HomeHeadlineAnies Tidak Akan Jadi Presiden?

Anies Tidak Akan Jadi Presiden?

Elektabilitas yang konsisten tinggi membuat Anies Baswedan dinilai sangat potensial menjadi presiden pengganti Jokowi. Namun, mungkinkah Anies sebenarnya sulit untuk menjadi presiden?


PinterPolitik.com

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sangatlah menarik. Sejak keikutsertaannya pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, nama Anies hampir tidak pernah absen dalam perbincangan politik nasional. Dengan tabungan popularitas itu, tidak heran kemudian Anies menjadi sosok dengan elektabilitas tinggi. Namanya selalu berada di tiga besar berbagai lembaga survei.

Sedikit membandingkan, kasusnya mirip dengan Joko Widodo (Jokowi). Tingginya elektabilitas Jokowi menjelang Pilpres 2014 sebenarnya adalah tabungan popularitas sejak maju di Pilgub DKI Jakarta 2012. Dapat dikatakan Jokowi sangat fenomenal saat itu.

Menurut Ross Tapsell dalam bukunya Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution, pada Pilgub DKI 2012 Partai Gerindra berperan besar atas popularitas Jokowi. Partai burung garuda menghabiskan biaya besar untuk iklan dan kampanye politik Jokowi di televisi.

Kembali pada Anies, tentu konteksnya berbeda dengan Jokowi. Namun, yang jelas, keduanya sama-sama menabung popularitas sejak di maju di DKI. Sama dengan Jokowi pada 2013 lalu, Anies juga digadang-gadang sebagai the next president. Pembeda paling mencoloknya adalah status Anies yang bukan kader partai tertentu.

Bersama dengan Ganjar Pranowo dan Andika Perkasa, nama Anies masuk sebagai capres rekomendasi Partai NasDem. Bahkan disebutkan, Surya Paloh telah menawarkan duet Anies-Ganjar ke Presiden Jokowi. Duet yang disebut Paloh sebagai pemersatu bangsa.

Konteksnya tentu jelas. Selaku kader PDIP, Ganjar adalah representasi kelompok nasionalis dan partai penguasa. Sedangkan Anies, besarnya dukungan dari massa Islam membuatnya sebagai simbol kelompok Islam.

Lantas, apakah sebesar itu peluang Anies menjadi presiden pengganti Jokowi? 

infografis anies ganjar pemersatu bangsa 1

Sulit Jadi Capres?

Sebelum membahas peluang Anies sebagai presiden, sebenarnya ada satu pertanyaan krusial yang harus dilontarkan terlebih dahulu. Apakah Anies dapat maju sebagai capres? 

Dengan demikian, pertanyaan yang seharusnya ditujukan kepada Anies adalah, apakah partai politik atau koalisi partai politik akan mengusung Anies sebagai capres?

Pertanyaan ini membuat kita teringat pada pernyataan pengamat politik M. Qodari beberapa waktu yang lalu. Menurut Qodari, justru tidak tepat membahas siapa sosok yang akan maju. Yang dibahas seharusnya adalah partai politik mana yang berpotensi berkoalisi. 

Qodari memiliki alasan sederhana atas penekanan itu. Menurutnya, nama atau sosok adalah sesuatu yang tidak pasti. Katakanlah sekarang elektabilitasnya tinggi, mungkin enam bulan lagi akan turun, begitu pula sebaliknya. 

Baca juga :  Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sementara untuk partai politik, perolehan suara mereka itu pasti. Jumlah 128 kursi DPR (22,26 persen) PDIP tidak akan berubah, begitu pula kursi partai lainnya. Dengan demikian, yang jauh lebih penting dibahas adalah koalisi partai politik yang mungkin untuk terbentuk.

Bertolak dari sana, sekarang pertanyaannya adalah, partai politik atau koalisi partai mana yang akan mengusung Anies sebagai capres?

Untuk PDIP, selaku satu-satunya partai yang mampu mengusung capres tanpa koalisi, rasanya sulit untuk mengusung Anies. Selain karena faktor Puan Maharani, gestur terbaru berbagai elite PDIP juga menunjukkan ketidakharmonisan dengan Anies. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, misalnya, mengkritik Anies ketika mengundang tukang bakso.

Banyak pihak membaca gestur Anies tersebut sebagai sindiran terhadap Megawati Soekarnoputri yang dinilai “merendahkan” tukang bakso dalam pidatonya di Rakernas PDIP. Atas itu, Hasto kemudian tampil memberikan kritik balasan.

Kemudian, besar kemungkinan PDIP belajar dari kasus Jokowi. Jika seorang kader seperti Jokowi saja memiliki hubungan panas-dingin dengan Megawati, lantas, bagaimana dengan Anies yang bukan kader PDIP?

Secara teoritis, fenomena itu dikenal sebagai benturan rasionalitas. Rasionalitas individual Anies berpotensi bertabrakan dengan rasionalitas kolektif PDIP. 

Francis Fukuyama dalam bukunya Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, dengan mengutip teori satisficing Herbert Simon, menerangkan bahwa tujuan organisasi sebenarnya tidak pernah hadir secara jelas, melainkan muncul sebagai hasil dari berbagai interaksi anggotanya.

Maksudnya adalah, meskipun terdapat tujuan tertulis – seperti menggapai X – ganjalan besar dari aktualisasi tujuan terletak pada adanya perbedaan persepsi antara anggota organisasi.

Menurut Fukuyama, ini terjadi karena individu-individu dalam organisasi memiliki rasionalitas yang terbatas. Ini tidak dalam pengertian individu tersebut “bodoh”, melainkan karena individu memiliki penafsiran yang berbeda atas suatu peristiwa.

Singkatnya, apa yang dipahami sebagai “kebenaran” oleh organisasi, belum tentu dipahami sebagai “kebenaran” oleh individu dalam organisasi. Ini menjelaskan kenapa beberapa kebijakan Jokowi dinilai tidak sejalan dengan PDIP. Bukti atas ini adalah pernyataan Megawati soal “petugas partai”.

Konteks PDIP dengan Jokowi, serta penjelasan Fukuyama, juga dapat digunakan untuk menganalisa peluang Anies menjadi capres koalisi partai politik. Menurut Qodari, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PPP akan sulit mengusung Anies karena Airlangga Hartarto juga ingin menjadi capres.

Selain itu, pertanyaannya juga sama, dengan status Anies yang bukan kader partai mana pun, apakah Gubernur DKI Jakarta itu dapat mengakomodasi kepentingan KIB? Partai mana yang akan lebih diakomodir?

Baca juga :  Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Kemudian, koalisi Silaturahmi Indonesia Raya yang dibentuk Partai Gerindra dan PKB, tentu saja menempatkan Prabowo Subianto sebagai capres yang tidak tergantikan. 

Peluang Anies mungkin pada potensi koalisi yang akan dibentuk oleh Partai Demokrat, Partai NasDem, dan PKS. Ini pun bergantung pada sejauh mana Jusuf Kalla (JK) mampu menyakinkan ketiga partai itu untuk mengusung Anies sebagai capres.

infografis sby jk paloh vs megawati

Deparpolisasi?

Selain kendala yang telah disebutkan sebelumnya, ada dua lagi ganjalan terhadap pengusungan Anies sebagai capres. Pertama, sejak Pilgub DKI Jakarta 2017, Anies dilekatkan dengan kelompok Islam yang menjadi oposisi pemerintah.

Melihat variabel-variabel terkini politik nasional, berbagai elite tampaknya tidak ingin mengulangi polarisasi ekstrem pada Pilpres 2019. Selain dari pernyataan terbuka berbagai elite partai politik, meredupnya influencer yang membahas isu agama seperti Abu Janda, dapat dibaca sebagai perpindahan narasi politik nasional.

Kedua, ada kekhawatiran Anies melakukan gerakan deparpolisasi partai politik. Derasnya dukungan terhadap Anies saat ini sebenarnya mirip dengan kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Saat itu, kuatnya dukungan relawan membuat Ahok menjadi primadona untuk diusung partai politik.

Menariknya, meskipun relawan Teman Ahok berhasil mengumpulkan 1 juta KTP, Ahok ternyata tidak maju di jalur independen. Komisaris Utama Pertamina ini akhirnya menerima pinangan partai politik untuk mengusungnya bersama Djarot Saiful Hidayat.

Nah, jika benar Anies tengah mengulangi strategi Ahok pada 2017 lalu, kekhawatiran pada pembahasan sebelumnya akan menjadi lebih kental. Bukan tidak mungkin, karena merasa mendapatkan dukungan besar dari relawan, Anies merasa memiliki daya tawar besar di hadapan partai politik. Dalam sudut pandang partai, itu bukan sesuatu yang bagus.

Kemudian, seperti yang telah dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Relawan Politik, Benalu Demokrasi?, relawan politik dapat menjadi ancaman bagi partai politik. Karena merasa berperan besar menghantarkan kemenangan, kelompok relawan kemudian menempatkan dirinya setara dengan partai politik. Mereka juga meminta kursi jabatan seperti partai politik.

Well, sebagai penutup, ada tiga alasan kenapa Anies berpotensi sulit diusung sebagai capres oleh partai politik atau koalisi partai politik. Pertama, Anies harus berhadapan dengan sosok-sosok elite yang juga ingin menjadi capres. Kedua, ada kekhawatiran bahwa Anies sulit dikontrol oleh partai politik. Ketiga, terdapat ancaman deparpolisasi partai politik karena besar dan masifnya gerakan relawan Anies. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...