HomeHeadlineAnomali Jokowi

Anomali Jokowi

Dengarkan Artikel Ini:

Audio Ini dibuat menggunakan AI.

Posisi politik Presiden Jokowi saat ini masih sangat kuat. Bahkan bisa dibilang Jokowi adalah salah satu presiden yang tidak mengalami pelemahan kekuasaan di akhir masa jabatan yang umumnya dialami oleh para pemimpin di banyak negara. Isu terbaru, Jokowi kini digadang-gadang berpotensi menjadi Ketua Umum Partai Golkar yang merupakan salah satu partai yang terbesar di negara ini. Tak menjadi lame duck atau bebek lumpuh, Jokowi justru menjadi anomaly kepemimpinan nasional.


PinterPolitik.com

Menyebut Jokowi sebagai sebuah anomali bukanlah tanpa alasan. Rata-rata pemimpin negara yang ada di periode kedua kekuasaannya dan menjelang masa akhir jabatannya memang cenderung mengalami pelemahan kekuasaan.

Tak peduli itu pemimpin sekalas Barack Obama, pelemahan kekuasaan ini bisa terjadi apabila konstitusi membatasi mereka untuk bisa maju lagi di periode berikutnya. Akibatnya, fokus kekuasaan mulai teralihkan pada sosok-sosok baru yang berpotensi menjadi pemimpin selanjutnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya, mengalami pelemahan kekuasaan di akhir masa jabatannya. Di tahun 2013 lalu, approval rating SBY hanya menyentuh angka 30 persen dan terus turun di akhir kekuasaannya. Memang, kala itu SBY dan Partai Demokrat yang ia pimpin tengah didera kasus korupsi. Namun, kepercayaan masyarakat pada personal penguasa tentu menjadi faktor yang diperlukan.

Bandingkan dengan Jokowi yang bahkan hingga di akhir kekuasaannya masih memiliki approval rating di angka 70-80 persen. Approval rating Jokowi pun menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Ini kemudian dibuktikan dari kemampuan Jokowi “mempengaruhi” arah Pilpres 2024.

Keberadaan sang putra, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres Prabowo Subianto, membuat pasangan ini melenggang mudah menuju kursi kepemimpinan selanjutnya. Efek Jokowi disebut besar pada tingginya suara Prabowo-Gibran di Pilpres.

Yang terbaru, nama Jokowi disebut ikut mempengaruhi pembentukan kabinet baru di pemerintahan yang akan datang. Beredar gosip soal “menteri-menteri titipan” sang presiden. Karena tak punya platform politik, nama Jokowi kini juga digadang-gadang menjadi salah satu kandidat Ketua Umum Partai Golkar. Ini tentu akan makin memperkuat posisi politik Jokowi mengingat Golkar adalah partai yang cukup besar dan diperhitungkan.

Pertanyaannya tentu saja adalah mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa Jokowi menjadi anomali dan tidak mengalami pelemahan kekuasaan di akhir masa jabatannya?  

Anomali Karena Jokowi

Setidaknya ada beberapa faktor yang membuat Jokowi tidak menjadi pemimpin lame duck di akhir masa jabatannya. Pertama adalah soal kepemimpinan yang tangguh. Jokowi telah menunjukkan kepemimpinan yang kuat dan efektif selama masa jabatannya. Kebijakan-kebijakan yang diambilnya, seperti infrastruktur, reformasi ekonomi, dan program sosial, telah mendapatkan dukungan luas dari masyarakat.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Jokowi dianggap sebagai pemimpin yang bisa memberikan solusi bagi masyarakat di kelas terbawah. Meskipun masih terdapat banyak catatan di sana-sini, namun perhatian Jokowi terhadap rakyat bawah membuat sang presiden begitu disukai.

Faktor kedua adalah soal pemeliharaan dukungan politik. Jokowi berhasil mempertahankan dukungan politik dari berbagai partai politik, termasuk koalisi pendukungnya. Keterlibatan partai-partai politik dalam pemerintahannya telah memperkuat posisinya dalam menghadapi tantangan politik. Selain itu, pemeliharan dukungan ini juga terjadi di hadapan para elite politik dan bisnis. Jokowi begitu dipercaya oleh investor sebagai pemimpin yang bisa memberikan kestabilan politik dan ekonomi.

Faktor berikutnya adalah soal pengelolaan krisis yang efektif. Selama masa jabatannya, Jokowi telah menghadapi berbagai krisis, termasuk pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap ekonomi. Respons cepat dan tegasnya terhadap krisis tersebut telah memperkuat citra kepemimpinannya di mata publik. Jokowi mampu memberikan solusi yang cepat dan terbaik, serta menghindarkan Indonesia dari krisis ekonomi parah katakanlah seperti yang dialami oleh negara-negara lain.

Jokowi juga memberikan penekanan pada kontinuitas pembangunan nasional. Ia telah melanjutkan dan memperluas program-program pembangunan yang telah dimulai oleh pemerintahan sebelumnya. Hal ini memberikan stabilitas dan kontinuitas dalam pembangunan nasional, yang diapresiasi oleh masyarakat.

Jokowi juga memiliki relasi yang positif dengan entitas partai politik. Wacana tentang Jokowi menjadi Ketua Umum Golkar misalnya, menunjukkan bahwa ia masih memiliki pengaruh yang signifikan dalam politik partai karena me-maintain relasinya dengan elite partai. Secara personal Jokowi juga sangat populer dan kuat.

Di tahun 2019 misalnya, ada 800-an kelompok relawan yang mendukung pencalonannya. Ini akan jadi kekuatan politik yang penting dan meningkatkan daya tawar Jokowi di hadapan parpol seperti Golkar. Jokowi bisa memberikan jaminan bahwa sangat mungkin di Pemilu 2029 misalnya, Golkar bisa tampil sebagai partai pemenang dan mengalahkan dominasi PDIP yang sudah terjadi dalam 2 dekade terakhir ini.

Polite Populism Yang Bisa Diterima?

Poin penting lain yang membuat Jokowi bisa tetap kuat di akhir masa jabatannya adalah soal penerapan polite populism. Ini adalah terminologi yang pernah disematkan oleh Indonesianis asal Australia, Marcus Mietzner. Polite populism ini adalah pendekatan politik yang menggabungkan elemen-elemen populisme dengan norma-norma demokratis dan sopan santun. Mietzner secara khusus menempelkan polite populism ini pada cara berpolitik Jokowi.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Makna kata polite atau sopan pada titik ini merujuk pada cara berpolitik yang tidak konfrontatif, tidak mengkritik dan menjatuhkan, tetapi lebih memberikan solusi, jaminan pemecahan masalah, dan harapan akan kehidupan yang lebih baik.

Setidaknya ada beberapa alasan mengapa jenis populisme ini bisa diterima dengan baik. Yang pertama adalah bahwa polite populism dianggap bersesuaian dengan budaya dan nilainNilai Indonesia. Polite populism cocok dengan budaya dan nilai-nilai yang dihargai oleh masyarakat Indonesia, seperti kesopanan, keramahan, dan kebersamaan. Jokowi sebagai seorang politisi yang menonjolkan sikap sopan dan berusaha untuk dekat dengan rakyat dapat memenangkan simpati masyarakat, seiring dengan pandangan bahwa dia mewakili “pemimpin dari rakyat dan untuk rakyat”.

Kemudian, polite populism memungkinkan Jokowi untuk menjalankan politik yang inklusif, dengan mendengarkan dan merespons aspirasi serta kebutuhan beragam lapisan masyarakat. Pendekatan yang bersahabat dan memihak pada kepentingan rakyat memperkuat kesan bahwa Jokowi peduli terhadap kesejahteraan semua orang.

Populisme jenis ini juge sesuai dengan tantangan politik di Indonesia. Di tengah kompleksitas politik Indonesia yang mencakup pluralitas budaya, ekonomi yang beragam, dan tantangan pembangunan yang kompleks, pendekatan politik yang bersifat populis dan sopan merupakan strategi yang sesuai. Ini memungkinkan Jokowi untuk tetap relevan dan diterima oleh masyarakat dalam berbagai konteks politik.

Polite populism juga membantu Jokowi mengelola tantangan politik dan kebutuhan dukungan. Dalam menghadapi berbagai tantangan politik, termasuk oposisi politik dan tekanan dari berbagai kelompok kepentingan, penerapan polite populism memungkinkan Jokowi untuk memperoleh dukungan yang kuat dari berbagai segmen masyarakat, menjaga stabilitas politik, dan memperkuat legitimasinya sebagai pemimpin.

Dengan memanfaatkan polite populism, Jokowi berhasil mempertahankan dukungan luas dari masyarakat Indonesia, mengelola dinamika politik yang kompleks, dan memperkuat posisinya sebagai salah satu pemimpin yang paling berpengaruh di Indonesia. Pendekatan ini cocok dengan preferensi dan ekspektasi masyarakat Indonesia terhadap pemimpin yang tidak hanya efektif dalam kebijakan, tetapi juga peduli dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.

Pada akhirnya, semua memang kembali pada penilaian masyarakat. Bagaimanapun juga, Jokowi telah melakukan banyak hal untuk negara ini. Terlepas kritik yang juga datang di sana-sini, setidaknya Jokowi sudah membuktikan bahwa sangat mungkin bagi seorang pemimpin untuk tetap punya posisi politik yang kuat di akhir kekuasaannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.