HomeHeadlineAnies Terperangkap Data Bias?

Anies Terperangkap Data Bias?

Penampilan calon presiden (capres) nomor urut satu Anies Baswedan mencuri perhatian publik dalam debat perdana Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Anies banyak menyampaikan data yang mendukung argumennya. Namun, beberapa pihak mengklaim jika data yang disampaikan Anies keliru. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Penampilan calon presiden (capres) nomor urut satu, Anies Baswedan mencuri perhatian publik yang menyaksikan debat perdana Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 (12/12) kemarin.

Bahkan, beberapa pihak menilai Anies adalah Man of The Match dalam debat perdana itu.

Dalam debat tersebut, Anies terlihat percaya diri dan cukup tenang dalam menyampaikan visi-misi, serta dalam menanggapi beberapa pertanyaan, baik dari panelis maupun kandidat lainnya.

Sejak awal hingga akhir, Anies kiranya secara konsisten menampilkan gestur dan penyampaian yang memberi tanda jika dirinya bukan hanya sebagai kandidat “numpang lewat” dalam pilpres kali ini, tetapi juga sebagai penantang serius bagi dua kandidat lainnya.

saat anies bicara pangan

Dengan tagline “perubahan” mantan Gubernur DKI Jakarta itu jelas mengambil pendekatan strategi yang berbeda dengan mengkritik secara langsung berbagai kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini.

Strategi yang sangat kontras dengan kandidat lainnya membuat dirinya tampak sangat menonjol saat itu.

Dengan berbagai data yang disampaikannya, Anies seolah menunjukkan jika dirinya sudah mempunyai bekal data yang cukup untuk melakukan perubahan.

Namun menariknya, setelah debat pertama berlangsung, terdapat beberapa sanggahan dari berbagai pihak terhadap data yang disampaikan oleh Anies.

Salah satunya, terkait data pertumbuhan rumah ibadah di Jakarta yang berkembang pesat selama kepemimpinannya.

Hal itu diungkapkan Anies untuk menunjukkan jika dirinya akan menjamin kebebasan beragama dan beribadah jika menjadi pemimpin.

Namun, terdapat bantahan saat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan adanya penurunan jumlah Gereja di Jakarta di saat periode Anies menjabat, yakni 2018 hingga 2022.

Selain itu masih ada pernyataan Anies lain yang dinilai keliru, diantaranya terkait indeks demokrasi Indonesia yang menurun, jumlah kendaraan di Jakarta yang menyebabkan polusi udara, hingga terkait Harun Al Rasyid yang meninggal dalam kerusuhan pasca Pilpres 2019 lalu.

Baca juga :  Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Lantas, mengapa ada perbedaan data yang disampaikan oleh Anies dan data yang dikeluarkan BPS? Serta, apakah yang disampaikan Anies adalah sesuatu yang keliru?

Memperjuangkan Agenda Politik?

Dalam debat capres kemarin, terdapat beberapa pernyataan yang menjadi sumber perdebatan hingga menarik untuk dikaji. Salah satunya, beberapa pernyataan Anies yang tampaknya menyampaikan beberapa data yang keliru.

Seorang politisi memang kerap kali menyampaikan sesuatu yang berlawanan dengan persepsi yang ada di masyarakat.

Entah itu terkait data yang tidak sesuai dengan yang ada di lapangan atau klaim lainnya yang menyebabkan terjadinya kegaduhan.

Dan Kahan, seorang profesor hukum dan psikologi dari Yale Law School dalam penelitiannya yang berjudul Science Curiosity and Political Information Processing menjelaskan fenomena itu dengan teori yang disebut identity-protective cognition.

Dalam teori itu dijelaskan bahwa pola pikir orang mendalami dunia politik umumnya terdominasi oleh suatu insting, yakni untuk membuktikan agenda politiknya adalah hal yang paling benar dan harus diperjuangkan.

Kahan lebih lanjut menjelaskan jika fenomena ini dapat terjadi kepada orang yang sangat cerdas dan objektif sekalipun. Hal itu dikarenakan dunia politik memang didesain untuk seseorang memperjuangkan apa yang diyakininya.

Kahan juga menilai, kalaupun seorang politisi harus menyampaikan data yang kredibel, maka dirinya akan cenderung mengumpulkan data-data yang akan mendukung argumennya, dan bukan untuk menjelaskan kejadian yang terjadi sebenarnya.

Atas dasar itu, dapat dipahami jika para politisi tidak akan mengoreksi dirinya sekalipun apa yang disampaikannya mendapat bantahan yang objektif dari publik.

Bagi para politisi, yang kiranya dianggap penting jika pernyataannya menjadi perdebatan bukanlah sebuah kebenaran, tapi adalah agenda politiknya.

Nah, dari penjelasan diatas, kiranya dapat dipahami jika Anies tampaknya akan memperjuangkan agenda politiknya dan tidak akan mengakui jika data yang dirinya pakai sebagai landasan argumen dalam debat kemarin dinilai keliru oleh pihak tertentu.

Baca juga :  Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Meskipun, banyak pihak sudah menjelaskan data yang berbanding terbalik dengan yang disampaikannya.

Bagi Anies yang terpenting adalah agenda politiknya, yakni “perubahan” sudah tersampaikan dalam debat capres kemarin.

Mungkin saja data yang disampaikan Anies tidak sepenuhnya keliru, namun Anies kiranya mengumpulkan data yang hanya mendukung argumennya tanpa memperdulikan data lainnya.

anies curiga pemda dibiarkan autopilot

Demi Kepentingan Politik?

Sudah menjadi tugas para kandidat yang akan bertarung dalam kontestasi elektoral untuk memanfaatkan debat sebagai panggung untuk menyampaikan apa yang menjadi visi-misi mereka.

Seorang penulis dan filsuf asal Inggris, Gilbert Keith Chesterton menjelaskan hal yang menarik dari sebuah political speech.

Menurut Chesterton, pernyataan politisi yang pantas disimak adalah pernyataan yang bukan didesain untuk dilaporkan. Sementara itu, tulisan politisi yang pantas untuk dibaca adalah tulisan yang didesain untuk tidak dibaca.

Mengacu pada pernyataan Chesterton, dapat diasumsikan bahwa politisi adalah orang yang selalu menyinergikan apa yang hendak diucapkannya ke publik dengan kepentingan politiknya.

Dengan kata lain, apa yang disampaikan oleh politisi ke publik adalah sesuatu yang sudah didesain sedemikian rupa agar terkemas secara rapih dan menguntungkan kepentingan politiknya.

Oleh sebab itu, pantas kiranya jika kita selalu menaruh rasa curiga terhadap apa yang disampaikan para politisi.

Jika kita merefleksikan dengan yang dilakukan Anies, dalam debat capres kemarin, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu terlihat sudah sangat siap dalam debat dengan segala data yang dia punya.

Sekalipun yang disampaikannya bukan hanya sebuah argumen semata, tapi juga didukung oleh sebuah data, crosscheck dan penilaian objektif kiranya tetap harus dikedepankan, baik bagi para pendukungnya maupun khalayak umum.

Well, penjelasan di atas merupakan interpretasi berdasarkan variabel-variabel yang dapat diobservasi. (S83)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?