Site icon PinterPolitik.com

Anies, “Tiran” Kelompok Minoritas Indonesia?

Anies Ubah Lanskap Politik?

Anies Baswedan. (Foto: Genpi)

Anies Baswedan kerap dipandang sebagai politisi yang “menakutkan” bagi kelompok minoritas Indonesia. Mengapa pandangan tersebut bisa muncul?


“Fear is the main source of superstition, and one of the main sources of cruelty,” Bertrand Russell

PinterPolitik.com

Menyambut Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) yang tersisa hanya beberapa bulan lagi, mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan telah menjadi salah satu bakal calon presiden (bacapres) yang paling populer di kalangan masyarakat.

Meskipun menurut beberapa hasil survei elektabilitas peringkat Anies kerap naik turun, nama Anies bisa dipastikan selalu berada di jajaran atas bersama bacapres populer lain seperti Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo, dan Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto.

Nah, ngomongin soal Anies, ada satu topik pembicaraan mengenainya yang sepertinya tidak terlalu kentara dengan kandidat-kandidat lain, tetapi sangat menarik untuk dibahas, yakni desas-desus tentang politik identitas.

Ya, sudah jadi rahasia umum di masyarakat bahwa Anies kerap disandingkan dengan sejumlah kelompok agamais di Indonesia. Sebagai contoh, ketika Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 (Pilgub DKI 2017) lalu, Front Pembela Islam (FPI) dan Habib Rizieq Shihab disebut-disebut jadi basis massa yang berperan besar memenangkan Anies.

Kemudian, dari personal Anies sendiri, sepertinya sudah banyak yang sadar juga bahwa mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tersebut berasal dari keluarga Arab-Indonesia yang datang dari Yaman pada abad ke-19.

Namun, di era yang bisa dibilang cukup sensitif terhadap isu-isu politik identitas seperti sekarang ini, keidentikkan Anies dengan politik Islam justru dilihat secara negatif oleh beberapa kalangan masyarakat.

Sebuah artikel di Warta Ekonomi pada 6 Maret 2023 lalu misalnya, sempat membahas sebuah video tentang seorang warga Tionghoa yang menuding Anies menjadikan Jakarta seperti “Suriah” ketika dirinya menjadi Gubernur.

Well, itu hanya jadi contoh kecil saja dari sejumlah narasi “ketakutan” yang dilontarkan pada Anies. Sehari-hari, dalam grup-grup WhatsApp, sering juga berseliweran tulisan tentang Anies yang disebut akan mendiskriminasi kelompok minoritas kalau ia jadi Presiden di Pilpres 2024 nanti.

Fenomena ini kemudian memunculkan sebuah pertanyaan menarik, yaitu kenapa Anies bisa dipandang sebagai sosok “musuh” bagi beberapa kelompok minoritas di Indonesia?

Anies, Proyek Konstruksi Realitas?

Bagi kalian yang senang bermain video game role-playing game atau RPG, kalian mungkin akrab dengan satu franchise berjudul Assassin’s Creed. Franchise tersebut memiliki motto yang cukup ikonik:

Nothing is true, everything is permitted.”

Kutipan yang aslinya diucapkan pejuang kuno Persia, Hassan as-Sabbah tersebut sederhananya memiliki makna bahwa segala peristiwa penting di dunia, khususnya dalam aspek politik dan sosial, merupakan hasil suatu desain para aktor besar di balik layar.

Dan memang, dalam dunia fenomenologi, yakni studi filosofis yang membahas tentang pengalaman dan kesadaran manusia, ada sebuah teori yang disebut social construction theory atau teori konstruksi sosial. Peter L. Berger and Thomas Luckmann sebagai pencetus teori ini, dalam buku mereka yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, meyakini bahwa realitas merupakan hasil konstruksi individu secara kolektif dalam tatanan sosial.

Sederhananya, suatu pandangan kolektif masyarakat yang kerap menjadi basis dari nilai dan norma sosial yang berlaku awalnya berangkat dari penyelarasan pemikiran setiap individu terhadap satu objek. Nah, agar tujuan semacam itu bisa tercipta, maka objek yang dimaksud itu pun perlu memiliki fakta-fakta pendukung yang sanggup membuat orang-orang berpikiran sama tentangnya.

Sebagai seorang politisi, tentu pandangan ini juga bisa saja berkaitan dengan sosok Anies. Kalau kita melihat track record-nya, kita bisa duga bahwa dari awal kariernya sebagai politisi Anies sepertinya memang sudah “didesain” untuk jadi tokoh politik yang sangat identik dengan Islam, dan di saat bersamaan berlawanan dengan kaum minoritas Indonesia.

Dalam kasus Pilgub DKI 2017 misalnya, Anies dicalonkan sebagai kandidat gubernur yang mendapat dukungan dari kelompok “lawan” minoritas Indonesia, yakni FPI. Anies juga otomatis dipersepsikan menjadi politisi yang identik dengan gerakan fundamentalisme Islam karena menjadi oposisi dari perwakilan kelompok minoritas, yaitu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Faktor pendukung lain yang membuat Anies kental dengan kelompok fundamental Islam adalah ketika dirinya turun dari jabatan Mendikbud. Sebagai menteri yang akhirnya terkena reshuffle dalam kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi), Anies pada saat itu otomatis dipandang oleh sejumlah pendukungnya sebagai korban dari “politik bagi kue” kursi menteri.

Menariknya, karena pemerintahan Jokowi kerap dianggap dekat dengan organisasi masyarakat (ormas) Islam lain yakni Nahdlatul Ulama (NU), dukungan FPI sebagai ormas yang tidak begitu sejalan dengan NU semakin memperkuat dugaan bahwa Anies adalah politisi tandingan dari kelompok non-fundamentalis Islam. Bagi sejumlah kaum minoritas, hal ini sepertinya jadi kecurigaan yang langsung terasa.

Nah, walaupun kebenarannya tidak pasti, faktor-faktor yang disebutkan di atas tadi memiliki kekuatan dalam memunculkan persepsi bahwa Anies memang berpihak pada identitas tertentu, dan memiliki potensi menjadi “musuh” yang nyata karena pernah berafiliasi dengan kelompok fundamentalis Islam 

Kalau kita kembali berkaca pada teori konstruksi sosial, hal semacam ini bisa jadi memang didesain sebagai variabel-variabel pendukung untuk menciptakan Anies sebagai politisi yang berlawanan dengan kelompok minoritas Indonesia. Tanpa perlu melakukan perlawanan yang radikal dan tanpa menunjukkan kekerasan, publik bisa menciptakan persepsinya sendiri tentang Anies.

Lantas, apa tujuannya?

Well, bisa bermacam-macam, bisa jadi ini adalah motif yang memang sudah diharapkan oleh para kaum fundamentalis untuk menciptakan pemimpin baru yang sejalan dengan spektrum mereka, atau ini hanya jadi “proyek” politik pragmatis semata karena potensi populisme politik identitas Anies, sekaligus sebagai anti-tesis dari politisi mana pun nanti yang mengaku berasal dari kelompok moderat.

Namun, kalaupun dugaan-dugaan ini memang benar, masih ada satu misteri yang belum terjawab dengan jelas, yakni kenapa narasi ketakutan terhadap Anies masih bisa tersebar begitu saja, padahal belum ada bukti jelas bahwa Anies adalah ancaman bagi kelompok minoritas?

Ada Fenomena Tyrannophobia?

Sejak pertama kali manusia menerapkan politik, kita mengenal apa yang benar-benar dimaksud dengan namanya kekuatan. Entah itu dalam bentuk kerajaan, kekaisaran, atau republik, orang yang mempunyai kekuatan tertinggi selalu memiliki kesempatan untuk membelokkan realitas di negaranya tanpa banyak ditentang oleh orang lain.

Meskipun mungkin tidak selalu demikian, setidaknya itulah kekhawatiran orang-orang setiap sebelum memilih seorang politisi untuk menjadi pemimpin baru mereka.

Dalam dunia politik, fenomena ketakutan seperti itu memiliki istilah tyrannophobia, atau ketakutan terhadap potensi seorang tiran. Eric A. Posner and Adrian Vermeule dalam tulisan mereka Tyrannophobia, menjelaskan bahwa sejak ribuan tahun peradaban manusia selalu dilanda rasa takut abadi terhadap orang-orang yang bias pada satu kelompok jika mereka menjadi semakin populer.

Dalam sejarah misalnya, elite-elite Romawi kuno begitu takut terhadap potensi Julius Caesar menjadi seorang kaisar yang terlalu berpihak pada rakyat, padahal sebenarnya hal itu belum benar-benar terjadi.

Yap, layaknya perkembangan sebuah teori konspirasi, jika ada kelompok yang menakuti kandidat politik populer tertentu, mereka yang mempersepsikan dirinya memiliki spektrum politik berbeda dengan kandidat tersebut secara otomatis juga akan memunculkan kekhawatiran-kekhawatiran yang terkadang bersifat di luar nalar, ini karena mereka terdorong untuk mencari pembenaran atas kekhawatirannya tadi.

Menurut beberapa studi tentang pola pikir manusia, hal ini sebenarnya adalah sesuatu yang sifatnya naluriah, yang artinya sangat normal bila muncul kekhawatiran seperti itu. Di satu sisi, tyrannophobia ini juga jadi semacam mekanisme pertahanan yang unik dalam pribadi setiap manusia untuk mendeteksi adanya potensi penyalahgunaan kekuatan.

Namun, pada akhirnya ketakutan-ketakutan semacam itu hanyalah menjadi sensasi belaka, karena bagaimana pun juga, suatu klaim yang ekstrem terhadap seseorang, pun membutuhkan bukti yang ekstrem untuk membenarkannya.

Berdasarkan pandangan ini, bisa kita katakan bahwa mungkin saja ketakutan-ketakutan yang muncul di benak sejumlah kelompok masyarakat di Indonesia sebenarnya hanya bentuk tyrannophobia terhadap Anies, yang sepertinya memang sudah didesain menjadi politisi yang identik dengan fundamentalisme Islam.

Yang jelas, siapa pun bacapres yang muncul, kita terus perlu mengawasi jalan menuju Pilpres 2024 agar bisa terlaksana secara aman dan tanpa provokasi. (D74)

Exit mobile version