Dugaan maladminstrasi membuat posisi Anies Baswedan digoyang Ombudsman.
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]ursi Anies Baswedan digoyang. Gubernur DKI Jakarta tersebut diancam akan dibebastugaskan dari jabatan yang belum setahun ia emban. Ancaman tersebut diungkapkan oleh Ombudsman Plt Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan DKI Jakarta Dominikus Dalu.
Ombudsman menemukan sejumlah praktik maladminstrasi yang dilakukan oleh mantan Menteri Pendidikan tersebut. Mereka menilai sang Gubernur melakukan sejumlah kesalahan dalam penataan kawasan Tanah Abang. Menurut Ombudsman, Anies tidak kompeten dalam mengantisipasi dampak dari penataan PKL di kawasan tersebut.
Sejauh ini, Anies tampak tidak terlalu khawatir. Pernyataannya di media mengungkap bahwa bukan otoritas Perwakilan Ombudsman untuk membebastugaskan seorang gubernur, melainkan Ombudsman pusat. Meski begitu, ia mengapresiasi lembaga tersebut dan akan mempelajari temuan mereka.
Anies mengaku senang lembaga itu akhirnya aktif. Dari pernyataan tersebut, terkesan bahwa Ombudsman seperti tiba-tiba muncul. Jika benar begitu, ke mana saja lembaga itu selama ini? Mengapa baru terkesan aktif di era Anies?
Ombudsman, Muncul dari Kegelapan
Bak keluar dari kegelapan, Ombudsman tiba-tiba muncul dengan ancaman berat. Ombudsman Perwakilan Jakarta sebenarnya baru aktif belakangan ini. Peresmian perwakilan lembaga tersebut baru terjadi pada 10 Maret 2018 lalu.
Meski baru muncul dari kegelapan, lembaga yang kerap mengurusi maladministrasi itu langsung mengancam akan membebastugaskan Anies Baswedan dari jabatan Gubernur DKI Jakarta. Mereka menemukan ada empat bukti maladministrasi yang dilakukan oleh mantan Menteri Pendidikan tersebut.
Lembaga yang mengawasi pelayanan publik ini menggunakan senjata berupa UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemda. Mereka merujuk pada pasal 5 UU tersebut yang membahas rekomendasi Ombudsman terkait aduan masyarakat.
Jika merujuk pada peraturan yang ada, lembaga ini tidak memiliki otoritas untuk benar-benar membebastugaskan kepala daerah. Dalam konteks ini, lembaga yang kini diketuai Amzulizan Rifai itu hanya bisa memberikan sanksi pembinaan khusus atau pendidikan kilat (diklat).
Menurut Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono, sanksi administratif kepada kepala daerah yang tidak menjalankan rekomendasi Ombudsman memang ada. Akan tetapi, hal ini tidak berarti kepala daerah bisa diberhentikan begitu saja.
Ketika kepala daerah dikirim untuk mengikuti pembinaan, memang ia menjadi bebas dari tugas-tugasnya di pemerintahan. Ia juga harus melimpahkan kewajibannya kepada wakilnya. Meski demikian, kondisi ini hanya berlaku sementara dan tidak sama dengan pemberhentian.
Pernyataan Dalu soal bebas tugas bisa jadi benar, tetapi ini hanya merujuk pada bebas dari tugas selama mengalami proses pembinaan. Bebas tugas dalam konteks ini tidak berarti dicopot atau diberhentikan secara permanen.
Proses pemberhentian kepala daerah tidak dilakukan dengan mekanisme semudah itu. Pemberhentian kepala daerah diberhentikan melalui Keputusan Presiden setelah mendapat usulan Mendagri. Dalam hal ini, Ombudsman tidak memiliki otoritas untuk menghentikan jabatan kepala daerah secara serta-merta.
Indikasi Tebang Pilih
Beberapa kalangan mempertanyakan ancaman Ombudsman yang dialamatkan pada Anies tersebut. Mereka menilai lembaga ini cenderung tebang pilih dan seperti ingin mengkriminalisasi gubernur yang belum genap setahun menjabat tersebut.
Beberapa anggota DPRD DKI Jakarta menilai lembaga ini seperti menarget Anies, padahal mereka terlihat sangat tumpul pada era gubernur sebelumnya. Mereka menilai dugaan maladministrasi tidak hanya ditemukan di era Anies-Sandi saja.
Soal Tanah Abang, Gerindra Menilai Ombudsman Terapkan Standar Ganda https://t.co/W3ikrXBm6a pic.twitter.com/4yzFUDvx72
— Fraksi Gerindra (@Fraksi_Gerindra) March 27, 2018
Ada beberapa kasus yang dianggap sebagai maladministrasi yang menurut anggota DPRD DKI tidak disasar oleh Ombudsman. Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana misalnya, menyoroti kasus-kasus seperti reklamasi Teluk Jakarta dan penggusuran Bukit Duri.
Menurutnya, pada kedua kasus ini sudah berada dalam tahap pelanggaran. Pada kasus Bukit Duri misalnya, PTUN sempat memenangkan gugatan warga terhadap kebijakan penggusuran tersebut. Akan tetapi, Ombudsman tidak pernah mengeluarkan rekomendasi apapun terkait kasus tersebut.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana menambahkan, kasus diskresi peningkatan Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dan pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, serta pembangunan Simpang Susun Semanggi juga tidak pernah diusut Ombudsman. Menurutnya, pada kasus-kasus tersebut ada unsur pelanggaran tetapi tidak pernah dievaluasi.
Berdasarkan kasus-kasus tersebut, muncul anggapan bahwa lembaga pengawas pelayanan publik ini hanya tajam kepada pemerintahan Anies saja. Sementara itu, di era gubernur sebelumnya mereka tidak hanya tumpul tetapi juga seperti bersembunyi.
Jika benar lembaga ini melakukan tebang pilih, maka ungkapan sosiolog dan krimonolog Jock Young ada benarnya. Menurut Young, meski mengusung aspek kesetaraan, hukum tetap memiliki target yang bersifat tebang pilih dan juga secara substantif tidak setara. Dalam hal ini, Ombudsman menjadi subyek dari perilaku tebang pilih tersebut.
Wacana Interpelasi
Langkah Ombudsman yang seperti keluar dari kegelapan ini menimbulkan kecurigaan. Beberapa pihak menduga bahwa ada manuver politik dari lembaga pemantau pelayanan publik tersebut. Ada anggapan bahwa lembaga ini digunakan untuk kepentingan politik tertentu.
Di saat bersamaan, ada wacana di DPRD DKI Jakarta untuk menggulirkan hak interpelasi kepada Anies Baswedan. Rencana hak interpelasi ini mengandung muatan yang sama, yaitu soal penataan kawasan Tanah Abang.
Wacana untuk menggulirkan hak interpelasi kepada Anies memang telah lama mengemuka. Beberapa anggota DPRD menilai bahwa sang Gubernur telah menabrak sejumlah aturan dalam berbagai kebijakannya.
Ada dua kebijakan Anies yang dianggap menabrak aturan. Pertama, Anies dianggap melanggar UU dalam penertiban kawasan Tanah Abang. Kedua, sang Gubernur dianggap melanggar aturan dalam kebijakan pembukaan Monas untuk kegiatan keagamaan.
Diketahui bahwa sejauh ini pengusung gagasan interpelasi ini adalah Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta. Partai berlogo banteng ini tergolong cukup rajin untuk mendorong agar interpelasi dapat bergulir. Mereka sampai melakukan safari ke berbagai parpol agar wacana ini terealisasi.
Hebat sekali Ombudsman bisa perintah Gubernur/Wakil Gubernur. https://t.co/eRZrYK97Im
Ombudsman menyampaikan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) kepada Pemprov DKI soal penataan pedagang kaki lima (PKL) di Tanah Abang.
— Musni Umar (@musniumar) March 26, 2018
Mengekor PDIP, ada pula Fraksi Partai Nasdem yang mendukung hak interpelasi tersebut. Menurut partai yang identik dengan warna biru itu, Anies telah mencederai hak sejumlah warga dalam penertiban Tanah Abang. Selain mewacanakan hak interpelasi, Partai Nasdem juga menyatakan bahwa mereka tidak menutup kemungkinan lain yaitu hak angket.
Kini, wacana interpelasi tersebut kembali menghangat setelah temuan Ombudsman soal maladministrasi di Tanah Abang. PDIP dan Nasdem seperti kembali mendapatkan angin akibat temuan maladminstrasi tersebut.
PDIP menyebut bahwa temuan tersebut menjadi peluru tambahan bagi mereka agar wacana hak interpelasi bisa lolos. Mereka menyebut bahwa rencana interpelasi akan dibatalkan jika Anies mau menjalankan rekomendasi yang diberikan oleh Ombudsman.
Bisa saja publik menduga bahwa ada relasi antara temuan Ombudsman dengan wacana interpelasi tersebut. Temuan lembaga pemantau ini tampak seperti mendukung gagasan yang tengah diupayakan oleh PDIP dan Nasdem. Jika anggapan soal manuver politik Ombudsman benar, maka bisa saja PDIP dan Nasdem menjadi aktor politik yang paling diuntungkan.
Sejauh ini, Ombudsman menolak anggapan adanya motif politik dalam temuan mereka. Meski begitu, kesan tebang pilih terlanjur dialamatkan pada lembaga ini. Adanya wacana interpelasi di DPRD DKI membuat nuansa politik tambah kuat. Sehingga menjadi pekerjaan besar bagi lembaga tersebut untuk membersihkan diri dari tudingan manuver politik. (H33)