HomeHeadlineAnies Tetap Mustahil Pecundangi Prabowo?

Anies Tetap Mustahil Pecundangi Prabowo?

Jalan politik terjal yang nyaris mustahil dilewati menanti Anies Baswedan meskipun telah dideklarasikan sebagai calon presiden (capres) oleh Partai NasDem di Pemilu 2024. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Anies Baswedan seolah berada di atas angin saat Partai NasDem mengumumkan akan mengusung dirinya sebagai calon presiden (capres) di kontestasi elektoral 2024. Sebelumnya, Ketua Umum Pemuda Pancasila (PP) Japto Soerjosoemarno juga telah mewajibkan para kader ormas tersebut untuk memilih Anies jika maju pada Pilpres 2024 mendatang.

Tiga hari terakhir mungkin saja menjadi yang paling berkesan bagi karier politik Anies Baswedan sekaligus menjawab keresahan selama ini.

Ya, jaminan sokongan suara dari PP boleh jadi tak akan ada artinya andai kata Anies tak diusung oleh partai politik (parpol) manapun hingga detik terakhir pendaftaran capres 2024.

Ketua Umum (Ketum )Partai NasDem Surya Paloh lantas menyingkirkan keresahan itu saat menyediakan karpet merah dan podium bagi Anies untuk berlaga di Pilpres.

Bagaikan sebuah prosesi lamaran politik sakral, kemarin, NasDem Tower menjadi saksi bisu pinangan Surya Paloh yang kemudian dijawab kesediaan Anies dengan cukup yakin.

“Dengan memohon rida Allah SWT, dengan memohon petunjuk dari-Nya, dan dengan seluruh kerendahan hati bismillahirrahmanirrahim kami terima kami siap untuk menjawab tantangan itu,” kata Anies dengan lantang.

image 13

“Kenapa Anies? Jawabannya adalah why not the best?” kata Surya dalam pidatonya.

Sebelum menyatakan memingan Anies, Surya dalam pidatonya memaparkan keyakinan dan prinsip dari Partai NasDem. Dirinya mengaku telah menerima berbagai masukan, saran, dan berkontemplasi sebelum memutuskan menunjuk Anies sebagai capres.

Setelah prosesi tersebut, berbagai analisis politik bertebaran menghiasi linimasa dan pemberitaan tanah air.

Satu hal terkait simbiosis politik antara kedua aktor, baik Anies dan Partai NasDem, menjadi komentar yang paling jamak hadir.

Dekan Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Wawan Mas’udi, misalnya, menyebut NasDem berusaha mengerek perolehan suara partai dengan mengusung Anies Baswedan sebagai capres.

Ketiadaan kader internal yang mumpuni sebagai capres, dan di sisi lain, ambisi Anies yang nihil kendaraan politik menjadikan jalinan politik keduanya banyak dibingkai dalam frasa “sama-sama butuh” oleh para pengamat.

Akan tetapi, jalan politik yang seolah sedang di hadapan Anies agaknya tidak akan berjalan mulus. Terutama, ketika berbicara head to head dengan kandidat capres lain yang telah fix akan maju, yakni Prabowo Subianto. Mengapa demikian?

Bukan Waktunya Sipil?

Proyeksi jalan politik Anies agaknya dapat dianalisis dari segi momentum dan latar belakang dirinya yang merupakan seorang sipil (non-militer).

image 14

Dari segi momentum, Indonesia mengalami beberapa transisi dari kepemimpinan berlatar belakang sipil dan militer. Meskipun, bukan merupakan pakem yang rigid pergiliran itu seolah menjadi sirkulasi tersendiri sejak estafet kepresidenan dari Megawati Soekarnoputri ke Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Secara teoretis, Georg W. F. Hegel mengemukakan istilah Zeitgeist atau roh zaman, yakni sebuah pergiliran tren kepemimpinan yang cocok pada era tertentu.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Sejumlah pihak menilai sosok berlatar belakang militer adalah kepemimpinan yang sesuai dengan roh zaman pada dan setelah 2024. Meskipun baru kembali terasa saat transisi dari Megawati ke SBY, konsep Zeitgeist sendiri sebenarnya sudah terjadi di Indonesia di era-era kepemimpinan sebelumnya.

Presiden ke-1 RI Soekarno, misalnya, dianggap menjadi representasi paling tepat untuk memimpin Indonesia di sekitaran tahun 1945 karena menjadi Zeitgeist dari era itu. Masyarakat saat itu dianggap memang membutuhkan orator yang bisa membakar semangat juang di awal kemerdekaan.

Sementara Presiden ke-2 RI Soeharto yang berlatar belakang militer, menjadi semangat zaman pasca tragedi 1965. Kemudian, suksesor sang smiling general, yakni Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie adalah Zeitgeist di masa transisi politik setelah turbulensi politik terhebat sepanjang sejarah Indonesia.

Lalu, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi pembuka jalan untuk pluralisme di eranya, dan Megawati Soekarnoputri menjadi simbol transisi demokrasi yang benar-benar diserahkan ke tangan rakyat lewat pemilihan umum.

Sosok berlatar belakang militer dalam diri Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lantas menjadi penguat demokrasi setelah era Megawati. Status militernya juga memperkuat citra Indonesia di internasional.

Sepeninggal SBY, sosok dan karakteristik Joko Widodo (Jokowi) kemudian muncul dan “disukai zaman” karena citra politik merakyat dan narasi pembangunan yang diusungnya lewat infrastruktur.

Sementara itu, untuk 2024, kepemimpinan agaknya akan lebih tepat jika diberikan kepada sosok militer. Kombinasi militer-sipil atau sebaliknya dianggap akan membawa Indonesia keluar dari kesulitan-kesulitan yang sangat mungkin akan terjadi di sekitaran tahun-tahun ke depan dengan kompleksitas tantangan multi-aspek.

Selain faktor Zeitgeist atau roh zaman, jalan terjal juga berpotensi masih menanti Anies ke depan, utamanya dari potensi koalisi politik dan penentuan sosok calon wakil presiden (cawapres).

Surya Paloh sendiri telah memberikan kewenangan penuh kepada Anies untuk memilih sendiri kompatriotnya di Pilpres 2024. Paloh bahkan menegaskan partai tidak akan mengintervensi pilihan cawapres pilihan Anies.

Meskipun telah mendapat restu dan gestur fleksibilitas dari Paloh, praktik penentuan cawapres agaknya tidak akan semudah itu. Terlebih, kemungkinan besar terdapat tarik menarik kepentingan di antara parpol koalisi penyokong Anies nantinya.

Ya, Partai NasDem tidak bisa sendiri mengusung Anies berkaca pada aturan presidential threshold. PKS dan Partai Demokrat yang selama ini berbalas sinyal harmoni politik pun kiranya akan membuat tawar menawar posisi cawapres akan berjalan alot.

Nama Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) santer menjadi sosok ideal pendamping Anies. Akan tetapi, isu kurang sedap terkait kasus korupsi yang sedang menghantui kader partai bintang mersi Lukas Enembe bisa saja menjadi variabel penghambat.

Jika AHY terdepak dari transaksi cawapres, bukan tidak mungkin Partai Demokrat beralih ke koalisi politik lain. Andai itu terjadi, kekuatan kolaborasi Paloh, Jusuf Kalla (JK), dan SBY (ayah AHY) bisa saja kandas di tengah jalan.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Selain itu, kasus rasuah yang sedang menjegal citra Partai Demokrat sekaligus menguji kepemimpinan AHY agaknya juga sedang dirasakan Anies.

Lalu, seperti apa hal itu akan berdampak terhadap peluangnya berhadapan dengan kandidat lain, terutama Prabowo Subianto?

image 12

Anies “Berdosa”, Prabowo Aman?

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat sorotan karena manuver momentumnya dinilai berdekatan dengan manuver Anies menapaki kandidat RI-1 di 2024.

Nyatanya, polemik rasuah Formula-E terkait dana komitmen bernilai fantastis telah disoroti sejak tahun 2021 lalu. Saat itu, Wakil Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI Anggara Wicitra Sastroamidjojo menemukan kejanggalan terkait besarnya dana yang harus disetorkan dibandingkan kota/tuan rumah lain.

Terseretnya Anies dalam pusaran kasus membuat dirinya tampak begitu rentan untuk dicecar oleh rival politiknya kelak. Apalagi, jika harus berduet dengan AHY yang sedang diuji kasus Lukas Enembe yang bisa saja menjadikan keduanya punya “dosa” di hadapan pemilih.

Selain itu, Anies yang tak memiliki kendaraan politik juga rentan memberikan impresi pemimpin boneka atau puppet leader jika terpilih. Dennis R. Young dalam tulisannya Puppet Leadership: An Essay in honor of Gabor Hegyesi, menjelaskan puppet leader memiliki dua elemen fundamental.

Pertama, terdapat penarik tali (string-pullers), yakni kelompok atau individu kuat yang mengontrol tindakan dan keputusan pemimpin tanpa dianggap melakukannya. Entitas itu kerap disebut sebagai oligarki.

Kedua, kandidat puppet leader bersedia untuk berkompromi di bawah kondisi politik sedemikian rupa jika nantinya terpilih.

Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy and Democracy in Indonesia menjelaskan preseden itu dalam diri Presiden Jokowi. Menurut Winters, tanpa adanya oligarki, potensi Jokowi untuk menjadi kandidat tidak mungkin teraktualisasi.

Indonesianis lainnya, yakni Vedi Hadiz dan Richard Robison, juga menyebutkan bahwa Jokowi pada akhirnya bersekutu dengan berbagai kelompok oligarki agar dapat menang menjadi RI-1.

Oleh karena itu, ketiadaan kendaraan politik membuat Anies boleh jadi akan dianggap pemilih tidak jauh berbeda dengan Presiden Jokowi. Itu agaknya bisa berpengaruh terhadap keterpilihan dirinya, terlepas dari cepat atau lambatnya disadari oleh pemilih.

Di sudut berbeda, kandidat capres 2024 lainnya, yakni Prabowo Subiwanto memiliki karakteristik yang berbanding terbalik dengan Anies. Selain bukan sosok yang punya “dosa” signifikan dalam beberapa waktu terakhir, Prabowo tampak juga bukan merupakan puppet leader.

Bahkan, Prabowo justru memiliki prestasi di bidang pertahanan yang revolusioner. Itu kemungkinan bisa menjadi catatan berat untuk disaingi Anies atas pencapaiannya di Jakarta.

Akan tetapi, penjabaran di atas masih sebatas interpretasi semata. Namun, munculnya nama Anies dan Prabowo yang pasti akan bertarung di 2024 menjadi duel yang memang patut untuk dinantikan. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?