HomeNalar PolitikAnis Matta, PKS dan Anti-Intelektualisme

Anis Matta, PKS dan Anti-Intelektualisme

Kecil Besar

Sejak tahun 2015 Anis Matta disingkirkan dan dilarang menerima undangan dalam partai. Lalu pembersihan dilakukan. ~Fahri Hamzah


PinterPolitik.com

[dropcap]B[/dropcap]aru-baru ini, santer kabar bahwa PKS telah memecat kader mereka karena dianggap tidak taat dan patuh. Yang teranyar adalah kasus pemecatan Ketua Bidang Humas DPD PKS Kota Semarang, Arka Atmaja. Arka mengatakan penyebab dirinya dipecat adalah karena dia mengkritisi beberapa kebijakan partai yang dianggap bertentangan dengan AD/ART PKS.

Jauh sebelum Arka, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah sudah lebih dulu dipecat dari partai Ikhwanul Muslimin Indonesia tersebut. Fahri mengatakan dia telah menerima surat โ€œsaktiโ€ terkait pemecatan dari PKS karena tidak mau mematuhi perintah partai untuk mundur dari kursi Wakil Ketua DPR.

Fahri tidak tunduk. Setelah dipecat, mantan aktivis KAMMI tersebut justru semakin bersuara lantang dan tak segan mengumbar keburukan-keburukan di dalam tubuh PKS. Satu diantara kabar yang membuat geger adalah ketika Fahri Hamzah mengatakan bahwa PKS berusaha meminggirkan Anis Matta dan melakukan pembersihan para loyalis dari partai tersebut.

Fenomena pemecatan kader PKS seperti Fahri Hamzah dan Arka Atmaja mengindikasikan adanya ketidaksukaan petinggi PKS terhadap โ€œpembangkanganโ€ dalam internal partai. Sikap politik seperti ini jelas bertentangan dengan spirit demokrasi yang mengedepankan keterbukaan dan hak untuk berpendapat.

Perbedaan pendapat di internal partai itu lumrah terjadi dalam kehidupan berdemokrasi. Lalu mengapa PKS tampak begitu anti terhadap perbedaan seperti itu?

Anis Matta, Intelektual Tersingkirkan?

Anis Matta kerap digolongkan sebagai intelektual muda PKS. Ia pernah menjadi Ketua Umum PKS pada periode 2013 โ€“ 2015. Pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan tersebut dibesarkan oleh pendidikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA).

Hingga detik ini, Anis Matta sudah menerbitkan beberapa buku tentang agama, negara, kepemimpinan hingga urusan percintaan. Buku-buku hasil tulisan tangan Anis itu menjadikan mantan ketua PKS tersebut populer di kalangan anak muda, terutama di lingkaran kelompok-kelompok Tarbiyah.

Selain buku, pemikiran Anis Matta bisa dilacak lewat tulisan-tulisan di website pribadinya. Melalui website itu, Anis aktif mengkampanyekan ide mengenai โ€œArah Baru Indonesiaโ€. Pemikiran Anis menekankan pentingnya kombinasi antara agama dengan pengetahuan. Pembangunan seperti itu menurut Anis akan berdampak pada kemajuan teknologi, militer hingga ekonomi.

Anis Matta menulis bahwa prasyarat menjadi sebuah bangsa besar adalah dengan cara menjadi bangsa religius dan menguasai ilmu pengetahuan. Terlihat pula bahwa Anis Matta merupakan tokoh Muslim kompromistis. Dalam tulisan, ia mengatakan bahwa harus ada rembuk antara empat komponen: agama, nasionalisme, demokrasi dan kesejahteraan dalam satu kerangka ideologis.

Baca juga :  Deddy Corbuzier: the Villain?
Anis Matta menulis bahwa prasyarat menjadi sebuah bangsa besar adalah dengan cara menjadi bangsa religius dan menguasai ilmu pengetahuan Share on X

Tujuan utama dari rembuk tersebut adalah untuk mengakhiri konflik antara Islam dan nasionalisme, serta antara Islam dan negara. Ia berharap manusia Indonesia ke depannya menjadi bangsa religius, cinta tanah air, menghargai kebebasan, sekaligus sejahtera. Mungkinkah Anis Matta seorang postโ€“Islamis

Asef Bayat, seorang sarjana asal Iran dalam artikel berjudul Foreign Affairs memberikan analisis tajam tentang post-Islamisme. Menurutnya, ciri utama gerakan post-Islamisme adalah kecenderungan untuk menjadi realistis dan kompromis dengan realitas politik yang tak sepenuhnya ideal dan sesuai dengan skema ideologis murni yang mereka yakini dan bayangkan.

Berdasarkan pemahaman itu, maka bisa dikatakan Anis Matta adalah seorang post-Islamisme. Hal itu dikarenakan Anis merupakan seorang muslim religius yang menekankan pentingnya kompromistis kelompok Islam dengan nasionalis, hingga mengakhiri pertentangan antara Islam dengan negara demokrasi.

Ide dan gagasan Anis Matta tentang pembaharuan tersebut coba diterapkan pula ketika ia memimpin PKS. Namun, menurut Mahfudz Siddiq rencana Anis Matta untuk memodernisasi  PKS menjadi partai terbuka, transparan dan akuntabel tersebut terhalang oleh kelompok-kelompok โ€œtuaโ€ di PKS. Kelak, menurut Mahfudz, perbedaan pandangan itulah yang membuat Anis Matta disingkirkan dalam panggung utama PKS.

PKS Anti-Intelektualisme?

Fahri Hamzah mengatakan ada usaha dari PKS dibawah pimpinan Sohibul Iman dalam mempersempit ruang gerak Anis Matta. Di Twitter, Fahri menyatakan sejak tahun 2015 Anis Matta disingkirkan dan dilarang menerima undangan dalam partai. Lalu pembersihan dilakukan.

Dugaan Fahri Hamzah bisa saja benar. Pasalnya tahun 2015 adalah momen dimana kursi kepemimpinan PKS Anis Matta digantikan oleh Sohibul Iman. Di bawah kepemimpinan Sohibul Iman, PKS tercatat telah melakukan pemecatan terhadap Fahri Hamzah dan sejumlah kader yang dianggap berseberangan. Mungkinkah ini memperkuat dugaan bahwa PKS anti-Intelektualisme?

Menurut Robertus Robet anti-Intelektualisme adalah gejola penolakan atau setidaknya perendahan terhadap segala upaya manusia untuk mengambil sikap replektif, berpegang konsep, ide, atau pemikiran dan perendahan terhadap mereka-mereka yang bekerja di dalamnya. Dalam praktik, anti-Intelektualisme pada dasarnya adalah sikap anti-kritik.

Pembersihan Anis Matta dan loyalis seperti Fahri Hamzah bukan tidak mungkin merupakan bentuk anti-Intelektualisme PKS. Pasalnya, perbedaan pemikiran antara Anis Matta dengan petinggi PKS bukan ditanggapi dengan gagasan, melainkan seperti disebut Fahri bahwa Anis Matta telah disingkirkan.

Sangatlah mengherankan ketika PKS bersikap anti-Intelektualisme, mengingat Ketua Umum PKS Sohibul Iman โ€“ yang selama ini dituding oleh Fahri meminggirkan dirinya dan Anis Matta โ€“ adalah  seorang intelektual.

Sohibul Iman sendiri sempat disebut-sebut oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) akan membawa pembaharuan bagi PKS. Pentolan JIL Ulil Abshar Abdhala sempat memberikan selamat kepada Sohibul Iman ketika terpilih menjadi Presiden PKS. Ia pun berharap PKS akan menjadi partai terbuka.

Baca juga :  The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Latar belakang Sohibul Iman sebagai mantan Rektor Universitas Paramadina juga sempat dikaitkan oleh media JIL. Selain itu, dia juga merupakan lulusan Universitas di Jepang, bukan Timur Tengah seperti Anis Matta. Jika kabar peminggiran Anis Matta oleh Sohibul Iman itu benar. Lantas apa motif dasar dari sikap politik tersebut?

Matahari Kembar di PKS

Menurut Mahfudz Siddiq, kemunculan dua kubu di PKS bermula ketika ada kerenggangan hubungan antara Anis Matta dan Hilmi Aminuddin. Ketika itu beberapa kader PKS menguasai kursi Kementerian di era SBY. Mahfudz mengatakan Ketua Majelis Syuro PKS saat itu, Hilmi Aminuddin memiliki kebijakan semua menteri-menteri PKS langsung di bawah kontrol Majelis Syuro.

Hal itu berubah ketika Anis Matta menjadi Presiden PKS. Anis Matta ingin menjadikan PKS sebagai partai politik terbuka dengan pengelolaan organisasi dan sumber daya yang transparan dan akuntabel. Hal ini kemudian menjadikan Anis dan Hilmi berjarak.

Sekalipun Anis dan Hilmi dianggap telah berjarak sejak lama, Anis Matta justru bukan diturunkan oleh Hilmi Aminuddin, melainkan oleh Majelis Syuro di bawah pimpinan Salim Segaf. Lantas kenapa hal tersebut bisa terjadi? Mungkinkah hal itu merupakan upaya dari petinggi PKS untuk mematahkan dominasi Anis Matta dengan menghadirkan figur intelektual baru di PKS?

Fahri Hamzah sendiri pernah mengatakan bahwa Anis Matta dan Sohibul Iman ibarat โ€œMatahari Kembarโ€ di dalam PKS. Seperti disinggung sebelumnya, Sohibul Iman sama dengan Anis Matta. Ia juga seorang intelektual.

Ubedilah Badrun menyatakan ada tiga pemikiran inti dari Sohibul Iman, pertama adalah purifikasi Islam dalam partai politik, pluralis berakarakter, dan partai Islam modern. https://republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/15/09/07/nu9qf8336-sohibul-iman-pks-dan-jil-2habis

Bahkan Ulil Abshar pernah mengatakan bahwa Sohibul Iman adalah benih-benih liberal dalam PKS. Benarkah?

Jika merujuk pada sikap politik PKS saat ini, sepertinya sulit untuk membuktikan ucapan pentolan JIL bahwa Sohibul Iman adalah seorang pembaharu. Pasalnya, tokoh-tokoh yang dianggap pembawa pembaharuan di PKS seperti Fahri Hamzah dan Anis Matta justru tidak digandeng oleh Sohibul Iman.

Sohibul justru sejauh ini tampak seperti menegaskan kelompok tua yang anti akan pembaharuan. Unsur samiโ€™na wa athoโ€™na atau kami dengar kami taat justru digunakan untuk menyingkirkan kelompok pembaharu yang dianggap bertentangan dengan kebijakannya.

Bisa saja dugaan bahwa PKS telah bersikap anti-intelektualisme  ada benarnya. Jika merujuk pada pendapat sejarawan Amerika Richard Hofstadter, kaum anti-intelektualis terkemuka biasanya adalah orang-orang yang sangat mendalam keterlibatannya dengan gagasan-gagasan.  Mungkinkah Sohibul Iman termasuk di dalamnya? (D38)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Trump Alami โ€œWarisanโ€ yang Sama?

Kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat (AS) jadi sorotan dunia. Mungkinkah ada intrik mendalam yang akhirnya membuat AS terpaksa ambil langkah ini?

Didit The Peace Ambassador?

Safari putra Presiden Prabowo Subianto, Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo atau Didit, ke tiga presiden RI terdahulu sangat menarik dalam dinamika politik terkini. Terlebih, dalam konteks yang akan sangat menentukan relasi Presiden Prabowo, Joko Widodo (Jokowi), dan Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

PDIP Terpaksa โ€œTundukโ€ Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan โ€œtundukโ€ kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

More Stories

Politik Snouck Hurgronje ala Jokowi

Ada indikasi Jokowi menggunakan taktik Snouck Hurgronje dalam menguasai wilayah Banten. Hal itu dikarenakan, Jokowi kerap mengenakan simbol-simbol Islam dan adat ketika berkunjung ke...

Rangkul Pemuda Pancasila, Jokowi Orbais?

Pemuda Pancasila adalah organisasi warisan Orde Baru (Orbais). Apakah kelompok ini akan dirangkul oleh Jokowi di Pilpres 2019? PinterPolitik.com Istana kedatangan tamu. Kediaman presiden itu kini...

Tampang Boyolali, Prabowo Sindir Jokowi?

Kata-kata โ€œtampang Boyolaliโ€ ala Prabowo terindikasi memiliki kaitan dengan latarbelakang Jokowi sebagai presiden keturunan Boyolali. PinterPolitik.com Akhir-akhir ini, Prabowo Subianto menjadi sorotan. Yang terbaru, kata-kata Prabowo...