematuhi sang bapak, sang bapak juga harus menyediakan kebutuhan yang diperlukan oleh sang anak. Dalam hal ini, pemimpin negara harus menyediakan care yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sebagai gantinya, masyarakat harus patuh terhadap pemimpin.
Mungkin, dengan sistem kekeluargaan ini, Kim akhirnya mampu mempertahankan relasi antara dirinya dengan masyarakat Korut. Relasi ini membuat Kim menjadi sosok yang sangat penting sebagai bapak dari negaranya.
Bila prinsip dan model negara seperti ini dapat berlaku di Korut dan negara-negara Asia Timur, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Jokowi juga perlu menerapkan family state di Indonesia?
Corona dan Family State
Konsep family state sebenarnya tidak benar-benar asing di Indonesia. Pasalnya, sejak awal kemerdekaan, konsep ini pernah diusulkan sebagai salah satu bentuk dan sistem politik Indonesia setelah lepas dari belenggu Jepang dan Belanda.
David Bourchier dalam bukunya yang berjudul Illiberal Democracy in Indonesia menjelaskan bahwa konsep family state(negara kekeluargaan) pernah diusulkan oleh Soepomo – Menteri Hukum dan HAM pertama. Kala itu, Soepomo yakin bahwa negara perlu menjadi satu dengan masyarakatnya dan berfungsi sebagai satu kesatuan layaknya sebuah keluarga.
Apa yang diyakini Soepomo ini mirip dengan apa yang dijelaskan oleh Bruce Cumings dalam bukunya yang berjudul Korea’s Place in the Sun. Cumings menyebutkan bahwa neo-Konfusianisme ala Korut ini didasarkan pada kesatuan psikologis dalam interaksi fungsional negara.
Bila ditilik kembali, konsep ala family state seperti ini – mengacu pada Bourchier – pernah berlaku di Indonesia di bawah pemerintah Orde Baru yang mana Presiden Soeharto kala itu berperan sebagai bapak dari masyarakat Indonesia. Bukan tidak mungkin Soeharto saat itu menjalankan fungsi sebagai care-giver terhadap masyarakat.
Bila konsep ala family state ini dinilai pernah terjadi di Indonesia pada era Orde Baru, bagaimana dengan pemerintahan Jokowi?
Negara kekeluargaan sebenarnya kembali disebut-sebut dapat muncul di periode kedua pemerintahan Jokowi. Hal ini dikarenakan minimnya kehadiran oposisi dalam kontestasi politik hingga tahun 2024 mendatang.
Layaknya pemerintahan Orde Baru, Jokowi bukan tidak mungkin menjadi bapak bagi Indonesia dalam kesatuan kekeluargaan. Oposisi tak jarang bakal terpinggirkan layaknya anak yang tidak menghormati.
Namun, meski terkesan otoritarian, fungsi pemimpin sebagai bapak bisa jadi diperlukan di tengah pandemi Covid-19 ini. Pentingnya kehadiran bapak dalam situasi ini dapat dijelaskan dengan konsep paternalisme.
Geral Dworkin dalam tulisannya yang berjudul Paternalism menjelaskan bahwa konsep ini berlaku ketika negara melakukan interferensi terhadap kemauan dan keinginan masyarakat. Dalam hal ini, negara – layaknya seorang bapak – mengatur dan memberikan regulasi yang dianggap perlu dipatuhi oleh masyarakat.
Salah satu negara yang disebut menerapkan paternalisme di tengah pandemi Covid-19 adalah Inggris. Di bawah pemerintahan Boris Johnson, Inggris pun menerapkan aturan-aturan yang dianggap membatasi kebebasan masyarakatnya.
Bukan tidak mungkin Jokowi melakukan hal serupa. Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia mulai menerapkan peraturan-peraturan seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan larangan mudik karena dianggap sebagai hal yang sedang diperlukan di tengah pandemi ini.
Meski begitu, sebagai bapak dalam nilai Xiao, pemerintahan Jokowi juga perlu berperan sebagai care-giver terhadap masyarakat Indonesia. Hal ini bisa saja dilakukan dengan kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) dan pembagian sembako.
Persoalannya adalah apakah pemerintah telah berfungsi sebagai bapak bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pasalnya, terdapat banyak pihak yang menilai bahwa paket-paket stimulus Jokowi masih belum dapat menutupi kesulitan yang dialami oleh “anak-anak”.
Mungkin, melihat fenomena ini, Indonesia masih belum mendapatkan sosok dan kasih sayang bapak sepenuhnya yang sejalan dengan prinsip Xiao. Lagi pula, dalam keluarga, seharusnya tidak boleh ada satu orang pun yang tertinggal. Bukan begitu? (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.