Site icon PinterPolitik.com

Anies Tidak Terkungkung “Politik Ulama”?

ada apa anies dengan politik identitas

Dua mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnomo “Ahok” dan Anies Baswedan. (Foto: Jakarta Bisnis)

Fenomena tokoh agama yang terjun ke politik praktis hingga pendekatan aktor politik kepada ulama dan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam seolah mengimpresikan masih berpengaruhnya aspek tersebut bagi dampak elektoral. Namun, di titik ini, sosok capres yang sempat dilabeli identitas Islam tertentu, yakni Anies Baswedan, kiranya memiliki peluang lebih untuk menetralisir isu tersebut di 2024 dan mengarahkannya secara konstruktif. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com 

Interaksi serta pendekatan kepada para tokoh agama, ulama, hingga organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam kembali menjadi fenomena rutin yang terlihat jelang Pemilu dan Pilpres.

Mulai dari tokoh agama yang belakangan cenderung kontroversial seperti Yusuf Mansur yang bergabung dengan Partai Perindo, hingga para bakal calon presiden (capres) seperti Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, serta Anies Baswedan yang menjalin ukhuwah dengan para ulama prominen di berbagai daerah. 

Di permukaan, sebagai negara yang memiliki populasi Muslim terbesar, gestur sosiopolitik itu memang dapat dimaknai secara sederhana, yakni eksistensi dan peran tokoh agama, ulama, kiai, maupun ormas Islam dianggap masih signifikan berkontribusi di kontestasi elektoral 2024.

Secara historis, peran para ulama dalam perpolitikan memang telah ada sejak era sebelum Kemerdekaan. 

Ketika itu, para ulama tak hanya berperan menjadi pemantik semangat juang rakyat melawan penjajahan, tetapi juga turut aktif dalam merumuskan pondasi bangsa dan negara. Itu tercermin dari kontribusi tokoh seperti K.H. Hasyim Asyari, K.H. Ahmad Dahlan, hingga K.H. Wahid Hasyim.

Pada era Orde Baru (Orba), “love and hate relationship” dengan para ulama tetap menjadi variabel penting dinamika politik di bawah kepemimpinan tangan besi Soeharto.

Pasca Reformasi, ulama bahkan berhasil merengkuh kursi kepemimpinan tertinggi negeri saat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menggantikan Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai Presiden ke-3 RI pada tahun 1999. 

Begitu pula dengan sampel di Pilpres 2019, yakni saat K.H. Ma’ruf Amin yang merupakan ulama paling powerful di Indonesia – sebagaimana dikatakan Greg Fealy dalam publikasinya di New Mandala berjudul Ma’ruf Amin: Jokowi’s Islamic defender or deadweight? – berhasil menjadi Wakil Presiden ke-13 RI. 

Tidak keliru memang saat dikotomi latar belakang kandidat politik tokoh agama atau ulama terus mewarnai karakteristik kandidat lain seperti nasionalis, militer, hingga kesukuan eksis sebagai variabel analisis. 

Akan tetapi, residu politik seperti, misalnya, label tertentu kepada Anies sejak Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 maupun polarisasi dengan dampak minor pertarungan Joko Widodo (Jokowi) vs Prabowo di Pilpres 2019 kiranya menjadi persoalan yang harus dicermati secara bijak. 

Menariknya, khusus bagi Anies, meski bukan tokoh agama maupun ulama, sebagai kandidat yang kerap dinilai lekat dengan ekses tersebut, sosoknya justru tampak ideal untuk mendekonstruksi persepsi minor atas identitas keagamaan dan politik “ulama” di Pilpres 2024. Mengapa demikian? 

Perdebatan Abadi Soal Visi? 

Sebelum membahas lebih fokus yang berkorelasi dengan Anies, menelaah lebih dalam kekuatan sesungguhnya dari para tokoh agama, ulama, maupun ormas Islam kiranya dapat menjadi pintu masuk pertama. 

Hingga saat ini, sejumlah kalangan kiranya masih ada yang menganggap para pemuka agama tidak seyogianya berbicara politik karena dapat memecah-belah masyarakat. Mereka menilai bahwa pemuka agama wajib untuk netral dan tidak boleh membahas urusan politik. 

Pemahaman itu sendiri sebenarnya bukanlah hal baru, termasuk dalam konteks lintas negara maupun lintas agama. 

Di negara-negara Amerika Latin, misalnya, para uskup dan pastor Gereja Katolik sering kali menjadi sasaran kekejaman penguasa karena dianggap telah menghasut jemaat untuk melawan pemerintah. Di Amerika Latin, agama Kristen kerap dianggap menjadi alat perlawanan para kaum tertindas. 

Resistensi kelompok agama itu kemudian dikenal dengan nama “Teologi Pembebasan”. Filsuf dan agamawan Peru Gustavo Gutiérrez menyatakan teologi pembebasan adalah upaya untuk melawan pelecehan terhadap martabat manusia, melawan perampasan oleh mayoritas, serta berupaya untuk membangun suatu masyarakat baru yang adil dan penuh persaudaraan demi meraih rahmat dari kerajaan Tuhan. 

Perlawanan kaum agama marak bermunculan pada tahun 1960-an ketika dominasi Amerika Serikat (AS) sangat kuat dalam kehidupan ekonomi-politik negara-negara Amerika Latin. 

Gerakan ini melibatkan sektor penting dalam gereja seperti uskup dan pastor. Para pemuka agama itu memobilisasi gerakan-gerakan masyarakat untuk memprotes pemerintah.   

Sampel negara Amerika Latin sendiri bukan tanpa alasan. Negara-negara dunia ketiga seperti Amerika Latin dan Indonesia memiliki mayoritas penduduk yang hidup di taraf yang masih belum memadai. 

Maka dari itu, dominasi kelompok agama dalam kehidupan masyarakat masih sangat terasa. Tak ayal, seorang pemuka agama begitu ditakuti dan dihormati karena dirinya bisa menggerakan massa untuk melawan status quo

Dan itu adalah modal sosial yang cukup signifikan yang dapat terkonversi menjadi modal politik mumpuni seperti yang dijelaskan Regina Birner dan Heidi Wittmer dalam Converting Social Capital into Political Capital

Terlepas dari postulat tersebut, secara objektif “politik ulama” memiliki plus minusnya sendiri, khususnya di Indonesia. 

Dari segi kemanfaatan, tokoh agama dan ulama dalam dunia politik kerap dipandang menjadi penyalur aspirasi umat. Selain itu, terdapat perspektif bahwa manuver politik mereka merupakan urgensi peran ikhtiar mengaktualisasikan nilai dan kebaikan agama melalui politik praktis. 

Sementara itu, dari segi aspek kurang positifnya, frasa “umat” sendiri masih meninnggalkan perdebatan, terutama dari perspektif representasi “umat yang mana?”. 

Tak hanya itu, keterlibatan mereka agaknya rawan dengan konflik kepentingan di tengah politik yang “keruh”, rawan pula untuk terjadi kontaminasi impresi ulama dan agama sebagai alat politik pragmatis (transaksional), hingga potensi perebutan massa dari masjid ke masjid. 

Yang lebih kasat mata, diskursus keberpihakan simbiosis yang terjadi selama ini agaknya terlihat lebih besar porsinya hanya kepada mereka yang terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU). 

Oleh karena itu, relasi pragmatis nan transaksional secara langsung maupun tidak langsung dalam politik praktis kiranya memang harus diinterpretasi secara bijak.  

Apalagi, tendensi patronase ulama dan santri atau umat kiranya tak terlampau signifikan di tengah semakin masifnya arus informasi yang membuat pemilih semakin kritis. 

Mengutip publikasi Sutriyadi yang berjudul Menjelang 2024, Pemuka Agama Semakin Laris, setidaknya ada ada dua impresi yang akan dialami oleh masyarakat saat menyaksikan tokoh agama panutannya berpose dengan atau menjadi tokoh politik.  

Pertama, mereka akan merasa bangga jika kandidat yang ia sukai ternyata orang yang sama dengan yang didukung oleh tokoh agamanya, dampaknya adalah keyakinan terhadap kandidat tersebut akan semakin kuat. 

Kedua, apabila kandidat yang tidak disukai namun mendapat dukungan dari pemuka agama panutannya, maka timbul rasa bimbang. Tak lain, antara tetap pada pendirian politiknya atau mengikuti guru dan saran dari tokoh agama yang dianggap sebagai teladan. 

Kembali seperti deduksi di atas, Anies kiranya menjadi sosok yang memiliki advantage untuk menjadi aktor penengah relasi tokoh agama dengan politik, setidaknya dengan pengalamannya dan jika dibandingkan dengan Ganjar maupun Prabowo. Benarkah demikian? 

Arab, Anies, dan Kaum Pluralis 

Kendati kerap dianggap kadung terjebak sebagai sosok yang menggunakan identitas agama Islam, termasuk “politik ulama” dalam naiknya ia ke kursi Balai Kota, Anies kiranya justru dapat membalikkan narasi itu di Pilpres 2024 nanti. 

Kala berbicara soal identitas, frasa seperti “kepastian”, “statis”, dan “tetap” kiranya bukanlah yang seharusnya digunakan. Itu dikarenakan, identitas seseorang tidak begitu saja terbentuk dalam waktu sekejap. 

Begitu pun yang terjadi pada Anies. Mengacu pada penjelasan Brunhilde Scheuringer dalam tulisannya yang berjudul Multiple Identities: A Theoretical and an Empirical Approach, identitas seseorang bisa jadi terbentuk secara unik dan bisa berubah-ubah berdasarkan waktu dan lingkungan sosial (social milieu) di mana individu tersebut berada. 

Jika menganalisisnya secara objektif, setidaknya sebelum Pilgub DKI Jakarta 2017, Anies sendiri sebenarnya jauh dari image kurang positif yang kerap tersemat padanya saat ini. Bahkan, Anies boleh dikatakan sebagai sosok yang cukup plural. 

Sebelum Pilkada, Anies dikenal sebagai cendekiawan Muslim moderat. Itu dapat ditelusuri dari relasinya yang sangat dekat dengan sang kakek yang juga merupakan cendekiawan, plus diplomat dan pejuang kemerdekaan Indonesia, yakni Abdurrahman (AR) Baswedan. 

Kendati bergabung dengan Partai Masyumi, AR Baswedan mengajak keturunan Arab, seperti dirinya untuk menganut asas kewarganegaraan ius soli (di mana saya lahir, di situlah tanah airku). 

AR Baswedan juga cukup resisten dengan eksklusivitas keturunan Arab, termasuk dalam konteks dikotomi ideologi politik yang membuatnya cukup terbuka. Itulah yang disebut-sebut menjadi refleksi Anies sejak kecil hingga saat ini. 

Selain itu, narasi identitas maupun “politik ulama” yang bertendensi minor sendiri kiranya juga kurang komprehensif disematkan pada Anies. 

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu sendiri menjalankan interaksi-interaksi sosial di banyak tempat dan waktu yang berbeda. 

Jika menelusuri portofolionya tanpa melakukan partisi timeline politik, Anies juga berkecimpung dan memiliki inisiatif di berbagai bidang, salah satunya menggagas program konstruktif seperti Indonesia Mengajar. 

Saat menjabat sebagai Gubernur, Anies juga menjadi yang terdepan dalam memberikan izin dan meresmikan banyak tempat ibadah lintas agama. 

Teoretis Scheuringer serta bagaimana proses internalisasi serta sosialisasi di lingkungan sosial sekitarnya, Anies bisa saja memiliki apa yang disebut oleh Scheuringer sebagai identitas jamak (multiple identities)

Ihwal itu sebenarnya cukup untuk menjadi cara untuk mendekonstruksi perspektif ke arah yang lebih komprehensif bagi para pemilih untuk menghindari pelabelan tertentu kepada seorang kandidat. 

Tak hanya mengenai narasi identitas hingga “politik ulama” yang kerap tersemat kepada Anies, melainkan juga kepada kandidat lain seperti Prabowo maupun Ganjar dalam konteksnya masing-masing. 

Tentu, demi menghindari implikasi destruktif sosiopolitik yang mengiringi proses elektoral 2024 mendatang. (J61) 

Exit mobile version