Pada bulan Ramadan, masjid di Universitas Gadjah Mada (UGM) mengundang sejumlah tokoh yang masuk dalam bursa calon presiden (capres) 2024 untuk berceramah – mulai dari Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, hingga Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo.
Bila memperhatikan berbagai iklan di televisi dan media sosial (medsos), ada perubahan yang khas dan rutin terjadi – yakni kemunculan iklan-iklan sirup yang disajikan dengan olahan minuman menarik. Perubahan ini biasanya muncul beberapa minggu sebelum umat Muslim – termasuk di Indonesia – hendak menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan.
Namun, pada tahun 2022 ini (lebih tepatnya Ramadan 1443 H), ada hal yang unik terjadi di dunia politik. Setelah selama beberapa tahun terakhir pandemi membayangi, masjid di Universitas Gadjah Mada (UGM) memutuskan untuk mengadakan kegiatan ibadah salat tarawih dengan mengundang tokoh-tokoh nasional untuk berceramah.
Beberapa di antaranya justru merupakan pejabat dan politisi yang disebut-sebut bisa menjadi calon presiden (capres) potensial dalam pesta demokrasi yang akan dilaksanakan pada tahun 2024 mendatang. Beberapa di antaranya adalah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo.
Tokoh-tokoh penceramah di Masjid UGM ini pun berganti-ganti tiap harinya sesuai jadwal yang telah ditentukan oleh pengurus masjid. Namun, ada hal yang unik dalam dua tarawih yang hanya selisih satu hari, yakni pada tanggal 6 dan 7 April 2022 – ketika Ganjar dan Anies masing-masing memberikan ceramah.
Bagaimana tidak? Para makmum yang tengah mendengarkan ceramah memberikan reaksi terhadap Anies dan Ganjar. Kala Ganjar datang, misalnya, sejumlah mahasiswa tampak mengangkat spanduk yang memprotes polemik Wadas. Sementara, teriakan “Presiden” meruak kala Anies berceramah.
Sontak saja, ruang ibadah yang digunakan oleh para mahasiswa dan warga UGM tersebut bertransformasi menjadi ruang politik. Belum lagi, sejumlah tokoh yang diundang adalah tokoh-tokoh yang disebut-sebut bakal bersaing dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Konteks kegiatan ceramah di Masjid UGM ini juga menjadi menarik dengan hubungan antara ruang (space) kampus dan fakta sosial-politik yang ada. Pasalnya, meski pihak pengurus Masjid UGM mengatakan kegiatan tersebut tidak terkait dengan politik praktis, secara tidak langsung, spanduk dan teriakan yang terjadi membuat ruang tersebut menjadi bernuansa politis.
Lantas, mengapa ruang Masjid UGM ini bisa berakhir menjadi ruang yang bernuansa politis? Bagaimana sebenarnya kaitan antara dunia politik nasional dengan UGM sebagai sebuah perguruan tinggi?
UGM sebagai Arena Politik?
Bukan tidak mungkin, dengan kehadiran para tokoh politik, Masjid UGM justru menjadi sebuah arena politik – setidaknya menjadi wadah bagi diskursus yang bernuansa politis. Pasalnya, bagaimana pun juga, masjid tersebut berada di lingkungan akademis yang dalam sejarahnya memang menjadi venue bagi dinamika politik.
Grégory Busquet dalam tulisannya yang berjudul Political Space in the Work of Henri Lefebvre menjelaskan bahwa, dengan didasarkan pada pemikiran filsuf dan ahli sosiologi Henri Lefebvre, terdapat keterkaitan antara politik dan ruang. Hubungan keduanya tidak bisa dipisahkan karena ruang menjadi tempat di mana fakta-fakta sosial hadir.
Maka dari itu, ruang bisa dianggap sebagai salah satu tonggak dalam politik karena ruang itu sendiri bisa menjadi medium, instrumen, dan tujuan dari perjuangan dan konflik. Ruang pun akhirnya menjadi bagian yang integral dari dinamika politik.
Mungkin, inilah mengapa ruang dapat menjadi simbol dari perjuangan politik bagi gerakan tertentu. Salah satu contoh keterkaitan ini ialah gerakan politik yang ada di Turki dengan Taman Gezi (Gezi Park).
Sinan Erensü dan Ozan Karaman dalam tulisan mereka yang berjudul The Work of a Few Trees menjelaskan bahwa Taman Gezi menjadi ruang yang diperebutkan secara politik – terlihat dari terjadinya demonstrasi-demonstrasi terkait taman tersebut. Ini disebut juga berkaitan dengan komodifikasi yang dilakukan oleh partai penguasa Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) terhadap ruang-ruang bersama.
Mungkin, hal yang sama juga berlaku di Indonesia. Taman Monumen Nasional (Monas), misalnya, sempat menjadi ruang yang diandalkan oleh sejumlah gerakan sosial-politik – khususnya pada tahun 2017 silam ketika muncul Gerakan 212.
Boleh jadi, di tengah bulan Ramadan, Masjid UGM kini menjadi ruang politik yang diperebutkan – entah itu sebagai medium, instrumen, atau bahkan tujuan perebutan itu sendiri. Pasalnya, kampus UGM sendiri kerap menjadi arena dan ruang di mana gerakan politik lahir dan berkembang.
Namun, apakah hanya karena diundang ceramah lantas Masjid UGM menjadi penting bagi para capres potensial ini? Apakah UGM sebagai sebuah perguruan tinggi memiliki peran penting dalam dinamika politik nasional?
The UGM Civil War?
Bukan tidak mungkin, kontestasi politik yang terjadi di Masjid UGM bukanlah sekadar karena aktivitas ceramah yang diadakan setiap salat tarawih. Pasalnya, sebagai sebuah universitas, UGM memiliki pengaruh pada tingkat tertentu dalam dinamika politik dan pemerintahan nasional.
Presiden Jokowi, misalnya, merupakan alumnus Fakultas Kehutanan UGM. Bukan tidak mungkin, koneksi UGM dari mantan Wali Kota Solo tersebut turut mempengaruhi pilihan Jokowi dalam menyusun kabinet pemerintahannya.
Keterkaitan kampus dengan jabatan presiden seperti ini tidak jarang menjadi pembicaraan di beberapa negara lain seperti Amerika Serikat (AS). Tidak jarang, kampus-kampus Ivy League seperti Harvard University dan Princeton University dikenal sebagai perguruan tinggi yang kerap memproduksi lulusan-lulusan Presiden AS.
Di Indonesia, setelah Jokowi dilantik untuk masa jabatan yang kedua pada tahun 2019 lalu, sembilan sosok yang dipilih presiden untuk menjadi menteri merupakan lulusan UGM – mulai dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi, hingga sosok yang disebut-sebut menjadi orang kepercayaan Jokowi, yakni Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno. Pratikno sendiri bahkan pernah menjabat sebagai Rektor UGM pada tahun 2012-2014.
Bisa jadi, kampus yang memiliki sejumlah lulusan berpengaruh seperti UGM ini bisa menjadi ruang kontestasi politik bagi mereka yang memiliki elektabilitas tinggi. Ikatan kampus, politik, hingga gagasan pemerintahan seperti ini bisa dilihat dari bagaimana Tsinghua University di Tiongkok turut membentuk pola pemerintahan Xi Jinping.
Mengacu pada penjelasan Cheng Li dalam tulisannya yang berjudul Xi Jinping’s Inner Circle, terdapat sebuah jaringan yang disebut sebagai Tsinghua Network. Jaringan ini akhirnya tertanam dalam pemerintahan Xi dengan hadirnya sejumlah kawan kuliah Xi di posisi-posisi penting dalam Partai Komunis Tiongkok (PKT).
Menariknya lagi, konteks alumni perguruan tinggi serupa juga bisa hadir di Indonesia dan dapat dikaitkan dengan kontestasi Pilpres 2024 mendatang. Ganjar yang merupakan alumnus Fakultas Hukum UGM, misalnya, kini menjadi Ketum Pengurus Pusat (PP) Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama).
Secara tidak langsung, Ganjar pun memiliki pengaruh pada tingkat tertentu dalam organisasi alumni tersebut. Usai Presiden Jokowi terpilih pada Pilpres 2019, misalnya, Ganjar mengajak Kagama untuk senantiasa mendukung pemerintahan Jokowi.
Tidak hanya itu, Kagama sendiri memiliki Dewan Pertimbangan yang sebagian besar juga diisi oleh lulusan UGM yang kini menjabat di pemerintahan. Beberapa di antaranya adalah Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, Airlangga Hartarto, Retno, hingga Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimoeljono.
Konteks UGM sebagai arena politik ini pun menjadi semakin menarik dengan kehadiran sosok Anies yang juga merupakan alumnus Fakultas Ekonomi UGM. Bila mengacu pada pernyataan pengurus Masjid UGM, Anies pun kerap datang dan diundang untuk berbicara di lingkungan tempat ibadah kampus tersebut.
Menjadi menarik apabila konteks jaringan alumni dan kampus ini turut menjadi lahan kontestasi di antara para capres potensial ini. Lantas, siapakah yang akan memenangkan civil war UGM ini? Menarik untuk diamati kelanjutannya. (A43)