Unggahan Anies Baswedan membaca buku Principles for Navigating Big Debt Crises dinilai sebagai kritik terhadap pemerintahan Jokowi. Ini kah cara Anies untuk keluar dari belenggu Surya Paloh?
PinterPolitik.com
“Politics is the art of looking for trouble,” ― Ernest Benn
Bakal calon presiden Koalisi Perubahan Anies Baswedan kembali menjadi perbincangan luas publik. Bagi yang mengikuti media sosial Anies, pasti sudah tahu kalau ini soal unggahannya membaca buku Principles for Navigating Big Debt Crises. Buku yang ditulis oleh Ray Dalio itu dinilai sebagai kritik simbolis Anies untuk pemerintahan Jokowi.
Di berbagai lini media sosial, warganet misalnya mengaitkan dengan bengkaknya biaya pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Pada Januari 2016, ketika proyek itu dimulai estimasi biayanya sebesar US$ 6,07 miliar atau Rp90,1 triliun (kurs Rp14,8 ribu). Pada update April 2023, biayanya membengkak menjadi US$ 7,27 miliar atau Rp108 triliun.
Achmad Nur Hidayat dalam tulisannya Debt Trap 25 Tahun: Kesejahteraan Rakyat Turun Utang Bertambah, Reformasi Kehilangan Makna, menyebutkan bahwa pemerintahan Jokowi adalah yang paling agresif dalam menambah utang.
Nur Hidayat menunjukkan, pada periode pertama Jokowi 2014-2019 tercatat utang bertambah Rp2.178 triliun atau tumbuh 83,5%. Kemudian pada periode kedua 2019-2023 utang bertambah Rp3.092 triliun atau tumbuh 64,6%.
Utang luar negeri Indonesia periode 2004 sampai Januari 2023 (Sumber: Katadata)
Guerrilla Marketing
Melihat ke belakang, bukan kali pertama Anies dinilai mengkritik pemerintah melalui unggahan membaca buku. Pada November 2020, Anies mengunggah foto sedang membaca buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Kala itu Anies dinilai mengkritik pemerintah karena bersikap otoriter, khususnya dalam cara menangangi pandemi Covid-19.
Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Evan Laksmana, misalnya, menyebutkan bahwa tidak transparannya pemerintah soal data Covid-19 menunjukkan cara berpikir ala militer yang ada di pemerintahan Jokowi.
Well, melihatnya dari kacamata marketing, unggahan buku Anies adalah apa yang disebut dengan guerrilla marketing atau pemasaran gerilya. Itu adalah taktik pemasaran yang memiliki ciri khas menggunakan kejutan (element of surprise) dalam strategi komunikasinya.
Pemasaran gerilya berbeda dari pemasaran tradisional karena mengandalkan interaksi pribadi, anggaran lebih kecil, dan menargetkan kelompok masyarakat tertentu untuk menyebarkan konten promosi.
Pemasaran gerilya dapat pula disebut pemasaran viral berbiaya murah. Konten promosi dibuat mengejutkan, sensasional, atau semenarik mungkin agar tersebar dari mulut ke mulut, sehingga menjangkau audiens yang lebih luas secara gratis.
Koneksi ke emosi konsumen adalah kunci pemasaran gerilya. Salah satu elemen kunci dari pemasaran gerilya adalah memilih waktu dan tempat yang tepat. Riding the wave atau menunggangi isu yang sedang viral adalah contoh pemasaran gerilya.
Pada unggahan buku Anies, dengan meyakinkan kita dapat menyebutnya sebagai pemasaran gerilya. Anies mengunggah di momen yang tepat, hanya memanfaatkan akun media sosialnya (berbiaya rendah), dan menyasar emosi warganet yang concern terhadap utang negara.
Tanpa diperintah, warganet yang merasa memiliki ikatan emosi dengan unggahan Anies kemudian membagikan foto Anies secara sukarela. Tak lupa mereka membumbui foto itu dengan keterangan yang merupakan opini mereka.
Ada yang membumbui soal elegannya cara Anies mengkritik. Ada yang mengkritik kebijakan pemerintah yang membuat utang negara bertambah. Ada pula yang mendukung Anies maju di Pilpres 2024.
Lantas, apakah unggahan Anies membaca buku, khususnya buku Big Debt Crises hanyalah taktik marketing untuk mendulang simpati publik alias demi kepentingan elektoral?
Bayang-bayang Paloh
Melihatnya secara holistik, ada kemungkinan unggahan buku Big Debt Crises adalah cara Anies untuk keluar dari bayang-bayang Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh.
Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Langkah Anies Dihambat Surya Paloh?, telah dijelaskan bahwa Paloh justru menjadi penghambat Anies dalam membangun personal branding-nya.
Idealnya Paloh perlu mendukung dan memfasilitasi Anies untuk menjadi sosok yang lebih baik dari pemerintahan sekarang. Namun, Paloh justru secara kentara menghindari ketegangan dengan pemerintahan Jokowi.
Tidak cukup bersuara terbuka, Paloh juga menemui Presiden Jokowi untuk meyakinkan bahwa NasDem mendukung kebijakan pemerintah. Paloh bahkan tidak menghadiri deklarasi rekan koalisi, yakni PKS dan Partai Demokrat, ketika mendeklarasikan dukungan terhadap Anies.
Kemudian, setelah NasDem terancam reshuffle, Anies seolah terlihat “diam”. Anies tidak lagi vokal di depan publik seperti sebelumnya. Fenomena itu telah dibahas dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Gertak Reshuffle, Cara Jokowi “Bungkam” Anies?.
Nah, pemasaran gerilya yang dilakukan Anies tampaknya merupakan win-win solution atas situasi yang dialaminya. Anies tengah berada di antara dua tegangan.
Pertama, ia sulit untuk vokal mengkritik karena itu dapat mempersulit situasi NasDem. Kedua, tidak mungkin Anies menjadi pasif. Ia perlu menguatkan personal branding-nya menjelang Pilpres 2024.
Pemasaran gerilya adalah jalan tengah dari dua tegangan itu. Anies dapat menciptakan efek tengah mengkritik pemerintah tanpa perlu bersuara vokal dan frontal seperti politisi oposisi kebanyakan.
Sekalipun nantinya ditegur karena dinilai mengkritik pemerintah, Anies dapat membela diri dengan menyebut ia hanya mengunggah foto sedang membaca buku. Lagipula caption foto Anies hanya berisi keterangan normatif. Tidak ada sama sekali diksi yang menunjukkan kritik.
Well, melihat derasnya respons warganet, taktik-taktik pemasaran gerilya kemungkinan akan banyak dilakukan Anies ke depannya.
Lagipula, tidak hanya terbukti efektif dan aman, pemasaran gerilya juga berbiaya murah hingga dapat dikatakan gratis. Anies hanya butuh gawai, internet, dan media sosial. (R53)