HomeNalar PolitikAntara Anies dan Permohonan Maaf RK

Antara Anies dan Permohonan Maaf RK

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil (RK) menyampaikan permohonan maaf terkait polemik kerumunan simpatisan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS). Sikap ini sangat bertolak belakang dengan gestur Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang malah membandingkan fenomena ini dengan penyelenggaraan Pilkada 2020. Lantas apa yang menyebabkan disparitas sikap antar keduanya?


PinterPolitik.com

“When apologies are offered in public life, they tend to be the sort that subtly shifts the blame: ‘I apologize if anyone was offended’” –David Wolpe, Rabi Senior.

Polemik rentetan kerumunan simpatisan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) masih terus bergulir. Bak bola salju, kasus ini terus menyeret nama-nama pejabat publik yang membuat mereka terpaksa berurusan dengan pihak kepolisian.

Setelah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dimintai keterangan selama 9 jam lamanya, kini giliran Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil (RK) yang dijadwalkan akan bertemu pihak kepolisian. Emil, sapaan akrabnya, rencananya akan dimintai keterangan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta.

Menanggapi hal tersebut, mantan Wali Kota Bandung itu mengaku siap memberikan keterangan kepada pihak kepolisian. Terutama yang berkaitan dengan peraturan daerah mengenai protokol kesehatan.

Sejak kasus kerumunan HRS ini menjadi besar, respons Emil memang cenderung lebih lunak dan terbuka. Ia bahkan sempat meminta maaf kepada publik atas terjadinya kerumunan tersebut dan mengaku siap bertanggung jawab atas peristiwa ini.

Sikap yang ditunjukkan Emil ini cukup menarik jika dibandingkan dengan gestur yang ditunjukkan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

Tak seperti Emil yang menyatakan siap bertanggung jawab, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu justru cenderung lebih defensif, dan bahkan sempat membandingkan penanganan kerumunan HRS oleh aparat dengan kerumunan yang ditimbulkan akibat penyelenggaraan Pilkada 2020.

Lantas apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan sikap dua kepala daerah tersebut dalam menyikapi polemik ini?

Idealisme vs Pragmatisme?

Anies dan Emil adalah dua kepala daerah yang tak hanya hampir sepantaran, melainkan juga berhasil memenangkan kontestasi elektoral tertinggi di daerahnya masing-masing dalam waktu yang juga hampir bersamaan. Anies berhasil menduduki kursi DKI-1 di Pilkada serentak 2017, dan Emil memenangkan Pilgub Jawa Barat satu tahun setelahnya.

Kendati demikian, keduanya adalah sosok Gubernur yang memiliki karakteristik cukup bertolak belakang, di mana Anies cenderung bersifat dinilai idealis sementara Emil cenderung pragmatis.

Susan Gunelius dan Kristi Hedges dalam tulisan mereka di Forbes mengatakan  bahwa pemimpin idealis memiliki visi dan ide-ide besar. Pemimpin idealis juga sering kali didorong oleh seperangkat keyakinan moral yang kuat, serta selalu siap untuk melangkah dan mengambil risiko untuk mencapai tujuan mereka karena yakin tujuan tersebut sangat berharga.

Dalam konteks politik, Nate Sikora dalam tulisannya yang berjudul Idealism Vs Realism in US Politics mengatakan bahwa pemimpin idealis cenderung melahirkan kebijakan yang bertumpu pada kesetaraan dan berusaha menghadirkan pemerintahan yang bekerja untuk semua orang. Akan tetapi, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin-pemimpin idealis tersebut cenderung bersifat konseptual.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Di sisi lain, Gunelius dan Hedges menyebut bahwa pemimpin pragmatis lebih berorientasi pada proses. Mereka memiliki pendekatan yang lebih praktikal serta bertindak realistis dengan keadaan yang terjadi.

Melengkapi pernyataan tersebut, Jennifer Anikst dalam tulisannya yang berjudul How Millennials Make ‘Pragmatic Idealism’ Work mengatakan bahwa pragmatisme merupakan penolakan terhadap nilai-nilai idealisme, di mana orang-orang yang pragmatis bisa melakukan apa pun yang dianggap praktis meski terkadang tanpa memerhatikan moralitas.

Lalu, jika kita berkaca pada gaya kepemimpinannya selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies memang sangat cocok dikategorikan sebagai pemimpin idealis. Ia cenderung berpegang teguh pada standar moralnya sendiri dan tidak takut untuk mengambil kebijakan kendati ditentang oleh banyak orang.

Contoh nyatanya terjadi ketika Ia memutuskan untuk menerapkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) total pada September lalu meski mendapat tentangan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat.

Di sisi lain, Emil sendiri sudah dianggap sebagai politikus pragmatis sejak dirinya hendak mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Barat. Saat itu Emil sempat menimbulkan polemik lantaran bersedia menerima pinangan dini Partai NasDem kendati kala itu, partai besutan Surya Paloh tersebut belum memiliki koalisi dan kursi yang cukup untuk mencalonkannya sebagai gubernur. Meski Emil punya alasan sendiri, namun tak dapat dipungkiri stempel politikus pragmatis itu kadung melekat di dirinya.

Sementara dalam konteks kebijakan, keputusan Emil yang tidak menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat atau mengikuti kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) baru-baru ini menandakan bahwa kepemimpinannya memang bersifat pragmatis lantaran beriorientasi pada pendekatan yang lebih praktikal serta bertindak realistis dengan keadaan yang terjadi.

Jika ditarik lebih jauh, perbedaan karakteristik kepemimpinan tersebut bisa saja dipengaruhi oleh latar belakang keduanya yang berasal dari dunia yang berbeda. Anies yang memiliki latar belakang dari kalangan akademisi, tentu akan cenderung bersikap lebih idealis, sementara Emil dengan latar belakang pengusaha secara rasional akan bertindak lebih pragmatis.

Kendati demikian, perlu disadari bahwa disparitas ini tidak membuat nilai-nilai idealis maupun pragmatis menjadi karakteristik tunggal bagi Anies maupun Emil. Ada kalanya mungkin saja Anies bertindak pragmatis, dan sebaliknya Emil yang justru bertindak idealis. 

Selain dari segi tipologi kepemimpinan, perbedaan antara Anies dan Emil juga terlihat dalam konteks modal politik. Dalam hal ini, Anies agaknya punya modal yang lebih baik ketimbang Emil.

Di samping pernah berkiprah di level nasional sebagai menteri, Anies juga disebut-sebut punya relasikuat dengan Jusuf Kalla (JK). Belum lagi sosok Anies juga punya basis dukungan yang sangat loyal, yakni kekuatan politik Islam seperti FPI dan Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang dipercaya siap melindunginya. 

Di sisi lain, tak dapat dipungkiri, Emil juga merupakan politikus yang punya modal politik cukup mumpuni. Selain memiliki karier politik yang berjenjang, ketokohan Emil juga lebih bisa diterima oleh banyak kalangan dibanding Anies.

Baca juga :  Bahlil "Keterlaluan", Airlangga Dirindukan?

Namun begitu, perlu disadari bahwa basis dukungan Emil tetaplah tidak sekuat dukungan kelompok FPI dan PA 212 terhadap Anies. Inilah yang kiranya menjadi pembenaran bahwa dari segi modal politik, Anies masih lebih unggul daripada Emil.

Sosiolog asal Prancis, Pierre Bourdieu pernah mendeskripsikan modal sebagai sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar dapat digunakan. Artinya, istilah ‘modal’ digunakan Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuatan dan kekuasaan dalam masyarakat.

Berangkat dari sini, maka bisa dikatakan sikap Anies yang cenderung defensif dan di saat yang sama ofensif terhadap pemerintah pusat terkait polemik kerumunan HRS bisa saja disebabkan oleh karakteristik kepemimpinan idealis yang dimilikinya.

Selain itu, faktor modal politik yang solid, juga menjadikan Anies memiliki bargaining politik yang kuat sehingga membuatnya tak segan untuk bersikap konfrontatif terhadap lawan-lawan politiknya.

Sebaliknya, karakteristk Emil yang lebih pragmatis akan mendorong dirinya untuk bersikap lebih hati-hati terutama dalam menyikapi polemik yang menyita perhatian publik. Di samping itu, keterbatasan modal politik yang dimilikinya, tentu akan mendorongnya untuk bersikap semoderat mungkin demi menghindari sebagian kalangan yang mungkin saja menarik dukungan terhadapnya.

Lalu sekarang pertanyaannya, apa kira-kira yang ingin dicapai Emil lewat permintaan maafnya terkait polemik kerumunan HRS?

Non-apology Apology

Salah satu tantangan paling besar bagi politikus masa kini adalah menuntut adanya kemampuan untuk meminta maaf ketika melakukan kesalahan. Padahal, meminta maaf adalah cara terbaik untuk mengembalikan keretakan sebuah relasi.

John Kandor dalam bukunya yang berjudul Effective Apology mengatakan bahwa kecakapan para pemimpin untuk meminta maaf dapat menentukan kemampuan mereka dalam menciptakan organisasi dengan tingkat kepercayaan tinggi yang dibutuhkan untuk mengarungi masa sulit.

Kandor kemudian mengklasifikasikan permintaan maaf ke dalam beberapa karakteristik, salah satunya Ia namakan permintaan maaf setengah hati. Dalam permintaan maaf jenis ini, pelaku akan berupaya untuk tidak memikul tanggung jawab sendiri.

Dalam konteks ini, maka permintaan maaf Emil bisa diklasifikasikan ke dalam kategori ini. Sebab, meski dirinya menegaskan bersedia bertanggung jawab, namun di saat yang sama Emil juga membuat pernyataan yang menyebut diskresi izin keramaian di Jawa Barat berada di bawah wewenang Bupati Bogor, bukan Gubernur. 

Maka berangkat dari sini, permintaan maaf Emil tersebut dapat dimaknai sebagai upayanya untuk mengembalikan kepercayaan publik, namun di saat yang sama tetap berupaya untuk tidak memikul tanggung jawab kesalahan kepada dirinya seorang.

Namun pada akhirnya, yang tahu maksud dan tujuan sebenarnya dari permintaan maaf tersebut hanyalah pihak terkait sendiri. Yang jelas, Emil sudah menegaskan bahwa dirinya bersedia memberikan penjelasan yang benderang kepada Polisi terkait polemik ini. Bagaimana kelanjutannya, tentu menarik untuk disimak. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...