HomeHeadlineAnies “Tumbal” Sodetan Ciliwung?

Anies “Tumbal” Sodetan Ciliwung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memuji Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono karena dapat melanjutkan proyek sodetan Sungai Ciliwung yang mangkrak enam tahun. Pujian tersebut jamak dinilai juga bentuk sindiran Jokowi kepada Anies Baswedan yang tidak menyelesaikan proyek tersebut selama masa jabatannya. Apakah memang terdapat intrik politik di balik pujian sang kepala negara? 


PinterPolitik.com 

Bencana banjir sudah bukan lagi sebuah bencana yang asing bagi masyrakat bantaran sungai di DKI Jakarta. Permasalahan ini sudah terjadi selama bertahun-tahun. 

Berbagai cara tampaknya sudah dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan pemerintah pusat. Kolaborasi antara Pemprov dan pemerintah pusat ini di karenakan DKI Jakarta yang merupakan ibu kota negara. 

Normalisasi sungai, pengadaan mesin pompa, hingga rekayasa cuaca ketika puncak hujan tiba juga sudah dilakukan agar dapat mengurangi banjir di Jakarta. 

Pada tahun 2013, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kala itu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta merencanakan proyek sodetan sungai Ciliwung. Proyek ini di maksudkan untuk mengurangi risiko banjir Jakarta terutama untuk wilayah sepanjang aliran sungai. 

Proyek ini akan mengalirkan limpahan air Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (KBT) ketika debit air bertambah. 

Sodetan Ciliwung merupakan terowongan sepanjang 1.268 meter yang pembangunan tahap pertamanya direncanakan pada 2013-2015. Kemudian, pembangunan tahap dua direncanakan pada 2021-2023. 

image 92

Sodetan terdiri dari dua jalur pipa yang masing-masing berdiameter 3,5 meter untuk mengalirkan sebagian debit banjir Sungai Ciliwung menuju KBT dan Kali Cipinang. 

Dalam pembangunan sodetan Ciliwung, Pemprov DKI kebagian tugas dalam inventarisasi dan pendataan tanah yang akan dibangun sodetan. Sementara dana pembebasan lahannya menggunakan anggaran pemerintah pusat. 

Namun, proyek ini mengalami masalah pembebasan lahan sejak awal. Warga Bidara Cina kala itu melayangkan gugatan kepada Pemprov DKI Jakarta yang dinilai menyalahi aturan penertiban. 

Warga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena tak terima harus direlokasi akibat proyek sodetan Ciliwung. Gugatan warga dikabulkan majelis hakim PTUN pada 25 April 2016 silam. 

Maka, Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI nomor 2779/2015 tentang penetapan lokasi pembangunan inlet sodetan sungai Ciliwung menuju KBT pun batal. 

Selain itu, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat juga memutus SK Gubernur No 2779/2015 tentang Perubahan SK Gubernur DKI Jakarta No 81/2014 tentang penetapan lokasi pembangunan inlet sodetan sungai Ciliwung menuju KBT agar pelaksanaannya ditunda. 

Kini, proyek tersebut dilanjutkan kembali dan ditargetkan selesai pada April 2023. Presiden Jokowi pun pada Selasa pekan lalu telah meninjau pengerjaan proyek tersebut di dampingi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Heru Budi Hartono. 

Baca juga :  Anies: Rumahku, Simbol Politikku

Pada kesempatan itu Presiden Jokowi memuji Heru Budi yang dianggap dapat melanjutkan proyek tersebut setelah disebut mangkrak selama enam tahun. 

image 91

Pernyataan Jokowi dengan mengatakan bahwa proyek sodetan itu mangkrak selama enam tahun kemudian menimbulkan persepsi yang seakan sindiran tidak langsung ke gubernur sebelumnya, Anies Baswedan. 

Lantas, apa maksud Jokowi menggunakan kata mangkrak dalam pernyataannya yang seakan sebagai sebuah sindiran politik ke Anies Baswedan? 

“Sentil” Anies? 

Pujian Presiden Jokowi kepada Pj Gubenur Heru Budi Hartono kiranya secara otomatis memantik tanda tanya dikarenakan secara tidak langsung seolah menyindir Anies yang menjabat sebagai gubernur sebelumnya. 

Di saat yang sama, Presiden Jokowi mengaku kaget Heru Budi dapat menyelesaikan masalah pembebasan lahan dan melanjutkan proyek sodetan Ciliwung yang disebut-sebut terbengkalai selama enam tahun. 

Bukan tidak mungkin itu adalah bentuk sindiran tidak langsung kepada gubernur DKI sebelumnya. Sindiran semacam itu memang lazim digunakan dalam diskursus politik. 

David M. Bell dalam publikasinya yang berjudul Innuendo menjelaskan bahwa sindiran digunakan ketika penyindir ingin mempengaruhi orang lain serta menyembunyikan maksud asli penyindir agar risiko-risiko ekspresinya dapat diminimalisir. 

Lebih lanjut, Bell mendefinisikan Innuendo dengan teori speech act (tindak tutur) dan mengkategorikan sindiran sebagai bentuk pragmatic act. 

Tindakan ini dilakukan untuk mewujudkan intensi penyindir bukan dengan pihak lain untuk mengenali maksud penyindir, melainkan dengan mengkondisikan ucapannya pada konteks tertentu. 

Kemudian Joyojeet Pal dan tim penulisnya dari University of Michigan, Amerika Serikat (AS) menjelaskan dalam tulisan mereka yang berjudul Innuendo as Outreach bahwa sindiran politik sering kali disalurkan dalam bentuk ironi verbal. 

Ironi verbal sendiri dimaksudkan sebagai kiasan retorik yang disertai dengan substitusi makna sesungguhnya. 

Merujuk pada penjelasan Bell dan Pal diatas, frasa kata “mangkrak” yang digunakan Jokowi dalam pernyataannya saat meninjau proyek sodetan Ciliwung mungkin sebuah bentuk sindiran kepada Anies yang seakan tidak dapat menyelesaikan proyek tersebut pada periode kepemimpinannya di DKI Jakarta sebagai sebuah ironi verbal. 

Selain itu, gaya Bahasa Jokowi dengan menyebut kata mangkrak dinilai sebagai respon kekecewaan dirinya terhadap Anies. Sementara, kata mangkrak sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti terbengkalai. 

Menurut pakar linguistik Bahasa Indonesia Henry Guntur Tarigan dalam bukunya berjudul Pengajaran Gaya Bahasa dijelaskan terkadang dengan kata-kata pada umumnya belum tentu jelas untuk menggambarkan sesuatu hal. 

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Oleh sebab itu, digunakanlah persamaan kata atau perbandingan kata serta kata berkias lain. Dapat disimpulkan bahwa fungsi yang ada dalam gaya bahasa yaitu untuk memperkuat efek suatu gagasan yang akan disampaikan, dan terakhir sebagai alat untuk menciptakan keadaan tertentu pada hati seseorang. 

Merujuk pada yang disampaikan Henry, Presiden Jokowi agaknya terlihat ingin menegaskan kekecewaannya bahwa selama enam tahun proyek sodetan Ciliwung ini tidak mengalami perkembangan yang berarti. 

Proyek sodetan ini cukup penting bagi Presiden Jokowi mengingat proyek ini dimulai pada saat dia menjadi gubernur. 

Lalu, mengapa Jokowi seakan merasa perlu menyindir Anies dalam proyek sodetan Ciliwung tersebut? 

image 90

Tidak Pernah Akur? 

Meskipun Anies pernah menjadi menteri di periode pertama kepemimpinan Jokowi, hubungan keduanya tampaknya tidak cukup harmonis di balik layar. Anies yang kala itu di-reshuffle oleh Presiden Jokowi disebut-sebut belum sepenuhnya menerima. 

Sejak saat itu, hubungan keduanya dikabarkan menjadi sedikit renggang. Ditambah lagi ketika Anies menjadi Gubernur DKI Jakarta dianggap kerap tidak sejalan dengan pemerintah pusat. 

Usai menjadi gubernur, langkah Anies yang telah menjadi capres Partai NasDem untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 tampaknya membuat hubungan keduanya semakin tak selaras. 

Upaya Presiden Jokowi melemparkan sindiran tampaknya hampir serupa dengan kejadian Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat (AS). 

Kedua negara sebelumnya merupakan sekutu dalam Perang Dunia II sebelum akhirnya menjadi musuh bebuyutan sepanjang paruh akhir abad ke-20. 

Di era tersebut, sindiran dan ancaman kerap dilakukan sebagai upaya deterrence (menghalangi atau membuat pihak lain menghentikan niatnya). 

Menurut Wyn Q. Bowen dalam publikasinya berjudul Deterring Mass-Casualty Terrorism di jelaskan bahwa deterrence dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah pihak musuh untuk melakukan suatu tindakan tertentu yang dapat merugikan kita. 

Mengacu pada penjelasan Bowen tersebut, manuver politik Anies dan partai NasDem menjelang pilpres yang semakin gencar bukan tidak mungkin membuat Presiden Jokowi dan entitas politik dibaliknya sedikit khawatir. 

Selain itu, gelagat dari Presiden Jokowi belakangan ini yang seolah tetap ingin memainkan peran di Pilpres 2024 boleh jadi merasa perlu meredam manuver politik tersebut dengan melemparkan “sindiran” tersebut. 

Namun, terlepas dari apapun yang dimaksud Presiden Jokowi atas frasa “mangkrak”-nya, yang terpenting adalah segera rampungnya proyek sodetan Ciliwung. 

Proyek ini di harapkan befungsi sebagaimana mestinya, yaitu mengurangi risiko banjir di Jakarta yang akan menimbulkan kerugian baik secara material maupun immaterial karena status Jakarta sebagai ibu kota negara dan pusat perekonomian. (S83) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?